Stres, penunggak pajak di Banyumas dirawat di Rumah Sakit jiwa
Utang pajak DW sebesar Rp 3,9 miliar.
Penunggak pajak yang disandera di rumah tahanan Banyumas Jawa Tengah, saat ini dirawat di bangsal kejiwaan Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. DW (33) disandera oleh pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Purwokerto dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) II Jawa Tengah setelah tak mampu membayar tunggakan pajak senilai Rp 3,9 miliar.
Kuasa hukum DW, Djoko Susanto membenarkan kliennya saat ini sudah berada di ruang perawatan jiwa RSUD Banyumas.
"Selang beberapa hari, setelah masuk Rutan Banyumas klien kami alami tekanan psikis karena sudah tidak memiliki aset untuk melunasi tunggakan pajak tersebut," katanya saat dihubungi, Rabu (5/8).
Dia mengemukakan, kondisi keuangan kliennya sudah tidak mampu lagi membayar tunggakan pajak senilai Rp 3,9 miliar.
"Mungkin klien kami memikirkan cara membayar utang, karena sudah tidak punya aset lagi untuk membayar tunggakan pajak tersebut," ucapnya.
Lebih jauh, Djoko menjelaskan saat ini pihaknya sudah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Purwokerto kepada Kementerian Keuangan, Dirjen Pajak, Kantor Pajak Pratama Purwokerto.
"Menurut kami, proses penyanderaan cacat hukum karena penyanderaan tidak melalui mekanisme yang diketahui ketua pengadilan," ucapnya.
Sementara itu, suami DW, Muhammad Bagir (34) membenarkan istrinya sedang dirawat di bangsal kejiwaan blok Arjuna RSUD Banyumas. Setelah disandera di Rutan Banyumas, kata Bagir, istrinya sempat beberapa kali pingsan dan shock.
"Sebenarnya keluarga sudah berupaya untuk melunasi tunggakan pajak tersebut, dan kondisi kami bangkrut. Saat ini kami tinggal di rumah kontrakan," jelasnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan awalnya mereka menjalankan usaha dagang dengan menjadi pemasok barang ke toko modern dan juga ke pedagang tradisional. Pada tahun 2007, modal mereka berkembang dari Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar.
Dia mengemukakan faktur pajak transaksi dengan toko modern lancar, tetapi untuk pedagang tradisional bermasalah dalam transaksinya.
"Masa mbok-mbok pedagang pasar punya faktur pajak, nggak mungkin kan," ujarnya.
Perusahaannya diakui bangkrut sekitar tahun 2012-2013 karena banyak piutang pedagang tradisional yang mencapai Rp 1,8 miliar. Dia mengatakan beberapa asetnya sudah diserahkan ke pihak kantor pajak, namun ditolak karena meminta pembayaran tunai.
"Kami sekeluarga sebenarnya sudah beritikad baik agar tidak terjadi gizjeling dengan meminta agar dipailitkan, tetapi terbentur biaya," tuturnya.
Sebelumnya, pihak Kanwil DJP II Jawa Tengah mengatakan pihak penunggak tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan tunggakan tersebut.
"Penyanderaan dilakukan karena DW dinilai mempunyai kemampuan untuk melunasi utang pajak, namun tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi utang pajaknya," kata Kepala Kantor DJP II Jawa Tengah, Yoyok Satiotomo beberapa waktu lalu.
Dia mengungkapkan, penyanderaan sudah memenuhi ketentuan dalam Undang-undang No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dalam keterangannya, penyanderaan dilakukan setelah serangkaian proses penagihan aktif yang telah dilakukan oleh KPP Pratama Purwokerto tidak membuat wajib pajak mau melunasi utang pajaknya.
"Penyanderaan dilakukan setelah mendapatkan izin untuk melakukan penyanderaan dari Menteri Keuangan. Penyanderaan terhadap wajib pajak DW akan diakhiri apabila wajib pajak telah melakukan pelunasan utang pajak," ujarnya.