Tak Tahu Dugaan Lobi Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Arief Hidayat Sedih MK Diplesetkan Jadi Mahkamah Keluarga
Arief yang sudah 12 tahun menjadi hakim konstitusi itu sangat sedih MK dicap sebagai Mahkamah Keluarga.
Arief yang sudah 12 tahun menjadi hakim konstitusi itu sangat sedih MK dicap sebagai Mahkamah Keluarga.
Tak Tahu Dugaan Lobi Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Arief Hidayat Sedih MK Diplesetkan Jadi Mahkamah Keluarga
Hakim konstitusi Arief Hidayat merasa sedih nama Mahkamah Konstitusi (MK) diplesetkan jadi 'Mahkamah Keluarga'. Sindiran Mahkamah Keluarga itu disebabkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai sarat kepentingan.
"Kalau sampai ada komentar kayak begitu saya sedih dan saya mengatakan enggak. Enggak. MK ya Mahkamah Konstitusi" kata Arief setelah menjalani pemeriksaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) di gedung MK, JAkarta Selasa (31/10).
- KPU Jelaskan Alasan Kirim Surat ke Ketum Parpol Usai MK Putuskan Batas Usia Capres-Cawapres
- Alasan MK Kabulkan Syarat Maju Pilpres 2024 Pernah Berpengalaman jadi Kepala Daerah
- MK Soal Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres: MK Tak Bisa Batalkan Undang-Undang Tak Dilarang Konstitusi
- Mantan Ketua MK soal Batas Usia Cawapres: Itu Kesepakatan Politik, Tidak Usah Atur-atur
Arief yang sudah 12 tahun menjadi hakim konstitusi itu sangat sedih MK dicap sebagai Mahkamah Keluarga.
"Kalau pun ada yang menganggap gitu, saya sedih sekali. Pengalaman saya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi sudah 12 tahun. Kalau ada komentar begitu, saya sedih. Ngeri lah kalau bagi saya," tutur Arief.
Menurut Arief, MK akan berperan krusial selaku pengadil sengketa di tahun politik.
Dia berharap, narasi Mahkamah Keluarga tidak dilanjutkan demi menjaga nama baik MK.
"Jadi, ada berita-berita negatif atau sampai mengatakan itu Mahkamah Keluarga ya jangan sampai disebarluaskan lah, itu tidak baik," ujar Arief.
Lebih lanjut, Arief Hidayat mengaku tidak tahu soal dugaan adanya lobi saat memeriksa dan memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
"Saya juga enggak tahu. Saya enggak dilobi," kata Arief.
Dia menepis anggapan putusan perkara itu sarat kepentingan politik. Dia menegaskan bahwa putusan tersebut murni karena menyangkut Muru'ah institusi.
Meski demikian, sembilan hakim menyadari bahwa MKMK mesti dibentuk untuk menjaga kepercayaan publik.
"Saya kira enggak ada. Ini murni bahwa MK karena muruahnya, kepercayaan publik harus ditingkatkan, maka MK, kami bersembilan sadar bahwa harus dibentuk MKMK," ujar Arief.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar persidangan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman. Dalam persidangan, para praktisi hukum yang menjadi pelapor menuntut agar Anwar Usman dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
Para praktisi hukum itu tergabung dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS). Wakil Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Arif Maulana menyebut, bahwa Anwar sudah meruntuhkan marwah MK.
"Karena satu saja tujuannya adalah memperbaiki MK dengan satu yang diinginkan oleh CALS bagian tanggung jawab intelektual kami adalah pemberhentian tidak dengan hormat Pak Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi," ucap Arif usai sidang MKMK di gedung MK, Jakarta, Selasa (31/10).
Menurut Arif, Anwar Usman telah melanggar kode etik berkaitan dengan dikabulkannya Putusan MK Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden/wakil presiden yang diduga membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka agar bisa ikut pilpres 2024.
"Pelanggaran berat, tapi juga ada implikasi terhadap pelanggaran kode etik ini berkaitan dengan putusan 90 yang ini melenggangkan atau memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai cawapres," tutur Arif.