Kaum LGBT dihambat adopsi anak di Indonesia
Menurut Organisasi Advokat Indonesia, UU melarang adopsi oleh pasangan sesama jenis.
Mengadopsi seorang anak merupakan hak bagi setiap warga negara di seluruh dunia, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Bahkan banyak pula pasangan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) yang mengadopsi anak.
Seperti yang pernah dialami oleh artis transgender Dorce Gamalama. Setelah menikah pada tahun 1986, Dorce memutuskan untuk mengadopsi anak yang kini bernama Rizky. Kemudian pada tahun 1996, Dorce kembali mengadopsi bayi perempuan yang diberi nama Fatimah Zahra. Hingga pada tahun 2012, dia mengadopsi anak perempuan yang diberi nama Khadijah.
Sama halnya dengan keberadaan penyuka sesama jenis, adopsi anak yang dilakukan oleh kaum LGBT ini turut menjadi perdebatan banyak pihak. Kuasa hukum dari Organisasi Advokat Indonesia (OIA), Adi Partogi Singal Simbolon mengatakan adopsi anak tidak bisa dilakukan oleh pasangan sesama jenis.
Hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Sosial RI No. 110/HUK/2009 pasal 7 tentang persyaratan pengangkatan anak, menyebutkan orangtua angkat harus memenuhi beberapa persyaratan. Seperti sehat jasmani dan rohani, berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan, berstatus menikah secara sah paling singkat lima tahun, dan bukan merupakan pasangan sejenis.
"LGBT ini permasalahan serius, wacana yang dibangun oleh lembaga di Indonesia dan dalam UU itu memutuskan pasangan sesama jenis tidak bisa mengadopsi anak karena harus ada prosedur dan persyaratan. Seperti yang tertuang di pasal tujuh, pasangan sesama jenis tidak bisa mengadopsi anak," kata Adi ketika dihubungi merdeka.com, Jumat (3/7).
Adi mengaku selama ini banyak masyarakat yang melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia. Salah satunya adopsi anak yang tidak dilakukan berdasarkan prosedurnya, sehingga banyak menimbulkan masalah.
Selain larangan yang diatur dalam UU, Adi menambahkan faktor lain yang membuat pasangan sesama jenis tidak bisa mengadopsi anak adalah perkembangan kondisi psikologis anak. Menurut Adi, status kaum LGBT bisa memengaruhi perkembangan psikologis anak tersebut.
"Faktor utama karena anak perlu kasih sayang, kenyamanan sosial yang sangat dibutuhkan dan pendidikan. Siapapun anak berusia di bawah 6 tahun atau di atas 15 tahun sangat membutuhkan kasih sayang. Status LGBT sangat membawa pengaruh buruk karena anak bisa meniru orangtuanya. Kalau anak dibawah 12 tahun atau 18 tahun rekaman otaknya lebih cepat," imbuh Adi.
Sayangnya, tidak ada sanksi untuk menanggulangi masalah ini. "Sebenarnya untuk masalah sanksi pidana atau perdata tidak ada, hanya administrasi tapi itu tidak kuat. Seharusnya harus ada ketentuan UU perlindungan anak tidak ada sanksi tegas. Di sini yang harus kita pertegas, untuk saat ini UU adopsi anak harus dikuatkan ketegasan pidananya," paparnya.
Oleh karena itu, OAI berencana untuk melakukan survei terhadap pengadopsian anak yang dilakukan oleh pasangan sesama jenis maupun kaum LGBT yang belum menikah mengadopsi anak tanpa mengikuti prosedur.
Hal ini tentunya mengacu pada Pasal 3 tentang Pengangkatan Anak yang bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Kita berencana untuk mensurvei berapa anak yang dipelihara tanpa prosedur ketentuan perundang-undang. Pasangan sejenis ini sudah berapa banyak anak yang diangkat oleh mereka. Kita mau memantau sistem di Indonesia kok sampai bisa lalai," jelasnya.