Teror bom di Surabaya, anak-anak adalah korban bukan pelaku!
Bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dalam dua hari. Tiga gereja menjadi sasaran pertama pada Minggu (13/5) pagi. Semuanya adalah bom bunuh diri. Korban pun berjatuhan.
Bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dalam dua hari. Tiga gereja menjadi sasaran pertama pada Minggu (13/5) pagi. Semuanya adalah bom bunuh diri. Korban pun berjatuhan.
Ketiga gereja itu adalah Gereja St. Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro Jalan Diponegoro, dan GKI Wonokromo di Jalan Arjuno. Ketika gereja itu meledak, durasinya hanya berselang belasan menit saja.
-
Kapan Pertempuran Surabaya terjadi? Tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan, terutama orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
-
Kapan pertempuran hebat di Surabaya terjadi? Pada hari ini tepat 78 tahun yang lalu terjadi pertempuran besar di Surabaya yang menewaskan sekitar 20.000 rakyat setempat.
-
Dimana Pertempuran Surabaya terjadi? Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan tentara asing setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan menjadi pertempuran terbesar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme.
-
Kapan Kirab Kebo Bule di Surakarta diadakan? Surakarta memiliki tradisi pada perayaan malam 1 Suro atau bisa disebut malam tahun baru Hijriah.
-
Kenapa prajurit TNI di Semarang ikut lomba 17-an? Melalui acara tersebut, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa diandalkan untuk membantu kesulitan masyarakat.
-
Kenapa Soetomo berpesan untuk dimakamkan di Surabaya? Ia ingin dimakamkan di Surabaya agar senantiasa dekat dengan masyarakat kota itu.
Mereka yang melakukan aksi itu diketahui satu keluarga. Dita Oepriarto bersama istrinya Puji Kuswati melibatkan empat anaknya, yakni F (12), P (9), Y (18), dan F (16). Semuanya tewas.
Kapolri Jenderal Tito Karnavia menyebut keterlibatan wanita dalam teror bukan lah yang pertama di Indonesia. Namun baru kali ini berhasil. Untuk anak-anak ini adalah perdana.
"Fenomena anak-anak baru pertama di Indonesia. Usia 9 dan 12 tahun. Dilengkapi bom pinggang, kemudian bunuh diri. Tapi di Suriah dan ISIS sudah dilakukan beberapa kali menggunakan anak-anak," ungkapnya.
Apakah anak-anak ini layak disebut sebagai pelaku? Atau justru mereka adalah korban pemahaman sesat orangtuanya?
Komisioner Perlindungan Anak bidang hukum, Putu Elvita, mengimbau tidak memposisikan anak sebagai pelaku bom bunuh diri. Putu mengatakan, anak adalah korban dari paparan radikalisme keluarga.
Di lihat dari sudut pandang apapun, seorang anak khususnya di bawah umur tidak bisa dikatakan pelaku jika tindakan yang dilakukan tanpa sepemahaman anak. Sementara pelaku suatu kejahatan harus menyadari perbuatannya adalah salah, baik disegi hukum atau sosial.
"Sekalipun dia anak pelaku, tetap anak itu korban. Dia tidak punya pemahaman untuk menjadi martir," ujar Putu, Selasa (15/5).
Meski berada dalam satu peristiwa yang sama dengan orangtua sekaligus pelaku teror, Putu mengatakan tidak ada relasi antara orangtua dengan anak pada kejahatan tersebut. Sebab, telah terjadi pembentukan atau pemikiran dengan sengaja, tanpa disadari oleh anak.
"Relasi anak di sini dengan orangtua tidak sama. Pada saat anak dilibatkan, orang dewasa lah yang mempengaruhi, dan mereka (anak-anak) tidak sadar tetap mereka dianggap sebagai korban," ujarnya.
Reza Indragiri Amriel dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengatakan, Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak menyebut ada larangan bagi siapa pun untuk menyuruh anak melakukan tindak kekerasan. Lalu, Pasal 15 UU yang sama berisi, 'salah satu hak anak adalah bebas dari perlibatan dalam aksi kekerasan'.
"Merujuk pada larangan dan hak anak tersebut, bisa dipahami, anak yang mengebom dikenakan rompi bahan peledak oleh orangtuanya. Nah, anak-anak itu adalah pihak yang diajak atau dilibatkan orang lain untuk melakukan aksi kekerasan," tulis Reza dalam keterangannya.
Menurutnya, mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Anak, anak-anak yang dikenakan bahan peledak adalah anak-anak yang tengah dirampas hak-haknya. Apalagi mereka sampai didoktrin untuk menjadi bomber.
"Dengan demikian, anak-anak tersebut merupakan korban. Ini karena pihak yang mengajak atau melibatkan anak-anak untuk ikut melakukan tindak kekerasan adalah orangtua mereka sendiri. Maka, orangtua tersebut jika masih hidup harus dijatuhi pemberatan hukuman," tegas Reza.
Dia mengatakan, UU Perlindungan Anak memandu proses berpikir untuk menyebut anak-anak tersebut sebagai korban. "Kita perlu lebih ngeh akan hal ini."
Selain tiga gereja itu, bom tiba-tiba meledak di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Tiga orang tewas adalah Anton Febrianto (47), Puspita Sari 47 tahun (istri Anton) dan L 17 tahun (anak pertama Anton). Tiga yang terluka A 15 tahun (anak kedua Anton), F 11 tahun (anak ketiga Anton) dan G 11 tahun (anak keempat Anton).
Sehari kemudian, bom bunuh diri terjadi di pintu pemeriksaan Mapolrestabes Surabaya. Diketahui pelaku pasangan suami istri, Tri Mulyono (50) dan Tri Ernawati (43). Mereka juga mengorbankan tiga anaknya.
Seorang anak Tri, AIS (8) selamat. Dia terlempar ketika bom itu meledak. Saat kejadian Tri menumpangi motor Honda Supra 125 CC warna merah kombinasi hitam dengan nomor polisi L 5539 G. Motor Honda Vario bernopol L 6629 NF menyusul di belakang. Motor tersebut dikendarai DA (18) dan DS (14). Keduanya anak laki-laki Tri.
Keempatnya tewas. Sedangkan, AIS dilarikan ke rumah sakit Bhayangkara guna menjalani perawatan. Dia diselamatkan oleh Kasat Narkoba Polrestabes Surabaya, AKBP Roni Faisal.
Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin mengatakan anak-anak didoktrin oleh orangtuanya. Khusus di Sidoarjo, orangtua sengaja tidak menyekolahkan anaknya. Anak-anak itu selalu dibawa ke pengajian jaringan radikal.
Orangtuanya menyuruh sang anak mengaku homeschooling jika ditanya oleh orang lain. "Padahal tidak ada sekolah, dituntun, dikurung dengan doktrin-doktrin khusus," ujar Machfud saat jumpa pers di Mapolda Jatim, Selasa (15/5).
Machfud menjelaskan para orangtua pelaku teror ini sengaja berlaku demikian agar anak-anaknya tidak berinteraksi dengan dunia luar. Di rumah, orangtua tersebut mencekoki ajaran jihad menyimpang melalui video.
"Ini yang terjadi supaya tidak berinteraksi dengan masyarakat lain. Hanya bapak ibunya saja yang memberikan doktrin terus dengan video-video ajaran-ajaran yang diberikan," jelasnya.
Keluarga pelaku Rusunawa Sidoarjo sering mengajak anak-anaknya mengikuti pengajian jaringan mereka sendiri. Sementara satu dari anaknya, ada yang tidak setuju ajaran orangtuanya, dan ikut neneknya.
"Yang tiga sudah bisa berkomunikasi kalau ditanya homeschooling diakui bahwa setiap hari Minggu ada pertemuan rutin diajak orangtuanya. Kecuali yang besar ikut neneknya," kata Machfud.
Polisi kini tengah memburu Abu Bakar orang yang diduga menjadi otak teror bom di Surabaya. Diduga orang tersebut telah mendoktrin Dita Oepriarto, bomber gereja.
Keluarga Dita dan pelaku bom bunuh diri di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, keluarga Anton diduga satu ajaran. Tiap minggu, dua keluarga tersebut mendatangi pengajian yang sama.
"Ini kan satu ilmu satu guru. Ini masih dalam pendalaman teman-teman di lapangan, karena satu guru satu kelompok, satu ilmu," tandas Machfud.
Baca juga:
Ini penyebab anak bomber Mapolrestabes Surabaya selamat dari maut
Polisi sebut foto viral Dita Oeprianto digeledah polisi hoaks
Total 4 terduga teroris ditangkap polisi di Malang, Pasuruan dan Surabaya
Empat anak pelaku bom Surabaya dan Sidoarjo harus diasuh orang yang 'waras'
Menhan minta polisi, tentara dan hansip dilibatkan awasi 500 WNI pulang dari Suriah