Tingkat dugaan korupsi dana bansos dan hibah di Aceh masih tinggi
Sayang kasus itu kadang mandek di tangan penegak hukum.
Hasil monitoring Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menemukan fakta mencengangkan soal dugaan rasuah di Bumi Serambi Makah. Korupsi di Aceh mengalami peningkatan pada 2015, terutama dana Bantuan Sosial (Bansos) dan hibah.
Dari data dirilis GeRAK Aceh, pada 2015 terdapat 27 dugaan penyimpangan dana bansos dan dana hibah, berpotensi merugikan negara hingga Rp 885.8 miliar.
Jumlah itu meningkat dibandingkan 2014 yang juga tak kalah besar, yakni sekitar Rp 500 miliar. Adapun beberapa kasus itu saat ini masih diusut Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta masuk ke pengadilan.
Kepala Divisi (Kadiv) Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, modus korupsi pada 2015 sangat sistemik, terstruktur, spesifik, dan terencana.
"Dana hibah dan Bansos masih menjadi penyumbang utama kasus dugaan korupsi di Aceh," kata Hayatuddin Tanjung, di Banda Aceh, Rabu (6/1).
Menurut Hayatuddin, korupsi di Aceh sangat terencana, karena diduga dilakukan sejak perencanaan hingga pelelangan. Salah satu contoh dugaan korupsi traktor sedang 4WD pada dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh, dengan pagu anggaran Rp 39 miliar. Berdasarkan dokumen GeRAK, dalam proyek itu terjadi beberapa kali perubahan spesifikasi dan lainnya.
"Kasus ini sudah kami supervisi ke KPK, Kejagung dan Kapolri," ujar Hayatuddin.
Kemudian dugaan korupsi Dermaga Lhok Weeng, Sabang, sebesar Rp 11,7 miliar. Sebab menurut dia, duit dianggarkan buat proyek itu tidak sesuai dengan kondisi pengerjaan di lapangan.
Tak hanya itu, Hayatuddin mengatakan, GeRAK Aceh juga mencium dugaan korupsi pada dana aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dana itu turun dalam bentuk bantuan kelompok tani tambak dan lainnya, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh pada 2015. Bantuan ditujukan buat berbagai model kelompok masyarakat di 18 Kabupaten/Kota di Aceh, dengan total anggaran sebesar Rp 40 miliar.
"Program tersebut sengaja diciptakan untuk memperoleh keuntungan yang sangat mudah, dengan cara memecahkan anggaran untuk bisa penunjukan langsung (PL) di akhir masa anggaran," ucap Hayatuddin.
Hayatuddin menyampaikan, bentuk program aspirasi dewan sangat rawan dikorupsi. Karena setiap pihak mendapatkan Penunjukan Langsung (PL) jarang diusut penegak hukum, karena dianggap jumlah potensi korupsinya kecil.
"Selain itu ada juga beberapa kasus lama yang belum tuntas penegakan hukumnya, dan ini semakin menggurita korupsi di Aceh sejak tahun 2008 hingga sekarang," imbuh Hayatuddin.
Atas dasar itu, GeRAK mendesak Gubernur Aceh dan DPRA menekan Polda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh menuntaskan setiap kasus korupsi di Aceh. Termasuk harus melakukan pengawasan ketat dan melakukan evaluasi setiap Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA).
"Polisi dan Kejaksaan juga harus memiliki strategi khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi di Aceh secara transparan ke publik," pinta Hayatuddin.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga diminta mempercepat tindak lanjut laporan dugaan korupsi terjadi di tanah Rencong, secara profesional dan transparan.