Tokoh lintas agama buka puasa bersama di Klenteng Hok An Kiong
Alisa Qotrunada Wahid, putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid hadir sebagai pembicara.
Di penghujung waktu menjelang maghrib, tidak biasanya iringan musik shalawatan bergema di sekitar bangunan etnis Thiong Hoa di salah satu rentetan pertokoan di Jl Pemuda, Muntilan, Kabupaten Magelang, Jateng.
Padahal, biasanya hanya deru suara tabuh iringan musik barongsai yang mengiringi jika ada acara di klenteng Hoka An Khiong, tempat ibadah para etnis Thiong Hoa yang tertua di wilayah eks Karisidenan Kedu yang dibangun pada tahun 1906 ini.
Namun ternyata di pojok kiri bangunan luar tempat ibadah yang di dalamnya terdapat tempat loyang abu raksasa tertua di Indonesia ini digelar acara buka bersama. Sungguh pemandangan indah dengan harmoni dan suasana unik di acara yang digelar oleh Paguyuban Umat beragama Magelang dan masyarakat Muntilan dan diikuti sekitar 700 tamu undangan yang hadir.
Hadir dalam acara buka bersama tak hanya umat islam sekitar dan kaum etnis Thiong Hoa yang menjadi jamaah Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) di klenteng itu saja yang hadir. Namun, hadir pula beberapa umat Khonghucu, Budha, Kristen, Khatolik, Hindu serta penganut kepercayaan yang menyemarakkan acara buka puasa yang didahuli dengan acara saresehan lintas agama itu.
Sebagai pembicara hadir Alisa Qotrunada Wahid, putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur sebagai keynote speaker yang merupakan Koordinator Sekretariat Nasional Gus Durian se-Indonesia itu. Serta bertindak sebagai moderator Ketua GP Anshor Kabupaten magelang Chabibullah.
Suasana akrab, toleran dan kebersamaan pun terbangun ketika dipentaskanya dua kesenian bela diri tradisional khas masyarakat Indonesia pencak silat dari perguruan silat Nusantara Muntilan, Kabupaten Magelang. Disusul dengan atraksi bela diri Wushu oleh perguruan Wushu binaan Klenteng Liong Hok Bio Kota Magelang.
Suasana semakin akrab dan menyatu kebersamaan ketika aktivis Paguyuban Umat Beriman D. Martomo memimpin para tamu yang hadir melantunkan lagu bertemakan pluralisme yang berjudul ‘Ayo Rukun Bersatu’ dengan dibentangkannya kibaran bendera merah putih sebagai simbol negara Indonesia.
"Justru dari kota kecil (Muntilan) inilah kita harus banyak belajar. Gus Dur selalu mengatakan dan menginginkan suasana seperti ini. Pesan ayah saya; ‘Yang sama jangan dibedakan dan yang berbeda jangan disama-samakan. Semakin berbeda, maka kita akan semakin menemukan titik persatuan. Setidaknya titik paling jauh kebersamaan kita adalah sama-sama makhluk Tuhan dan kita sama-sama makhluk warga negara Indonesia," ujar Alisa Wahid.
Alisa juga menuturkan, sejak puluhan tahun yang lalu nenek moyang kita telah memberikan panduan hidup. Bagaimana manusia hidup. Lalu menjadi metode dan model bersama walaupun berangkat dari kultur yang berbeda.
"Kita sudah belajar mulai pada masa Walisongo dari berbagai nilai berbeda, muncul praktik tradisi atau budaya yang muncul di masyarakat kita. Nilainya adalah agama kita masing-masing. Namun, tradisi muncul di wilayah Indonesia saat itu adalah percampuran tradisi. Misalnya, tumpeng. Itu bukan tradisi Arab Saudi. Praktik seperti ini memiliki makna kearifan yang tinggi. Praktik seperti ini yang bisa menghidupi kita bersama, bisa menyatu, saling memahami dan bisa bekerjasama dalam kehidupan gotong-royong," tuturnya.
Alisa juga menuturkan, jika menelaah ajaran islam, dikalangan NU yang selalu disyiarkan oleh Kyai cendekiawan serta sesepuh NU Ahmad Sodiq bahwa kegiatan ini ibarat ajaran Ukuwah islamiyah dan Ukuwah Basyariah.
"Bisa saling menghargai dan bisa saling menyadari masing-masing mempunyai nilai dan ajaran agama sendiri-sendiri tanpa harus memperuncing apalagi membuat perbedaan menjadi ketidakdamaian di Indonesia," ucapnya.
Yayasan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Klenteng Hok An Kiong sengaja sendiri, secara rela dan sengaja memberikan fasilitas untuk acara yang sangat unik ini bertujuan untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar secara bersama-sama.
"Baik untuk kita baik untuk semua. Maka, kebersamaan ini harus secara sadar dan bersama-sama kita rajut. Ibaratnya, di Indonesia banyak bunga yang tumbuh, sehingga jika sebuah taman banyak bunganya maka akan lebih terlihat indah taman itu. Ini acara yang bagus," ungkap Sekretaris Yayasan TITD Hok an Kiong Hings Hartanto.
Apalagi di bulan suci, Hings Hartanto menyatakan merupakan bulan yang baik untuk memberikan kepedulian dan beramal baik bagi sesama kaum agama sendiri maupun bagi kaum lintas agama yang lain.
Suasana semakin hangat saat menjelang waktu berbuka tiba. Begitu terdengar suara azan, sebagai tanda waktu berbuka ratusan warga dari umat menyatu dalam khusyuk dan akrab menyantap hidangan berbuka yang telah disediakan panitia disekitar halaman klenteng Hok An Kiong tersebut.
Suasana ini membuktikan, peran pemerintah yang selalu terkurung oleh birokrasi, apalagi masyarakat Indonesia yang berposisi pada masa demokrasi transisi tak sempat memikirkan hal-hal yang dilakukan para umat dari berbagai lintas agama ini. Sebab, nilai kebenaran dan nilai budaya, kearifan lokal, tradisi positif tersandra dan terpecah belah oleh kepentingan politik saat ini.