Wamendagri soal Putusan MK Kepala Daerah Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana: Kami Laksanakan
Kemendagri siap menjalankan putusan MK tersebut sebab bersifat final dan mengikat (final and binding).
Wakil Kementerian Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hukuman bagi aparatur sipil negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri yang tidak netral pada pilkada menjadi masukan lembaganya untuk mengevaluasi sistem kepemiluan di Tanah Air.
"Jadi, yang pasti ini menjadi masukan untuk mengevaluasi sistem kepemiluan," kata Bima usai menghadiri rapat bersama Komisi II DPR RI dan sejumlah penjabat kepala daerah lainnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
- MK Ubah UU Pemilihan Kepala Daerah, Pejabat Daerah dan TNI-Polri Tak Netral Kini Bisa Dipidana
- Kemendagri Tegaskan Menjaga Netralitas ASN Butuh Upaya Komprehensif Semua Pihak
- 'Apa yang jadi Putusan MK Sudah Final dan Mengikat Tidak Bisa Diganggu Gugat'
- Putusan MK soal Umur Calon Kepala Daerah Dinilai Kental Nuansa Politis
Bima tak menampik bahwa mengevaluasi sistem kepemiluan guna mencegah pelanggaran netralitas aparat negara menjadi suatu urgensi bagi Kemendagri.
"Ke depan salah satu urgensi dari mengevaluasi sistem pemilu, pilkada, adalah untuk mencegah ketidaknetralan ini. Semua kan ada kaitan dengan sistem seperti apa," ucapnya.
Dia mengatakan, Kemendagri siap menjalankan putusan MK tersebut sebab bersifat final dan mengikat (final and binding).
"Tentu kami ya harus laksanakan itu," ujarnya.
Namun, Bima menambahkan bahwa untuk memperkuat netralitas aparat negara dalam pelaksanaan pesta demokrasi tidak serta merta ditempuh melalui jalur pemberian sanksi.
"Netralitas ini kan tidak hanya lewat sanksi saja ya, tetapi lewat bangunan sistem," katanya, dikutip dari Antara.
Pada Kamis (14/11), Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan terkait sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN), pejabat desa, pejabat daerah, pejabat negara, serta aparat TNI-Polri yang melanggar netralitas dalam proses pilkada.
Putusan MK memungkinkan dikenakannya sanksi kepada pelanggar berupa pidana penjara dan denda hingga Rp6 juta sesuai Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015.
Sebelumnya, pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas bahwa pejabat daerah dan aparat TNI, Polri. Namun, setelah putusan MK terbaru, keduanya termasuk dalam pasal tersebut.