Waspadai Konten Hoaks di Tahun Politik, Jangan Mudah Terprovokasi
Bahkan, banyak negara di dunia yang mengalami kekacauan karena tidak bisa menyaring konten hoaks di dunia digital.
Penggiringan isu negatif yang sedang tren biasanya.
Waspadai Konten Hoaks di Tahun Politik, Jangan Mudah Terprovokasi
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengajak generasi muda berperan aktif menjadi agen perdamaian dan antihokas, yakni dengan menentukan peran apa yang akan mereka ambil untuk disebarkan kepada lingkungan masyarakat.
- TKN Fanta Prabowo-Gibran Ajak Pemuda Peduli Isu Kemanusiaan di Palestina
- Tiktokers Palestina Tunjukkan Kondisi Rumahnya Usai Diserang Rudal Israel, Nyaris Meninggal saat Kejadian
- Filsuf Noam Chomsky Jelaskan Mengapa Dunia Tidak Berbuat Apa-Apa Atas Pembantaian Rakyat Palestina
- Soal Konflik di Palestina, Ganjar Diyakini Punya Modal Sosial & Politik untuk Kebijakan Luar Negeri
Menurut Septiaji, banyak cara yang dapat ditempuh untuk menjadi agen perdamaian dan memerangi informasi bohong. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan perkembangan tren dan teknologi media untuk menyampaikan pesan-pesan kebangsaan, serta sosialisasi secara langsung kepada lingkungan sekitar.
"Ada banyak sekali momen ataupun kegiatan yang sebenarnya perlu kami datangi untuk menyosialisasikan ini. Bisa juga dengan cara bergabung menjadi relawan dari beberapa organisasi yang secara konsisten menyuarakan tentang bahayanya sebaran kebohongan dan kebencian, serta pentingnya berpikir kritis," kata dia dilansir Antara, Selasa (7/11).
merdeka.com
Septiaji mengatakan hal itu mengingat isu hoaks yang kini merebak menjadi tantangan global, terlebih memasuki tahun politik seperti saat ini. Bahkan, banyak negara di dunia yang mengalami kekacauan karena tidak bisa menyaring konten hoaks di dunia digital."Banyak negara yang kemudian mengalami kekacauan karena masyarakatnya tidak bisa menyaring konten hoaks yang datang, lalu ikut menyebarkan dan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. Dampaknya kemudian melahirkan polarisasi yang kuat, bahkan akhirnya menuju pada dehumanisasi yang menjelekkan hingga menjatuhkan orang lain," paparnya.
Lebih lanjut dia menyoroti aksi solidaritas untuk Palestina yang sedang bergejolak. Aksi tersebut merupakan salah satu bentuk langkah gerak nyata masyarakat dalam menyuarakan sikap mereka.
Akan tetapi, kata Septiaji, aksi tersebut sering kali dibumbui dengan narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, penting pemikiran kritis agar tidak mudah terprovokasi konten-konten menggiring yang disebarkan kelompok radikal dan intoleran.
"Jika tidak begitu, berarti kamu sama saja tidak berempati kepada umatmu dan agamamu. Hal-hal yang dapat membakar emosi semacam ini lalu didukung dengan teknologi digital sekarang yang sudah semakin canggih, membuat kemampuan melakukan persuasi serta mengiring emosi orang banyak, menjadikan dampaknya lebih kompleks dari sebelumnya," tutur dia.
Selain itu, penggiringan isu negatif yang sedang tren biasanya juga dipoles dengan politik identitas. Adapun sasarannya adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan atau ilmu yang komprehensif sehingga rasa kepeduliannya terbelokan menjadi aksi yang tidak produktif.
Ia menambahkan bahwa generasi muda harus punya ketahanan dan pengalaman menghadapi konten kebohongan dan kebencian agar tidak larut dan termakan oleh konten-konten tersebut.
"Potensi risiko yang seperti ini sangat mungkin terjadi pada era digital dan biasanya terakumulasi antara hoaks yang berkembang dengan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah yang makin menurun," imbuh Septiaji.
Dia berpesan agar generasi muda tidak menjadi seperti katak dalam tempurung: menganggap dirinya tahu segalanya, tetapi sebetulnya tidak memiliki pemahaman yang luas karena tidak pernah mempertimbangkan perspektif dari selain yang diyakini.
"Orang atau kelompok yang selalu merasa benar sendiri akan cenderung membentuk pemikirannya menjadi sempit atau seperti katak dalam tempurung. Dari sinilah biasanya isu-isu radikalisme akan mudah sekali ditanamkan kepada orang yang demikian dan mereka memiliki tendensi menolak pemikiran yang berbeda dengannya," ucap Septiaji.