132 Pahlawan Gugur di 2019, Pemilu Serentak Layak Dievaluasi
Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, 15 polisi meninggal dunia saat mengamankan Pemilu 2019.
Bendera setengah tiang berkibar di halaman Polres Tana Toraja, Senin (22/4) pagi. Simbol duka cita. Seorang anggota polisi meninggal dunia saat mengamankan Pemilu 2019.
Ipda Paulus Kenden mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit, Minggu sore 21 April 2019. Sepeda motor yang dikendarai korban menabrak minibus.
-
Mengapa Pemilu 2019 di sebut Pemilu Serentak? Pemilu Serentak Pertama di Indonesia Dengan adanya pemilu serentak, diharapkan agar proses pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif.
-
Kapan Pemilu 2019 diadakan? Pemilu terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah pemilu 2019. Pemilu 2019 adalah pemilu serentak yang dilakukan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota, dan DPD.
-
Kapan pemilu 2019 dilaksanakan? Pemilu 2019 merupakan pemilihan umum di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
-
Apa saja yang dipilih dalam Pemilu 2019? Pada tanggal 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan Pemilu Serentak yang merupakan pemilihan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD secara bersamaan.
-
Apa yang menjadi fokus utama Pemilu 2019? Pemilu 2019 ini menjadi salah satu pemilu tersukses dalam sejarah Indonesia.Pemilu ini memiliki tingkat partisipasi pemilih yang sangat tinggi. Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berhasil memenangkan pemilu.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
"Almarhum menjabat Kepala Bagian Operasi (KBO) Satuan Binmas Polres Tana Toraja, dia meninggal usai kecelakaan saat sedang bertugas pengamanan pemilu di wilayahnya," kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani, Senin, 22 April 2019.
Saat kejadian, Paulus Kenden sedang berpatroli di wilayahnya untuk memastikan keamanan rekapitulasi di tingkat PPK Kurra. Dan ia tak sendirian.
Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, 15 polisi meninggal dunia saat mengamankan Pemilu 2019.
Sementara, data resmi KPU hingga 22 April 2019 menyebutkan, sudah ada 90 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 374 orang lainnya sakit. Pihak Bawaslu kehilangan 27 pengawas. Jumlah total yang gugur 132 orang. Mayoritas karena kelelahan.
Proses Pemilu 2019 memang melelahkan. Untuk kali pertama dalam sejarah negeri ini, pilpres dan pileg digelar serentak. Para pemilih mencoblos kertas suara pilpres, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD sekaligus. Repot? memang.
Namun kerepotan itu tak hanya dihadapi para pemilih. Bayangkan, proses panjang dan melelahkan yang harus dilalui untuk mewujudkan pesta demokrasi lima tahunan ini. Dari pengiriman logistik pemilu hingga memastikan kotak berisi surat suara aman hingga tujuan.
Para petugas dan relawan harus menyeberangi sungai dan lautan, menembus hutan, menyusuri jalur teroris, di tengah cuaca panas hingga badai. Ada yang menggunakan truk, mobil, sepeda motor, hingga pedati yang ditarik kerbau atau sapi. Tak jarang kendaraan-kendaraan itu mogok di tengah jalan berlumpur. Sapi-sapi pun bisa ngambek dan harus dirayu agar mau maju.
Stresnya pun bukan kepalang. Seorang ketua KPPS di Malang, SU (42) diduga berniat mengakhiri hidupnya. Ia ditemukan keluarganya di dalam kamar dalam kondisi mengalami luka tusuk di perut.
"Korban ditemukan keluarganya di kamar dalam kondisi terluka. Saat dimintai keterangan, korban mengaku capek dan stres karena ada selisih penghitungan terkait suara DPD dan DPRD," kata Kapolres Malang Kota AKBP Asfuri, Sabtu 20 April 2019.
Beban fisik dan mental itu bikin para petugas KPPS kapok. "Ini pemilu terkejam. Kalau pola kerjanya tetap seperti ini, saya pikir seribu kali kalau diminta jadi panitia lagi," kata Hari Sutrisno, Minggu 21 April 2019. Ia adalah Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 41 Kelurahan Sawojajar, Kota Malang.
Hari mengisahkan bagaimana dia harus bekerja ekstra keras bersama rekan-rekannya saat pencoblosan 17 April lalu. Bangun subuh, dia harus sudah siaga sejak pukul 06.00 WIB mempersiapkan segala kebutuhan pencoblosan. Beban kerja semakin berat saat penghitungan surat suara. Dia harus begadang hingga pukul 04.00 WIB keesokan harinya untuk merampungkan penghitungan suara.
Ratusan dokumen, mulai pencoblosan, rekapitulasi suara dan lainnya harus ditandatangani saat itu juga.
"Pemilu 2019 ini jauh lebih rumit dibanding pilkada serentak 2018. Saya terpaksa jadi KPPS karena tak ada yang mau," ujarnya.
Perlu Evaluasi Mendalam
Terkait kondisi ini, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menegaskan pemilu 2019 perlu evaluasi mendalam, komprehensif dan juga utuh.
Dia menyarankan agar pilpres dan pileg kembali dipisah waktu penyelenggaraannya. Pemilu serentak dinilai memberikan banyak beban pada penyelenggara pemilu.
"Meski KPU telah melakukan sejumlah langkah untuk mendistribusi beban kerja tetap saja penyelenggaraan dan pemungutan suara dan penghitungan jadi beban amat berat bagi petugas di lapangan," ungkapnya.
Titi juga mengingatkan pentingnya rekapitulasi suara secara online. Kata dia, rekapitulasi secara online bisa meringankan beban menulis para petugas teknis di TPS.
"Dari penelusuran ternyata kelelahan itu tidak hanya dipicu beban penyelenggaraan yang berat, tapi ada juga kontribusi problematika logistik yang mereka hadapi," ucapnya.
Menurutnya, proses pemungutan suara kali ini lebih memakan waktu, karena ada lima surat suara, termasuk pemilihan anggota DPRD tingkat kabupaten/kota. Tak heran bila di beberapa daerah penghitungan suara bahkan ada yang berlangsung sampai siang hari berikutnya karena petugas kelelahan.
Tugas yang berat itu, dinilainya tidak sebanding dengan insentif yang didapatkan. Anggota KPPS mendapat honor Rp 500 ribu, sedangkan ketua KPPS mendapat Rp 550 ribu. Honor tersebut dipotong pajak penghasilan 5 persen. Sehingga upah bersih bagi tiap anggota menjadi Rp 475 ribu dan ketua Rp 522.500.
"Insentif untuk KPPS sangat minim, ditambah lagi tidak ada jaminan terhadap asuransi kesehatan ataupun kematian akibat beban kerja yang cenderung tidak manusiawi dari sisi durasi kerja," ujar Titi.
Menurutnya, KPU perlu mengalokasi insentif asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan bagi para KPPS. Sebab, skema pemilu serentak lima surat suara memang tidak sesuai dengan kapasitas beban yang harus ditanggung pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu.
"Ini tidak sepadan dengan kemampuan dan daya tahan kerja petugas supaya bisa bekerja efektif dan profesional. Makanya, sedari awal yang kami usulkan bukan pemilu borongan lima surat suara," kritik Titi.
Terpisah, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini jadi peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, ada perbedaan mencolok terhadap beban kerja petugas KPPS di pemilu 2019 dengan periode sebelumnya.
Menurutnya, beban kerja KPPS saat ini jauh lebih berat karena pemilu digelar serentak. Kondisi ini diperparah dengan kurang maksimalnya KPU mempersiapkan petugasnya di lapangan. Regulasi yang berubah-ubah, logistik yang datang terlambat hingga bimbingan teknis yang tidak merata, membuat banyak petugas KPPS yang kelabakan.
"Bimtek kurang, pelatihan hanya dilakukan ke sebagian petugas yang kemudian petugas tersebut mengajarkan ke petugas lainnya. Jadi tidak langsung dari KPU. Peluang miskomunikasi sangat terbuka," ujarnya.
Kondisi ini membuat kemampuan petugas di TPS tidak merata. Sebagian cekatan dan cepat menyelesaikan penghitungan, sebagian lain bermasalah karena adanya perbedaan keterampilan dalam penghitungan surat suara.
"Belum lagi mereka harus menjalankan tugas-tugas non-teknis lainnya seperti kertas suara yang kurang, ngurusin saksi-saksi yang ada di TPS, hingga pemilih yang tidak masuk daftar," jelasnya kepada Liputan6.com, Senin (22/4/2019).
Beban kerja inilah yang membuat sejumlah petugas KPPS tidak kuat dan akhirnya jatuh sakit, bahkan kemudian ada yang meninggal dunia.
"Suasana kompetisi yang ketat di mana para peserta pemilu ingin tampil sebagai pemenang, menuntut penyelenggara di TPS juga berkerja dalam tekanan. KPPS kerja terus sedikit tidur, akhirnya meninggal," katanya.
Hadar menyatakan, perlu evaluasi menyeluruh dari para stake holder pemilu agar kejadian meninggalnya puluhan petugas KPPS ini tidak lagi terulang.
"Pemilu kita itu berat, jadi harus betul-betul dipersiapkan jauh hari. Jangan ada yang mepet, DPR jangan menunda-nunda pembuatan aturan," jelasnya.
Pihaknya juga mengusulkan adanya pengurangan beban petugas di lapangan dengan memecah penyelenggaraan pemilu. Misalnya, pilpres bareng pilkada, sedangkan legislatif (DPR RI, DPRD propinsi, DPR kota/kabupaten) dilakukan serentak.
"Selama ini pilpres berbarengan dengan pileg DPRD kota/kabupaten, akibatnya caleg-caleg di daerah ini tenggelam namanya," jelasnya.
Hadar juga menyoroti lamanya waktu rekapitulasi penghitungan suara yang lebih dari satu bulan. Kondisi ini berpotensi memicu saling klaim kemenangan dari para pihak seperti yang terjadi saat ini.
"Pola manual ini harusnya sudah mulai ditinggalkan. Sudah mulai harus beralih ke teknologi. Teknisnya bisa dibicarakan bersama," ujarnya.
Jumlah Santunan Belum Ditentukan
Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan, data yang dikumpulkan pihaknya hingga (22/4/2019) pukul 15.00 WIB, tercatat 90 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia pada saat penyelenggaraan Pemilu 2019.
"Lainnya, 374 orang sakit," kata Ketua KPU RI Arief Budiman di Kantor KPU RI, Senin (22/4/2019).
Arief menyatakan, sebaran terjadinya musibah bagi KPPS itu terjadi di 19 provinsi."KPU sudah membahas secara internal terkait santunan yang akan diberikan," ucapnya.
KPU akan bertemu Kemenkeu membahas detail dan regulasi besaran santunan yang akan diberikan.
"Kami akan mengusulkan dalam pembahasan itu pertama besaran santunan untuk meninggal kurang lebih Rp 30-36 juta. Untuk cacat santunan maksimal Rp 30 juta nanti tergantung pada jenis musibah. Yang luka kami mengusulkan maksimal Rp 16 juta," jelas Arief.
Rencananya pembahasan bersama Kemenkeu juga akan membahas terkait mekanisme pemberian santunan kepada keluarga korban.
"Besok kami akan bahas dengan Kemenkeu termasuk mekanisme pemberian dan mekanisme pos anggaran mana yang bisa dipakai biayai santunan ini," tandasnya.
Sementara itu, Komisioner KPU lainnya Ilham Saputra menambahkan, pihaknya sebenarnya sudah mengajukan asuransi untuk penyelenggara di lapangan, namun tidak diproses oleh Kementerian Keuangan.
Sebagai solusi pihaknya akan meminta ke kesekjenan untuk merevisi anggaran-anggaran yang ada untuk sebagian dialokasikan ke KPPS yang meninggal. "Yang meninggal dapat berapa juta, nanti kita akan sampaikan," jelasnya.
Ilham menambahkan, agar kejadian ini tidak kembali terulang di pemilu mendatang, pihaknya akan segera evaluasi bersama DPR, pemerintah dan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat sipil.
"Kita bicarakan bagaimana sistem pemilu yang tepat, apakah menggunakan pola pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal misalnya, DPRD provinsi, kabupaten/kota dan pilkada. Pemilu nasional misalnya untuk DPD, DPR dan presiden. Ini nanti yang perlu dikaji," jelasnya.
Pihaknya menegaskan, yang terpenting saat ini adalah menyiapkan segera payung yang akan digunakan untuk untuk sistem pemilu 2024 nanti.
Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan, data yang dikumpulkan pihaknya hingga (22/4/2019) pukul 15.00 WIB, tercatat 90 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia pada saat penyelenggaraan Pemilu 2019.
"Lainnya, 374 orang sakit," kata Ketua KPU RI Arief Budiman di Kantor KPU RI, Senin (22/4/2019).
Arief menyatakan, sebaran terjadinya musibah bagi KPPS itu terjadi di 19 provinsi."KPU sudah membahas secara internal terkait santunan yang akan diberikan," ucapnya.
KPU akan bertemu Kemenkeu membahas detail dan regulasi besaran santunan yang akan diberikan.
"Kami akan mengusulkan dalam pembahasan itu pertama besaran santunan untuk meninggal kurang lebih Rp 30-36 juta. Untuk cacat santunan maksimal Rp 30 juta nanti tergantung pada jenis musibah. Yang luka kami mengusulkan maksimal Rp 16 juta," jelas Arief.
Rencananya pembahasan bersama Kemenkeu juga akan membahas terkait mekanisme pemberian santunan kepada keluarga korban.
"Besok kami akan bahas dengan Kemenkeu termasuk mekanisme pemberian dan mekanisme pos anggaran mana yang bisa dipakai biayai santunan ini," tandasnya.
Sementara itu, Komisioner KPU lainnya Ilham Saputra menambahkan, pihaknya sebenarnya sudah mengajukan asuransi untuk penyelenggara di lapangan, namun tidak diproses oleh Kementerian Keuangan.
Sebagai solusi pihaknya akan meminta ke kesekjenan untuk merevisi anggaran-anggaran yang ada untuk sebagian dialokasikan ke KPPS yang meninggal. "Yang meninggal dapat berapa juta, nanti kita akan sampaikan," jelasnya.
Ilham menambahkan, agar kejadian ini tidak kembali terulang di pemilu mendatang, pihaknya akan segera evaluasi bersama DPR, pemerintah dan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat sipil.
"Kita bicarakan bagaimana sistem pemilu yang tepat, apakah menggunakan pola pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal misalnya, DPRD provinsi, kabupaten/kota dan pilkada. Pemilu nasional misalnya untuk DPD, DPR dan presiden. Ini nanti yang perlu dikaji," jelasnya.
Pihaknya menegaskan, yang terpenting saat ini adalah menyiapkan segera payung yang akan digunakan untuk untuk sistem pemilu 2024 nanti.
TKN-BPN Sepakat Evaluasi
Banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sakit dan meninggal akibat kelelahan menjalankan tugas, mengundang keprihatian dari tim pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade menyatakan duka cita mendalam atas peristiwa ini.
"Doa kami semoga para pejuang demokrasi ini diberi tempat terbaik di sisi-Nya," ujar Andre kepada Liputan6.com, Senin (22/4/2019).
Dia menyatakan, BPN sangat mengapresiasi kerja keras para petugas penyelenggara pemilu, baik itu saksi, petugas TPS dan pihak Polri-TNI yang mengawal jalannya pemilu.
"Saya rasa KPU harus memberikan kompensasi kepada para pejuang-pejuang ini yang sudah bekerja keras. Anggaran pemilu kan hampir Rp 25 triliun, berilah kompensasi untuk keluarga yang ditinggalkan," katanya.
Ke depan, agar kejadian ini tidak kembali terulang, pihaknya meminta KPU lebih banyak memberikan bimbingan teknis kepada petugas di lapangan. Kecepatan dan kecermatan petugas TPS di lapangan sangat bergantung dengan seringnya mereka latihan dalam penyelenggaraan pemilu.
"Dan yang pasti, mereka harus dapat asuransi," singkatnya.
Andre menambahkan, perlu evaluasi dan kajian kembali terkait sistem pemilu 2019 ini. Menurutnya, waktu kampanye selama 8 bulan dinilai terlalu lama dan menguras energi. Selain itu, gelaran pilpres yang dilakukan berbarengan dengan pileg, membuat caleg-caleg di tingkatan kota dan provinsi tenggelam oleh hingar-bingar pilpres.
"Kalau DPR mungkin masih ada gaungnya sedikit-sedikit karena dekat dengan kita. DPRD Propinsi dan DPRD Kota itu yang nyaris tidak terdengar gaungnya," ungkapnya.
Pihaknya sepakat ada pembagian sistem pemilihan, misalnya pilpres digelar dengan pemilihan caleg DPR, kemudian pilkada digelar berbarengan dengan pemilihan caleg DPRD Propinsi atau Kota.
"Bisa juga pilpres digelar dengan pilkada, lalu DPR, DPRD Propinsi/Kota dilakukan serentak tapi terpisah waktunya," ujarnya.
Pihaknya menyerahkan ke Komisi II DPR RI untuk evaluasi dan membahas format pemilu terbaik untuk Indonesia ke depannya.
Sementara itu, Direktur Bidang Saksi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Lukman Edy sepakat adanya evaluasi komperehensif dari pelaksanaan pemilu 2019.
Menurutnya, agar tidak lagi menelan korban jiwa, pemilu ke depan harus dibuat lebih sederhana tapi tanpa mengabaikan kualitas demokrasi.
Edy pun memberikan sejumlah masukan agar pemilu ke depannya bisa lebih baik. Di antaranya masa kampanye yang cukup dilakukan tiga bulan dan masa kampanye 10 hari.
"Untuk luar negeri juga sudah harus diberlakukan e-voting, jadi lebih praktis," ujarnya, Senin (22/4/2019).
Edy yang juga anggota Komisi II DPR ini menambahkan, upaya lain yang perlu dilakukan adalah memperbanyak TPS hingga jumlah pemilih di tiap-tiap TPS bisa berkurang. "Idealnya 200 orang per TPS. Kalau sekarang kan 300-an per TPS," ungkapnya.
Dia juga mengusulkan agar saksi di TPS nantinya cukup saksi independen tapi disumpah dan dibiayai negara.
"Alat peraga juga diminimalisasi, bila perlu tanpa ada alat peraga. Cukup kampanye di media massa dan media sosial," tegasnya.
Edy menyatakan, yang saat ini diperlukan adalah perbaikan, bukan perubahan sistem pemilu yang sudah ada.
"Masak setiap pemilu diubah sistemnya. Kan tidak bijak juga. Kesannya kita tidak bisa konsolidasi secara bertahap dan terus menerus. Saya cenderung kita evaluasi teknis kepemiluannya," pungkasnya.
Baca juga:
IDI Sebut Petugas Penghitungan Suara Rawan Terkena Stroke
Sesak Napas Usai Kawal Pemilu, Anggota KPPS di Bogor Meninggal Dunia
Real Count KPU, PDIP Kokoh di Puncak Gerindra dan Golkar Bersaing Ketat
Ketua DPR Desak Pemerintah Segera Beri Santunan Petugas KPPS Gugur di Pemilu 2019
Ketua RW di Panakkukang Makassar Mencoblos Dua Kali di Pemilu 2019
Penjelasan Istana Brimob Daerah Dikerahkan Jaga Ibu Kota