Catatan PKB Soal RUU TPKS
Juru bicara F-PKB Neng Eem Marhamah Zulfa mengatakan, perlunya penormaan macam-macam bentuk kekerasan seksual yang jelas membawa mudarat bagi korbannya dan belum terwadahi dalam UU yang ada.
DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberikan beberapa catatan untuk RUU TPKS tersebut.
Juru bicara F-PKB Neng Eem Marhamah Zulfa mengatakan, perlunya penormaan macam-macam bentuk kekerasan seksual yang jelas membawa mudarat bagi korbannya dan belum terwadahi dalam UU yang ada.
-
Apa itu PPPK? PPPK adalah singkatan dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Dengan kata lain, seorang warga negara Indonesia yang memenuhi syarat bisa diangkat menjadi pegawai pemerintah berdasarkan perjanjian kerja dalam jangka waktu tertentu.
-
Kenapa TPS di Distrik Naikere rawan diserang KKB? Selain itu, kawasan Distrik Naikere rawan karena menjadi daerah perlintasan kelompok kriminal bersenjata (KKB)," tutur dia seperti dilansir Antara.
-
Apa itu DPK? DPK adalah singkatan dari Daftar Pemilih Khusus. DPK adalah daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).
-
Apa yang ditawarkan oleh DPLK BRI kepada UMKM? DPLK BRI Ajak UMKM Persiapkan Dana Pensiun BRI dengan menyelenggarakan kelas edukasi “UMKM Pun Bisa Punya Pensiun” dalam pojok investasi di acara Pesta Rakyat Simpedes (PRS) BRI di Pandaan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
-
Kapan hasil PSU DPD RI Sumbar diumumkan? Perolehan suara itu dibacakan langsung oleh Ketua KPU Sumbar Surya Efitrimen pada Sabtu, (20/7) siang.
Penormaan tersebut mencakup pencegahan kekerasan seksual yang sistemik dan partisipatoris, perlindungan hukum, keadilan dan pemulihan bagi korban, hukum acara yang menjamin korban mendapatkan perlindungan dan keadilan, hingga sanksi dan rehabilitasi bagi pelaku.
“Apabila tidak semua perilaku seksual bisa diatur dalam RUU ini karena fokusnya pada kekerasan seksual, seyogyanya hal itu tidak menjadi alasan untuk menolak RUU-nya, karena kaidah fikih mengatakan bahwa 'apa yang tidak bisa diperoleh semuanya, jangan ditinggal/ditolak semuanya,” kata Neng Eem pada Rapat Paripurna DPR RI, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1).
Eem menambahkan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, definisi dan penjelasannya perlu dirumuskan secara hati-hati, jelas dan tidak multitafsir. Selain itu tidak menjerat orang yang bukan pelaku, tidak menjerat orang yang dalam posisi al mukrah (dipaksa oleh pelaku/orang) dan al madhghuth (terpaksa oleh sistem).
Kedua, RUU itu perlu berfokus pada kemaslahatan yang nyata yakni memberikan perlindungan kepada korban yang sangat banyak jumlahnya dan beragam penderitaannya. Serta belum mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya saat ini dan tidak tersandera oleh kekhawatiran yang sifatnya dugaan sesuai kaidah.
“Kemaslahatan yang nyata harus lebih diutamakan daripada kemafsadatan yang masih dugaan. Meski demikian, untuk menjaga agar kekhawatiran itu tidak terjadi, perumusan harus dilakukan secara hati-hati, sehingga tidak terjadi kriminalisasi korban atau kriminalisasi orang yang tidak semestinya dikriminalisasi,” terangnya.
Ketiga, dia menyoroti definisi kekerasan seksual yakni perbuatan seksual yang mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi dan/atau seksualitas seseorang, secara paksa dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis dan seksual, serta merugikan secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Menurutnya, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak cukup hanya mengatur pencegahan. Sebab, pencegahan saja tidak mampu mengatasi kekerasan seksual yang sudah terjadi dan dampak (mafsadat) yang ditimbulkannya, dari segi fisik, sosial, ekonomi, moral, spiritual, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Keempat, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu mengatur aspek hukum acara yang memudahkan pihak yang terdzolimi (korban, keluarga korban, dan pendamping korban) mendapatkan hak-haknya. Menurutnya, Menghadirkan hukum acara yang menjamin mudahnya akses keadilan adalah sebuah kewajiban karena hukum acara itu adalah sarana mewujudkan keadilan itu sendiri.
“Hal ini sesuai dengan kaidah kewajiban yang tidak bisa tertunaikan tanpa ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu adalah wajib,” ucapnya.
Kelima, lanjut Neng, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu mengatur pemantauan karena negara sebagai ulil amri bertanggung jawab memastikan berjalannya perlindungan setiap warga negara dari kekerasan seksual melalui melalui Lembaga Nasional HAM yang mempunyai mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga:
Gerindra Kritisi Frasa 'Kekerasan' dalam RUU TPKS
PKB Minta Masyarakat Ikut Kawal Pembahasan RUU TPKS di DPR
Pengesahan RUU TPKS Jadi RUU Inisiatif DPR RI
Paripurna Sahkan RUU TPKS Jadi Inisiatif DPR
Presiden Jokowi Punya Waktu 60 Hari Kirim Surpres ke DPR soal RUU TPKS
DPR akan Langsung Surati Presiden Setelah RUU TPKS Disahkan Jadi Inisiatif