Formappi: Negara lawan korupsi tapi paripurna DPR dipimpin tersangka
Ketua DPR Setya Novanto mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU dalam sidang paripurna DPR, tadi malam. Hal itu menuai reaksi dari sejumlah pihak. Penyebabnya, status Setnov yang menjadi tersangka dalam korupsi e-KTP dinilai tak etis mengesahkan UU.
Ketua DPR Setya Novanto mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU dalam sidang paripurna DPR, tadi malam. Hal itu menuai reaksi dari sejumlah pihak. Penyebabnya, status Setnov yang menjadi tersangka dalam korupsi e-KTP dinilai tak etis mengesahkan UU.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, secara formal yuridis memang tak menjadi soal Setya Novanto memimpin sidang pengesahan RUU Pemilu menjadi UU tadi malam. Namun secara etis, legitimasi keputusan DPR, menurutnya, pantas dipertanyakan.
"Bagaimana mungkin negara sebesar ini, yang tengah berjuang melawan korupsi tapi rela menyaksikan panggung Paripurna dipimpin oleh seorang tersangka. Walaupun status tersangka belum membuktikan kesalahan seseorang, tapi juga tak menyatakan bahwa si tersangka benar kan? Jadi keraguan akan bersalah atau tidaknya tersangka itu membuat dia tak layak untuk dipercaya seluruhnya," katanya kepada merdeka.com, Jumat (21/7).
"Di situlah etika bekerja. Tersangka dan orang-orang yang ada di belakangnya harus sadar bahwa panggung Paripurna itu merupakan panggung rakyat. Rakyat menonton dan menunggu hasil Paripurna itu," lanjutnya.
Dia menyatakan, karena hal itu terkait kepentingan rakyat, DPR tak bisa begitu saja meremehkan rakyat dengan mempertontonkan hal yang menurut rakyat memalukan yakni rapat penting dan strategis dipimpin oleh tersangka korupsi.
Menurutnya, hal itu melawan kode etik yang dibuat oleh DPR sendiri dengan misi menjaga harkat dan martabat parlemen sebagai lembaga terhormat.
"Ketika Paripurna dipimpin tersangka maka sesungguhnya martabat parlemen sedang diinjak-injak dan rakyat pun disepelekan ketika mereka harus menyaksikan rapat penting Paripurna yang harus mereka tonton dipimpin oleh orang yang sedang disangka mengkorupsi proyek e-KTP," katanya.
Karena itu, kata Lucius, legitimasi RUU Pemilu dipertanyakan secara etis. Sebab, jika nantinya Setnov terbukti korupsi, maka sejarah akan mencatat bahwa RUU Pemilu disahkan pada paripurna yang dipimpin oleh koruptor.
"Selain aspek etis, ketidaksensitifan DPR dalam paripurna itu juga sangat mungkin transaksional. Atas nama kepentingan, Novanto rela memimpin Paripurna dengan syarat partai-partai pendukung tak mengganggunya dari kursi pimpinan," katanya.
Dia pun mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi yang kerap didengung-dengungkan DPR dan pemerintah. Dia menilai DPR dan pemerintah hanya menjadikan pemberantasan korupsi sebagai jargon politik saja.
"Tak ada yang sungguh bisa kita percaya dari slogan-slogan itu. Pun penguatan KPK yang mereka katakan tiap saat sambil melawan KPK di Pansus Angket sulit untuk dipercaya sebagai komitmen lurus. Hanya bahasa politik semata, bukan sikap anti korupsi," katanya.
Sidang Paripurna DPR semalam mengesahkan ambang batas pemilihan calon presiden (Presidential Threshold) 20 persen. Sidang awalnya dipimpin oleh Fadli Zon. Namun setelah Fraksi Partai Gerindra melakukan walkout, Fadli Zon menyerahkan palu sidang untuk dipimpin Setya Novanto yang kemudian mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU setelah dilakukan voting.