Hanura sebut penundaan revisi UU KPK tak wakili DPR
Seharusnya keputusan itu harus diambil lewat rapat paripurna DPR.
Keputusan pimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menunda revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai protes. Keputusan itu dianggap tidak mewakili suara di parlemen.
Ketua Fraksi Partai Hanura di DPR Nurdin Tampubolon menilai, para pimpinan DPR tak pernah mendapat delegasi kewenangan memutuskan soal RUU KPK itu. Seharusnya keputusan itu harus diambil lewat rapat paripurna DPR.
"Pimpinan DPR tak bisa mengambil keputusan atas nama fraksi dalam hal mengambil keputusan strategis. Soal revisi UU KPK itu harus diputuskan di Baleg dan komisi terkait. Dan dia harus mendengarkan pendapat fraksi, lalu pakar dan stakeholder. Tak bisa semudah itu, pimpinan DPR setuju menunda, langsung diputuskan," kata Nurdin melalui keterangannya, Jakarta, Senin (19/10).
Menurut Nurdin, usulan pemerintah untuk merevisi UU KPK sudah ada sejak pemerintahan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, dalam perjalanannya tidak disepakati para fraksi.
Lebih jauh, dia menilai rapat konsultasi yang memutuskan revisi UU KPK ditunda itu merupakan sebuah hal keliru. Sebab, rapat konsultasi itu bukan forum mengambil keputusan, namun hanya sekedar memperkaya pendapat DPR dalam mengambil keputusan yang digelar di paripurna.
"Dalam memutuskan (soal RUU KPK), pimpinan harus mendengar pandangan fraksi. Apakah ditolak atau diteruskan? Setelah itu dibawa lagi ke sidang paripurna. Itu sesuai dengan tata tertib DPR," ujarnya.
Nurdin menambahkan, keputusan penundaan itu justru menimbulkan masalah baru. Pasalnya, bisa saja para anggota dewan memutuskan agar usulan revisi itu dilanjutkan.
"Kalau ada keputusan mereka (pimpinan DPR) bikin, tak ada gunanya. Karena bisa dianulir paripurna DPR apabila anggota DPR menghendaki yang berbeda. Sekali lagi, keputusan tertinggi adalah rapat paripurna," tandasnya.