Mahfud MD: Putusan MA Batas Usia Calon Kepala Daerah Bukan Hanya Cacat Etik, Tapi Cacat Hukum
Mahfud MD menantang KPU untuk tidak melaksanakan putusan MA soal batas usia calon Kepala Daerah.
Mahfud MD menantang KPU untuk tidak melaksanakan putusan MA soal batas usia calon Kepala Daerah.
- Mahfud MD: Cara Berhukum Kita Ini Sudah Busuk!
- Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala Daerah, Mahfud MD: Membuat Saya Mual
- Mahfud MD soal Putusan MA Tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah: Melampaui Kewenangan
- Mahfud MD Tegaskan Hak Angket Diperbolehkan untuk Usut Kebijakan Pemerintah Terkait Pemilu
Mahfud MD: Putusan MA Batas Usia Calon Kepala Daerah Bukan Hanya Cacat Etik, Tapi Cacat Hukum
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menantang KPU untuk tidak melaksanakan putusan MA soal batas usia calon Kepala Daerah.
Mahfud menyebut Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 tentang Syarat Batas USia Kepala Daerah telah mengacaukan tata hukum di Indonesia. Putusan MA tersebut sudah inkrah sehingga pada kondisi ini KPU tidak bisa menghindar.
"Sementara secara ini (putusan MA) jelas secara prosedur atau secara kewenangan ini salah. ini bukan hanya catat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum," ucap Mahfud dalam di akun Youtube pribadinya @Mahfud MD Official, Rabu (5/6).
Dia mengungkapkan, KPU bisa berkonsultasi dengan DPR sebagai pembuat UU terkait putusan MA itu. Sebab, dalam UU Nomor 10 tahun 2016 yang disahkan DPR menyebutkan syarat usia minimal 30 tahun untuk calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, calon walikota dan calon wakil wali kota.
"Bisa juga dibicarakan dengan DPR. karena Karena DPR sendiri sudah ada di Undang-Undang, 30 tahun itu saat mendaftar (calon gubernur dan wakil gubernur), 25 tahun saat mendaftar (calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil wali kota), kan gitu,”
tambahnya.
merdeka.com
Mahfud MD pernah menyatakan putusan MA tentang batas usia calon kepala daerah salah dan melampaui kewenangan MA itu sendiri. Hal ini dikarenakan MA tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan suatu isi UU.
"Kalau memang itu mau diterima putusan MA berarti dia membatalkan isi UU. Sedangkan menurut hukum kita, menurut konstitusi kita MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi UU," ungkap Mahfud.
"Ini jauh melampaui kewenangan MA, saya khawatir jangan-jangan hakim tidak baca pasal 1 ayat 1," sambungnya.
Dia menjelaskan, membatalkan isi UU hanya ada dua cara. Pertama, melalui legislative review yaitu diubah oleh lembaga legislatif, atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau isi UU mau dibatalkan itu cuma 2 caranya. 1 legislative review atau judicial review oleh MK bukan MA. Atau Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) kalau darurat, ini jauh melampaui kewenangan MA," ujar dia.