PPP Gugat Ambang Batas Parlemen ke MK
Hakim meminta Pemohon memberikan alasan yang kuat atas permohonannya mengingat pasal tersebut sudah sering diuji dan diputus MK.
Hakim meminta Pemohon memberikan alasan kuat atas permohonannya mengingat pasal tersebut sudah sering diuji.
- Asa PPP Masuk Parlemen Pupus, Sengketa Pileg 2024 di Dapil Gorontalo 6 Ditolak MK
- Hakim MK Sentil Pengacara KPU karena Tak Pernah Bertanya: Enak Sekali Jadi Kuasa Hukum, Diam
- PPP Tegaskan Siap Dukung Hak Angket Usut Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
- Reaksi Ketua KPU Diputus Melanggar Etik oleh DKPP Terkait Pencalonan Gibran
PPP Gugat Ambang Batas Parlemen ke MK
Seorang anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang bernama Didi Apriadi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang uji materi yang digelar oleh MK di Gedung 1 MK, Didi selaku Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Malik Ibrohim, mempersoalkan norma yang menyatakan "Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".
Malik menjelaskan, Pemohon merasa telah dirugikan atas berlakunya pasal tersebut karena PPP pada Pemilu DPR 2024 meraih 5.878.777 suara dari 84 daerah pemilihan atau setara dengan 3,87 persen, sehingga tidak memenuhi ambang batas parlemen.
"Keberlakuan Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menyebabkan partai Pemohon kehilangan hak untuk memperoleh kursi anggota DPR yang berakibat juga pada suara pemohon menjadi hangus dan terbuang sia-sia," ujarnya seperti dilansir dari Antara, Kamis (3/7).
Terkait sudah banyaknya perkara yang telah menguji norma yang sama, lanjutnya, Pemohon menegaskan bahwa hal yang ia persoalkan tidak "Ne Bis In Idem".
Adapun asas "Ne Bis In Idem" adalah perkara dengan objek, para pihak, dan materi pokok perkara yang sama diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
"Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR," ujarnya.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan bahwa Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.
Setelah pihak Pemohon selesai membacakan isi permohonan, majelis hakim panel memberikan nasihat dan saran perbaikan.
Salah satu hakim yang memberikan nasihat adalah Enny Nurbaningsih. Ia meminta Pemohon memberikan alasan yang kuat atas permohonannya mengingat pasal tersebut sudah sering diuji dan diputus MK.
"Ini tugas beratnya di sini, apa sesungguhnya yang bisa meyakinkan Mahkamah bahwa putusan Mahkamah terakhir, Putusan Nomor 116 Tahun 2023 yang telah memaknai Pasal 414 Ayat (1), itu kemudian harus di-challenge oleh prinsipal Saudara," ujar dia.
MK pun memberikan tenggat waktu bagi Didi dan kuasa hukumnya untuk menyerahkan berkas permohonan yang telah diperbaiki paling lambat pada Selasa, 16 Juli 2024 pada pukul 09.00 WIB.