Sengketa Pilkada Sumba Barat Daya, Komisi II sebut MK bisa salah
Menurut Agun, meskipun putusan MK berkekuatan tetap dan mengikat, kata dia, tak ada orang yang kebal akan hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pasangan Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha dalam Pilkada Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Padahal, Mapolres Sumba Barat telah menetapkan 18 tersangka kecurangan pilkada itu.
Tak hanya itu, dalam hasil hitung ulang yang dilakukan pihak kepolisian, kemenangan bukan pada kubu Markus-Ndara, melainkan kompetitornya Kornelius-Daud. MK juga memutuskan tanpa terlebih dahulu menghitung ulang surat suara, alasannya, karena berkendala transportasi.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum. Meskipun, putusan MK berkekuatan tetap dan mengikat, kata dia, tak ada orang yang kebal akan hukum.
Agun menilai, dalam kasus ini, bisa saja hakim MK melakukan kesalahan. Oleh sebab itu, ia meminta agar pihak yang merasa dirugikan, menjalani proses hukum sesuai ketentuan yang berlaku.
"Apapun prosesnya kalau MK sudah putuskan putusan itu harus dihormati. Kalau pun ada terkait hal-hal lain itu kan ada mekanisme yang, bukan terhadap gugatan putusannya, tetapi lebih kepada katakanlah abused yang dilakukan oleh hakim. Jangankan hakim, presiden pun ada prosesnya, enggak ada manusia yang kebal hukum," jelas Agun saat berbincang, Kamis (19/9) sore.
Politikus asal Partai Golkar ini enggan berpendapat dan berpolemik tentang putusan MK yang memberikan keputusan tanpa memeriksa bukti terlebih dahulu. "Kalau sebuah keputusan benar dan tidak benar kan tidak dalam kompetensi saya untuk menilai. Tapi secara formil aturan ya putusan MK itu bersifat final dan mengikat," terangnya.
Oleh sebab itu, ia meminta kepada pihak yang merasa dirugikan, jalani proses hukum lain ketimbang harus memperdebatkan hasil putusan MK. Dia juga yakin, dalam Pilkada tidak ada satu pun orang yang bisa bertindak sewenang-wenang.
"Kalau ada hak-hak lain ya bisa digunakan oleh ranah hukum yang lain berkonsep sebagai mana adanya, tidak akan pernah ada sebuah jabatan publik, individu, bisa bertindak semena-mena," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan hasil pleno 10 Agustus lalu, KPU Sumba Barat Daya menyatakan Kornelius yang juga bupati incumbent hanya memperoleh 79.498 suara. Sedangkan Markus-Ndara 81.543 suara. Markus pun dinyatakan menang.
Tak terima dengan keputusan KPUD, Kornelius menggugat putusan itu ke MK dan ranah pidana. Kornelius menduga ada kecurangan signifikan dan meminta 144 kotak suara yang bermasalah dihitung ulang. Namun, permintaan Kornelis ditolak KPU setempat.
Akhirnya begitu bergulir di MK, hakim konstitusi memerintahkan kotak suara itu didatangkan ke Jakarta untuk dibuka dan dihitung ulang pada 26 Agustus. Tapi karena kesulitan transportasi, ratusan kotak itu tiba pada 27 Agustus.
MK akhirnya tak membuka kotak itu. Pada 29 Agustus MK memutus menolak gugatan Kornelius dan otomatis Markus menang.
Sedangkan Polres Sumba Barat melakukan langkah penyidikan terhadap KPU Sumba Barat Daya. Hasil penghitungan ulang di kepolisian ternyata berbeda dengan keputusan KPU Sumba Barat Daya yang memenangkan Markus-Ndara. Hasil akhirnya, secara keseluruhan suara yang diperoleh Kornelius-Daud dalam Pemilukada SBD adalah 79.498. Sedangkan Markus-Ndara hanya 67.831.