Soal batas sengketa 2 persen, MK dinilai cuma jadi corong UU
MK juga dinilai telah mengkhianati konstitusi karena aturan 2 persen penanganan sengketa Pilkada.
Syarat 2 persen pengajuan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) menuai polemik. Apalagi MK saat ini tengah melakukan ratusan sidang sengketa hasil Pilkada serentak 9 Desember 2014 lalu.
Sekretaris Jenderal Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Achmad Saifudin Firdaus mengkiritik sikap Ketua MK Arif Hidayat yang ngotot tak mau memproses sengketa Pilkada jika selisih suaranya tidak 0,5 persen sampai 2 persen. Sebab, MK hanya beracuan pada UU yang berlaku.
"Pernyataan Ketua MK tersebut mengakibatkan MK terjebak dalam keadilan prosedural dimana seharusnya kedudukan MK sebagai The Guardian of The Constitution, menjadi turun tingkatannya hanya sebagai corong undang-undang, hal ini merupakan preseden buruk bagi perjalanan MK ke depan," kata Saifudin dalam keterangan tertulis yang disampaikan kepada merdeka.com, Selasa (12/1).
Padahal, lanjut dia, secara konsep hakim bukan sekedar corong undang-undang tetapi dalam situasi tertentu ia dapat melampaui undang-undang atau dapat menerobos undang-undang dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan atau HAM untuk menemukan hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang ditanganinya.
"Jika kita mengacu pada Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008, paragraph [3.27] dan [3.28], halaman 128-129 menyatakan bahwa karena sifatnya sebagai peradilan konstitusi, Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)," tutur dia.
"Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undang-undang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara, namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945," imbuhnya.
Saifudin menjelaskan, pendekatan substansial lebih dikedepankan seiring dengan pendirian MK yang tidak hanya sekadar mempersoalkan kuantitas Pemilu, namun lebih kepada kualitas Pemilu sehingga harus menilai proses yang terjadi dalam Pemilu (judicial process). Dalam perkembangannya oleh karena MK meyakini bahwa telah terbukti terjadi pelanggaran yang berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon, maka mau tidak mau MK harus keluar dari ketentuan normatif undang-undang melalui penafsiran demi memberi keadilan yang bersifat substantif.
"Adanya penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilukada sesuai dengan karakteristik MK sebagai pengawal konstitusi. Artinya kerangka dalam menyelesaikan sengketa hasil Pemilukada sebagai proses demokrasi dalam kerangka konstitusi," jelas dia.
"Artinya jika dengan dasar MK harus tunduk pada ketentuan Pasal 158 UU Pilkada lalu mengabaikan kecurangan-kecurangan yang nyata terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada yang berakibat rusaknya kualitas pilkada serta runtuhnya proses demokrasi dalam penyelenggaraan Pilkada dimana telah diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Pemilihan kepala daerah dipilih secara Demokratis. Maka sejatinya MK sebagai 'The Guardian of The Constitution' telah mengkhianati amanat konstitusi itu sendiri," pungkasnya.
Baca juga:
MK dikritik, cuma lihat hasil tanpa tahu proses pilkada
Hakim: Tidak ada ongkos biaya perkara di MK
Hasil Pilkada Banggai digugat ke MK karena diduga banyak kecurangan
Tuding ada politik uang, paslon Kabupaten Sigi gugat ke MK
Dituding terima duit Rp 100 juta, KPU Teluk Bintuni digugat ke MK
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka melalui pemilihan langsung, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kehendak dan kebutuhan masyarakat setempat.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Apa yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang terbatas 17 orang. “Ada kesepakatan baru, sekarang 19 orang. Sebelumnya MK hanya memperbolehkan pemohon membawa 17 orang terdiri dari 15 saksi dan 2 ahli,” kata Fajar kepada awak media di Gedung MK Jakarta, Selasa (26/3/2024).
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.