Throwback Politik Identitas Pilkada DKI Jakarta 2017, Kasus Penistaan Agama hingga Aksi Damai 212
Kasus penistaan agama yang melibatkan calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 memicu politik identitas di kalangan umat Islam.
Kasus penistaan agama yang melibatkan seorang calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan hanya menjadi isu di tingkat lokal, tetapi juga menarik perhatian di tingkat nasional.
Sebagai reaksi terhadap peristiwa tersebut, Gerakan Aksi Damai 212 muncul sebagai bentuk protes yang kuat dari umat Islam, yang menunjukkan adanya kebangkitan kesadaran politik yang berlandaskan identitas agama yang semakin kuat.
- Pramono Anung Ingin Pilkada Jakarta Berlangsung Adil: Kita Tidak Bawa Politik Agama
- Peta Politik Pilkada Jakarta Berubah, PDIP Bisa Usung Anies Tarung Lawan Ridwan Kamil
- Cak Imin Yakin Tak Ada Politik Identitas di Pilkada Jakarta 2024: Sudah Berubah Semuanya
- Nostalgia Pilkada DKI 2017: Kandidat, Daya Tarik, dan Hasil yang Sengit
Dampak dari situasi ini terlihat tidak hanya pada hasil pemilihan, tetapi juga dalam perkembangan politik dan sosial yang terjadi di Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan contoh nyata bagaimana hubungan antara agama dan politik dapat saling memengaruhi dalam konteks masyarakat Indonesia.
Munculnya Kasus Penistaan Agama
Basuki Tjahaja Purnama, yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok, tidak pernah membayangkan bahwa pidatonya di hadapan masyarakat Kepulauan Seribu pada 30 September 2016 akan berujung pada penahanan dirinya. Dalam pidato tersebut, Ahok mengutip Surat Al Maidah ayat 51 untuk menanggapi isu SARA yang dilontarkan oleh lawan politiknya guna meruntuhkan posisinya dalam Pilkada Bangka Belitung.
Setelah pidato itu viral di media sosial, muncul tuduhan bahwa Ahok telah melakukan penistaan terhadap agama. Pada 7 Oktober 2016, Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok ke pihak kepolisian dengan Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim, yang menyatakan bahwa Ahok telah menghina agama melalui sebuah video di YouTube.
Situasi semakin memanas, seperti yang diungkapkan dalam kutipan dari Liputan6.com, ketika demonstrasi dan desakan dari masyarakat mulai menggema di berbagai daerah. Puncaknya terjadi pada 4 November 2016 di Jakarta, di mana Ahok ditolak untuk melanjutkan kampanye dalam Pilkada DKI 2017.
Banyak warga yang menuntut agar pihak kepolisian segera mengambil tindakan tegas terkait kasus penistaan agama ini. Meskipun Ahok bersedia untuk diperiksa dan meminta maaf kepada publik, demonstrasi semakin meluas dan dianggap mengganggu ketertiban umum.
Dalam situasi yang semakin memanas ini, Presiden Joko Widodo mengambil langkah tegas dengan meminta Kapolri untuk menangani kasus Ahok secara terbuka dan transparan. Akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada Ahok, yang merupakan vonis lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman dua tahun penjara.
Aksi Damai 212 dan Politik Identitas
Aksi Damai 212 yang berlangsung di Jakarta bukan sekadar demonstrasi, melainkan juga mencerminkan kekuatan politik identitas dari masyarakat Muslim. Gerakan ini tidak hanya berhasil menyatukan umat Islam di Jakarta, tetapi juga menarik perhatian masyarakat Muslim dari berbagai daerah lainnya.
Mengutip dari jurnal berjudul Politik Identitas dalam Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017: Perspektif Pemikiran Politik Nurcholish Madjid karya Idzam Fautanu, dkk. (UIN Sunan Gunung Djati, 2020), aksi ini dihadiri oleh sekitar tujuh juta orang, yang menunjukkan bahwa isu identitas agama memiliki peranan penting dalam mobilisasi politik.
Dengan adanya ukhuwah Islamiyah yang kuat, diharapkan kekuatan politik Islam dapat terbentuk secara alami. Melalui ikatan keyakinan yang mendalam, umat Islam diharapkan dapat bersatu untuk menghadapi berbagai tantangan politik yang ada.
Hasil dari Kebangkitan Politik Identitas
Pemilihan Anies-Sandi sebagai pemimpin DKI Jakarta menegaskan adanya pengaruh politik identitas yang kuat di kalangan umat Islam. Dalam proses Pilkada tersebut, banyak warga Muslim yang mengungkapkan bahwa keyakinan agama mereka memegang peranan penting dalam menentukan pilihan calon pemimpin.
Fenomena ini menunjukkan adanya perubahan dalam cara berpikir masyarakat saat menentukan pilihan politik. Bagi sejumlah warga Jakarta, memilih pemimpin yang seagama dianggap sebagai suatu keharusan demi mempertahankan nilai-nilai keagamaan dan moralitas dalam sistem pemerintahan.
Apa Pemicu Aksi Damai 212?
Aksi Damai 212 terjadi sebagai reaksi terhadap tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh calon petahana dalam Pilkada DKI Jakarta. Kejadian ini memicu umat Islam untuk melakukan unjuk rasa sebagai bentuk pembelaan terhadap Al-Quran, menunjukkan kepedulian mereka terhadap nilai-nilai agama yang dianggap terancam.
Bagaimana Politik Identitas Berpengaruh pada Pilkada DKI Jakarta 2017?
Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, politik identitas memiliki peranan yang signifikan. Hal ini terlihat dari bagaimana politik identitas mampu mendorong umat Islam untuk memberikan suara bagi calon pemimpin yang seagama, yang pada gilirannya menciptakan sebuah kesadaran kolektif di antara pemilih Muslim.
Dengan demikian, politik identitas tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk meraih suara, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat solidaritas di kalangan komunitas Muslim. Peristiwa ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh identitas agama dalam menentukan pilihan politik, terutama dalam konteks pemilihan umum yang melibatkan berbagai latar belakang sosial dan budaya.
Apa Dampak dari Kemenangan Anies-Sandi terhadap Politik di Indonesia?
Kemenangan Anies-Sandi membuktikan bahwa agama memiliki pengaruh signifikan terhadap pilihan politik masyarakat. Hal ini juga memicu diskusi mengenai keterkaitan antara agama dan negara di Indonesia, yang semakin relevan dalam konteks politik saat ini.
Seperti yang telah diungkapkan, 'Kemenangan Anies-Sandi menunjukkan bahwa agama dapat memengaruhi pilihan politik, serta mendorong perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia'. Dengan demikian, peristiwa ini tidak hanya berimplikasi pada hasil pemilihan, tetapi juga pada dinamika sosial dan politik yang lebih luas di tanah air.