Tia Rahmania: Saya Tidak Ingin Dianggap Anak dan Cucu Kerja Politik Jahat Curi Suara Rekan
Tia melawan dipecat PDI Perjuangan dengan berkonsultasi ke Bareskrim terkait laporan pencemaran nama baik.
Tia Rahmania mengaku kecewa dituding PDI Perjuangan menggelembungkan suara pada Pemilu 2024 lalu di Dapil Banten I. Tudingan itu menjadi dasar PDI Perjuangan memecat Tia sebagai kader sekaligus membatalkannya dilantik sebagai anggota DPR dan digantikan koleganya Bonnie Triyana.
Tia tak tinggal diam. Dia melawan dengan berkonsultasi ke Bareskrim terkait laporan pencemaran nama baik.
- Blak-blakan Perlawanan Tia Rahmania hingga Singgung Ketum PDIP Megawati
- Tia Rahmania Melawan, Bakal Datangi Bareskrim Bikin Laporan Pencemaran Nama
- Tia Rahmania Melawan, Bongkar Gugatan Bonnie Triyana Pernah Ditolak Bawaslu Lalu Dilanjut ke Mahkamah PDIP
- Pecat Tia Rahmania, PDIP Bantah Ada Kaitan soal Kritik ke Nurul Ghufron
Menurut Tia, tuduhan Mahkamah Partai PDI Perjuangan terhadapnya menggelembungkan suara pada Pemilu 2024 lalu telah mencoreng nama baiknya sebagai seorang ibu.
"Ini bukan bicara tentang kembalinya atau saya menjadi legislator kembali di periode 2024, tapi yang lebih tepat lagi saya ingin membersihkan nama baik saya sebagai ibu. Saya tidak ingin anak saya, cucu saya ketika nanti membaca rekam jejak digital saya dianggap melakukan kerja politik dengan cara yang jahat, mencuri suara dari rekan saya," kata Tia di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).
Tidak hanya sebagai ibu, Tia juga mengaku sebagai seorang dosen tidak ingin dianggap mencontohkan tidak benar kepada para mahasiswanya dalam karier politiknya.
Kubu Tia Tudingan Penggelembungan Suara Janggal
Sementara kuasa hukum Tia, Jupryanto Purba mengatakan, hasil konsultasinya dengan kepolisian agar gugatan kliennya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat diselesaikan terlebih dahulu.
Tia menggugat Mahkamah Partai PDI Perjuangan terkait pemecatannya dan caleg Bonnie Triyana sebagai penggantinya di DPR RI.
Menurut Purba, proses dugaan tindak pidana pemilu harusnya dilangsungkan di Bawaslu RI, tapi Mahkamah Partai justru langsung bersurat ke KPU RI soal pemecatan Tia karena penggelembungan suara.
"Kejahatan undang-undang pemilu yang mana kalau terjadi penggelembungan suara, maka akan dilakukan proses di Bawaslu terlebih dahulu. Setelah ada indikasi, baru dilimpahkan ke penyidikan. Setelah itu baru kejaksaan ke KPU untuk mengatakan (ada atau tidaknya pelanggaran)," ucap Purba.
Purba mengatakan, tuduhan Tia menggelembungkan suara juga dianggapnya janggal. Sebab dia hanya mendapatkan 501 suara pada Pemilu 2024 lalu.
"Dalam amar putusan mengatakan bu Tia melakukan penggelembungan suara 1.600 sekitar itu. Jadi itu membuat kita gimana putusan seperti ini dan itu perlu kita sampaikan putusan mahkamah partai," kata Purba.
Dasar Pemecatan
Sebelumnya diberitakan, Juru Bicara PDI Perjuangan Chico Hakim di Jakarta mengatakan, kronologi pemecatan itu bermula pada tanggal 13 Mei 2024, saat Bawaslu Provinsi Banten memutus delapan PPK di 8 Kecamatan di Dapil Banten 1 (Lebak-Pandeglang) terbukti bersalah melakukan tindak pelanggaran penggelembungan suara yang menguntungkan Tia Rahmania.
"Pada 14 Agustus 2024, Mahkamah Partai PDI Perjuangan menyidangkan kasus Tia Rahmania dan Rahmad Handoyo dari Dapil Jateng V," kata Chico kepada wartawan, Kamis (26/9).
Chico mengatakan, Mahkamah Partai memutus keduanya terbukti melakukan penggelembungan suara dan melanggar kode etik dan disiplin partai.
Berlanjut pada tanggal 30 Agustus 2024 DPP PDIP mengirimkan surat beserta hasil persidangan Mahkamah Partai ke KPU.Pada 3 September 2024, Mahkamah Etik atau Badan Kehormatan PDIP menyidangkan perkara pelanggaran etik Tia Rahmania dan Rahmad Handoyo, atas pemindahan perolehan suara partai ke perolehan suara pribadi.
Mahkamah Etik memutus keduanya bersalah dan menjatuhkan hukuman pemberhentian.
"13 September 2024 DPP PDI Perjuangan mengirimkan surat pemberhentian Tia Rahmania dan Rahmad Handoyo kepada KPU," kata Chico.
Kemudian di tanggal 23 September 2024 KPU merilis Keputusan KPU 1206/2024 tentang penetapan calon terpilih anggota DPR.
"Mahkamah Partai menyidangkan total 180 kasus perselisihan perolehan suara dan pelanggaran kode etik dan disiplin partai. Kasus yang disidangkan terjadi di level DPRD Kabupaten Kota, DPRD Propinsi, dan DPR. Dari 180 kasus, ada 11 perkara yang dikabulkan, antara lain untuk DPR RI Bonnie Triyana di Dapil Banten I dan Didik Hariyadi di Dapil V Jateng," pungkas Chico.