UU Pemilu Diubah Lagi, Siapa Berkepentingan?
Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang Pemilu akan diubah. Setelah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, Komisi II DPR kini tengah membahas draf RUU Pemilu. Isu utamanya adalah mengembalikan pilkada sesuai jadwal.
Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang Pemilu akan diubah. Setelah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, Komisi II DPR kini tengah membahas draf RUU Pemilu. Isu utamanya adalah mengembalikan pilkada sesuai jadwal.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pelaksanaan pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024. Saat UU itu dibuat, pertimbangan utamanya adalah, pelaksanaan yang serentak akan menghemat anggaran serta meningkatkan partisipasi pemilih.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa arti Pemilu? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa itu Pemilu? Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat pemilu adalah suatu proses atau mekanisme demokratis yang digunakan untuk menentukan wakil-wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan cara memberikan suara kepada calon-calon yang bersaing.
-
Apa yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah proses pemilihan umum yang dilakukan secara periodik untuk memilih para pemimpin dan wakil rakyat dalam sistem demokrasi.
-
Apa saja jenis-jenis tindak pidana pemilu yang diatur dalam UU Pemilu? Jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu, yaitu Pasal 488 s.d. Pasal 554 UU Pemilu. Di antara jenis-jenis tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memberikan Keterangan Tidak Benar dalam Pengisian Data Diri Daftar PemilihPasal 488 UU PemiluSetiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.Data diri untuk pengisian daftar pemilih antara lain mengenai nama, tempat dan tanggal lahir, gelar, alamat, jenis kelamin, dan status perkawinan.
Namun, dampaknya, mengundur pelaksanaan pilkada hingga 2024 akan membuat lebih dari 200 daerah tidak memiliki kepala daerah definitif dan akan dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) yang ditetapkan Kemendagri. Untuk Jakarta misalnya, jika pilkada tidak digelar pada 2022, Gubernur DKI akan dijabat oleh Plt selama dua tahun.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengungkapkan, hampir seluruh fraksi sepakat bahwa pelaksanaan pilkada dikembalikan sesuai siklus lima tahunan dan digelar pada tahun 2022 dan 2023. Hanya Fraksi PDIP yang menolak perubahan itu, sedangkan Fraksi Gerindra belum menyatakan sikap.
Anggota Komisi II dari Fraksi PAN Guspardi Gaus menyebut ada opsi lain yang muncul yakni pemilu serentak tetap digelar namun diundur pada tahun 2027. Sedangkan Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan sesuai jadwal.
Guspardi menjelaskan, draf revisi UU Pemilu belum memutuskan secara tegas soal konsep keserentakan Pemilu. Yang pasti, pilihan tetap mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 55/PUU-XVII/2019. Putusan itu memiliki beberapa variabel keserentakan Pemilu.
"MK memberikan variable bermacam-macam, kita ambil salah satu opsi yang kemungkinannya lebih dipahami. Kita bicarakan dampak positif dan dampak negatif," ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama menilai, wajar jika pembahasan revisi UU Pemilu berkaitan kepentingan partai politik. Namun, DPR dan pemerintah juga harus memikirkan perbaikan persoalan dalam undang-undang Pemilu.
"Bagaimana partai politik bertarung gagasan, preferensi, kepentingan sangat kuat dengan tujuan UU Pemilu bisa mereka pahami dan beri insentif keterpilihan dan juga perolehan suara signifikan bagi partai politik," kata Heroik dalam diskusi daring Minggu (24/1).
Sayangnya, porsi kepentingan parpol lebih besar saat pembahasan daripada perbaikan masalah dalam desain kepemiluan. Kepentingan politik salah satunya pembahasan ambang batas justru bisa membuat penyelesaian revisi UU Pemilu menjadi molor. Seperti ketika perdebatan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 lalu.
Perludem mendorong DPR dan pemerintah dalam membahas revisi UU Pemilu yang baru membuat skala prioritas isu yang harus direspons. Catatan Perludem, yang harus diperhatikan adalah keserentakan dan waktu penyelenggaraan Pemilu.
"Bagaimana kemudian pembahasan revisi UU ini, pemangku kebijakan kita anggota DPR harus membuat skala prioritas isu mana yang krusial itu harus segera diperbaiki. Sedangkan desain elektoral parpol bagaimana dapat suara itu di akhir," ucap Heroik.
Soal Teknis atau Kepentingan Pilpres 2024?
Lazimnya perubahan-perubahan terhadap UU Pemilu yang dilakukan DPR sebelumnya, isu soal ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas calon presiden (presidential threshold), menjadi bahasan pokok.
Berapa batas persentase masih menjadi tarik ulur antara fraksi-fraksi. Ada yang ingin tetap 7 persen seperti di aturan yang ada, sebagian fraksi ingin diturunkan menjadi 4 persen. Demikian juga untuk pencalonan presiden. Sejumlah parpol menengah ingin angkanya diturunkan menjadi 15 persen dari sebelumnya 20 persen, agar jumlah pasangan capres-cawapres yang diajukan bisa lebih banyak.
Meski begitu, kedua isu itu belum mendapat perhatian serius dibandingkan upaya menormalisasi pilkada 2022 dan 2023. Partai Demokrat salah satu yang paling keras menyuarakan normalisasi pilkada.
"Demokrat meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, tidak digabung dengan Pileg dan Pilpres 2024," ujar Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, dikutip dari Antara, Sabtu (16/1).
Ada tiga pertimbangan. Pertama, menurut Herzaky, Pilkada serentak di 2024 akan menciptakan beban teknis pemilihan berlebih bagi penyelenggara pemilu. Saat pileg dan pilpres 2019, telah jatuh korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas sakit.
Beban kerja di Pemilu Serentak 2019 yang cukup besar menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia. Karena itu, Partai Demokrat tidak ingin kejadian itu terulang.
"Meskipun pemungutan suara pemilu dan pilkada pada 2024 direncanakan tidak bersamaan harinya, pemilu biasanya bulan April, sedangkan Pilkada pada November 2024 seperti tercantum di Pasal 201 Ayat 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tahapan-tahapannya akan beririsan satu sama lain. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat," kata Herzaky.
Lebih lanjut, ia menilai pertarungan Pilkada yang diserentakkan dengan Pilpres dan Pileg bisa jadi bukan lagi politik gagasan. Kompleksitasnya akan memunculkan tindakan ilegal seperti politik uang dan penyalahgunaan jabatan.
Serta, jika Pilkada digelar pada 2024 maka akan ada waktu panjang daerah tidak dipimpin pejabat definitif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Ada 272 yang dipimpin pejabat sementara dan sebagian merupakan episenturm Covid-19. Belum lagi tidak ada jaminan pandemi berakhir pada 2022 atau 2023.
"Ketiadaan kepala daerah definitif hasil pemilu membuat rentannya daerah karena penjabat kepala daerah tidak bisa membuat keputusan strategis. Banyak keputusan penting akan terhambat dan berujung pada upaya pencapaian program pemerintahan tidak dapat berjalan optimal," papar Herzaky.
Herzaky mengingatkan, opsi apapun yang dipilih harus kesepakatan pemerintah dan partai politik di Senayan. Jangan sampai pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 karena alasan pragmatis demi menjegal tokoh politik yang potensial sebagai Capres 2024.
"Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," ujar Herzaky.
Sementara itu Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pelaksanaan pilkada serentak 2020 lebih baik dievaluasi. Dia menegaskan, belum ada urgensi perubahan undang-undang.
"Evaluasi Pilkada serentak penting, namun belum mengarah pada urgensi perubahan UU Pilkada," kata Djarot dalam keterangannya, Rabu (27/1).
Djarot menilai, Pemerintah dan DPR tidak perlu membuang-buang energi melakukan perubahan undang-undang yang berpotensi menimbulkan ketegangan politik. Menurutnya lebih baik fokus menyelesaikan masalah pandemi Covid-19.
"Lebih baik fokus kita mengurus rakyat agar segera terbebas dari Covid-19. Pelaksanaan pilkada yang penting untuk dievaluasi, bukan perubahan UU-nya," tegas Djarot.
Djarot menambahkan, aturan yang ada tidak perlu diubah karena pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan dan kesesuaian jadwal antara Pilpres, Pileg dan Pilkada 2024.
"Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU tersebut belum dijalankan, bagaimana perubahan akan dilakukan? Jadi dilaksanakan dulu tahun 2024, baru dievaluasi," kata Djarot.
Demi Anies dan AHY?
Konstelasi politik 2024 diperkirakan akan cair setelah Presiden Jokowi menuntaskan dua kali masa jabatannya. Tanpa capres petahana, semua tokoh dianggap akan memiliki peluang yang sama. Apalagi PDIP hingga kini belum memiliki jagoan.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menilai, ada alasan Pilpres 2024 di balik dorongan normalisasi pilkada. Yaitu untuk mempersiapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang digadang-gadang maju di Pilpres 2024.
"Mungkin partai-partai yang ingin Anies jadi capres itu mendorong agar Pilkada 2022 dan 2023 itu tetap ada. Dengan kata lain meminta agar Pilkada atau Pilkada serentak itu mundur di 2024 menjadi 2027," kata Qodari kepada wartawan, Rabu (27/1).
Qodari menilai, dengan digelarnya Pilkada 2022 dan 2023, maka akan membuat ruang partai mencari jagoan baru atau mempertahankan jagoannya. Partai bisa mencari capres alternatif. "Melalui Pilkada Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim, terutama pilkada Jakarta. Karena, Jakartalah Pilkada rasa Pilpres," jelasnya.
Tentunya yang menjadi sorotan adalah Anies Baswedan yang kini memimpin ibu kota. Jika sesuai UU Pilkada yang berlaku, posisi Anies akan digantikan penjabat sementara hingga Pilkada digelar serentak pada 2024. Qodari menduga, ada upaya mempertahankan nama yang sekarang diunggulkan, termasuk Anies, agar bisa ditarik sebagai Capres 2024.
"Tetapi kalau Anies maju, dia dapat panggung Pilkada, dan apabila menang terpilih kembali, maka akan punya panggung lagi, di pemerintahan selama dua tahun," kata Qodari.
Hal Senada dilontarkan Direktur Voxpol Pangi Syarwi Chaniago. Dia menyatakan, jika pilkada ditunda ke tahun 2024, maka popularitas Anies akan melemah, karena tidak punya 'panggung' selama 2 tahun setelah jabatannya habis di tahun 2022.
"Mengapa hanya PDIP yang pilih pilkada serentak di tahun 2024? Pertama ingin melemahkan Anies sehingga tak punya panggung selama dua tahun, motivasi kedua adalah PDIP nanti ingin semua kepala daerah dijabat Plt. Ada 201 kepala daerah yang akan Plt kalau pilkada serentak 2024, itu bisa dibayangkan kemendagri dan PDIP bakal menang banyak, bisa mengatur ancang-ancang dengan adanya kepala daerah Plt," jelasnya.
Soal Demokrat yang begitu kuat mendorong normalisasi pilkada, Pangi menyatakan hal ini terkait pencapresan di 2024. Dia menduga Anies akan dipasangkan dengan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). "Komposisi Anies-AHY atau AHY-Anies, akan menjadi alternatif capres-cawapres yang berpeluang kuat," ujarnya.
Namun, dengan syarat, lanjut Pangi, Anies mampu menarik dukungan parpol lain dalam koalisi. "Tapi apakah PKS mau mengalah lagi setelah di Jakarta ditinggalkan. Kalau Gerindra, selama Prabowo masih berniat maju, Anies sulit mendapat dukungan," jelasnya.
Terlepas dari motif politik pilpres 2024, Pangi menegaskan, tidak ada urgensi untuk mempertahankan pilkada serentak di 2024. Dari pengalaman pilkada serentak dan pemilu 2019, Pangi tidak melihat pilkada serentak lebih efisien, lebih berkualitas, bahkan lebih meningkatkan partisipasi politik.
"Saya mencermati pilkada serentak yang mau dipaksakan ke tahun 2024 apa untungnya? Apakah kepala daerah Plt bisa berbuat banyak? Bisa membuat kebijakan strategis dan keputusan penting? Saya melihat justru pilkada serentak yang mau dipaksakan ke tahun 2024 lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya," pungkasnya.
(mdk/bal)