Wacana E-Voting pada Pemilu Dianggap Kontradiktif dengan Putusan MK
Ia menyebutkan setidaknya ada tiga dari 12 azas yang bisa dipenuhi dengan e-voting. Pertama adalah azas efisien, termasuk anggaran dan waktu pelaksanaan pemilu. Kedua adalah azas efektif.
Peneliti dari Kode Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana mempertanyakan wacana penerapan e-voting pada Pemilu 2024. Sebab menurutnya, wacana tersebut menjadi hal kontradiktif jika merujuk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 147/PUU-VII/2009.
Disebut demikian, lantaran esensi dari putusan tersebut menurut Ihsan adalah proses rekapitulasi bukan proses pemungutan suara (e-voting).
-
Apa yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang terbatas 17 orang. “Ada kesepakatan baru, sekarang 19 orang. Sebelumnya MK hanya memperbolehkan pemohon membawa 17 orang terdiri dari 15 saksi dan 2 ahli,” kata Fajar kepada awak media di Gedung MK Jakarta, Selasa (26/3/2024).
-
Siapa yang menyerahkan sepenuhnya keputusan sengketa Pemilu 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK)? “Oh itu wilayahnya di Mahkamah Konstitusi,” kata Jokowi di Gorontalo, Minggu (21/4).
-
Siapa saja yang menggugat hasil Pemilu 2024 di Mahkamah Konstitusi? Delapan hakim MK menentukan putusan terkait gugatan diajukan kubu 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan kubu 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
-
Apa yang dipilih oleh rakyat dalam Pilkada 2024? Pilkada 2024 akan menjadi momen penting dalam peta politik Indonesia, di mana rakyat akan memilih pemimpin-pemimpin daerah yang akan memegang kendali pemerintahan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Kapan sidang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 digelar di Mahkamah Konstitusi? Sidang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (22/4).
-
Mengapa Pemilu 2024 penting? Pemilu memegang peranan penting dalam sistem demokrasi sebagai alat untuk mengekspresikan kehendak rakyat, memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili dan melayani kepentingan rakyat, menciptakan tanggung jawab pemimpin terhadap rakyat, serta memperkuat sistem demokrasi.
"Kalau ditarik ke belakang terkait dengan uji coba pelaksanaan teknologi, pada 2019 kita tahu ada Situng dan di 2020 ada Sirekap sebetulnya sumber daya manusia yang dicoba didorong dan digerakkan adalah pada konteks rekapitulasi bukan pada e-voting," ujar Ihsan dalam webinar Rumah Peduli, Sabtu (28/8).
Ihsan mencatat, dari objek sengketa yang diajukan ke Mahkamah Agung saat pemilihan umum didominasi adanya perbedaan jumlah suara. Hal itu biasanya terjadi karena penggelembungan atau penggembosan suara.
Penggelembungan atau penggembosan suara menurut Ihsan disebabkan karena proses rekapitulasi yang panjang dan berjenjang.
"Sehingga menjadi celah terjadinya pelanggaran, seperti suara yang hilang, perubahan suara dari TPS hingga rekap tingkat kecamatan kabupaten bahkan provinsi, adanya pembukaan kotak suara yang sampai dibawa dan dibongkar tidak sesuai dengan prosedur," bebernya.
Senada dengan Ihsan, Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, penggunaan sistem teknologi saat proses pemilihan suara, sebaiknya diterapkan pada tahapan rekapitulasi. Alasannya, masa rekapitulasi pada Pemilu di Indonesia cukup panjang dan berpotensi menimbulkan manipulasi data.
"Pengalaman kita juga memperlihatkan bahwa dalam model rekapitulasi, hasil yang bertingkat ini dalam waktu yang panjang itu juga sering menjadi ruang untuk manipulasi, sulit untuk bisa diidentifikasi permasalahan," ucap Hadar dal webinar Rumah Peduli, Sabtu (28/8).
Hadar mengatakan, Indonesia tidak boleh memaksa menggunakan basis teknologi tanpa mengetahui identifikasi masalah yang ada. Sebab menurutnya, dari proses Pemilu berjenjang, dimulai dari pemungutan suara, penghitungan suara, hingga rekapitulasi suara, di tahapan rekapitulasi suara lah menjadi masalah pelik.
Untuk itu, dibanding mendorong agar pelaksanaan Pemilu nanti menggunakan cara e-voting, Hadar mengusulkan untuk e-recap.
"Jangan sampai kita menggunakan satu teknologi tetapi sebetulnya tidak berangkat dari permasalahan yang ada," pesan Hadar.
"Jangan sampai teknologi harus yang kelihatan besar jadi kita memutuskan penggunaan teknologi, karena kelihatan kita tidak kalah dari negara lain, tidak demikian kembali pertanyaannya apa sebetulnya permasalahan kita," ujarnya.
Berita lengkap Pemilu bisa dibaca di Liputan6.com
Sebelumnya Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad pernah menyampaikan untuk mendukung penerapan electronic voting (e-voting) untuk perhelatan pemilu di Indonesia di masa yang akan datang.
Muhammad dalam diskusi virtual "Proyeksi kesiapan e-Vote pada pemilu Indonesia" yang digelar oleh Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) di Jakarta, Kamis, menyampaikan "e-Voting" merupakan upaya untuk perbaikan dan meningkatkan kualitas pemilu di Indonesia. Dengan perkembangan teknologi yang pesat menurut dia sangat memungkinkan terlaksananya e-Voting pada pesta demokrasi Indonesia.
"Ini (e-Voting) adalah ikhtiar kita untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemilu di tanah air, maka bagi saya wajib untuk didukung. Bagi saya ini bukan mimpi di siang bolong," kata Muhammad dikutip dari Antara.
Ia menyebutkan setidaknya ada tiga dari 12 azas yang bisa dipenuhi dengan e-voting. Pertama adalah azas efisien, termasuk anggaran dan waktu pelaksanaan pemilu. Kedua adalah azas efektif.
Baca juga:
Peneliti Dorong Penyelenggara Pemilu Terapkan E-Recap Dibanding E-Voting
DPR: Tahapan Pemilu 2024 Dimulai Januari Tahun Depan
DPR Cari Solusi soal Masa Jabatan Penyelenggara Pemilu Habis Jelang Pemilu 2024
Mendagri Tegaskan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19 Harus Tetap Terselenggara
Mendagri: Kita Harus Lebih Percaya Diri untuk Pemilu 2024
Survei Voxpopuli: Demokrat Masuk Tiga Besar, PSI di Atas PKS dan PPP