Mengenang tradisi lebaran awal abad XX
Kehadiran pendatang tersebut, juga perpengaruh pada kesenian Betawi.
Sejak permulaan tahun 1900, Jakarta sudah menjadi magnet untuk penduduk Nusantara. Berbagai suku tumpah ruah di pintu gerbang kepulauan Indonesia ini. Umumnya tujuan mereka sama, untuk memperbaiki kesejahteraan dan kenyamanan hidup.
Bahkan sebagian mereka yang sudah turun temurun hidup di Jakarta, dan kepincut suasana serta kemudahan beraktivitas ekonomi, tidak khayal menyebut dirinya sebagai warga Betawi. Kehadiran pendatang tersebut juga perpengaruh pada kesenian Betawi. Seperti Tanjidor, Ondel-ondel, dan Keroncong.
Seperti pada perayaan Idul Fitri. Sejak malam terakhir Ramadan, ribuan warga Betawi keliling kota dengan arak-arakan Tanjidor dan Ondel-ondel. Tujuannya untuk menyambut hari kemenangan Idul Fitri.
Puncaknya ketika kemeriahan 1 Syawal, seluruh warga Betawi menggelar karnaval besar yang memadati hampir di setiap jalanan Jakarta. Mereka rela berjemur di bawah terik matahari, hanya untuk ikut memeriahkan hari Idul Fitri. Pada saat itu, semua kesenian khas Betawi dikeluarkan dan dipersembahkan untuk warga Jakarta.
Tidak ada perbedaan suku atau agama waktu itu, baik Muslim, Kristen, atau agama lainnya, bercampur menjadi satu menikmati hari kemenangan. Bahkan tidak sedikit keturunan penjajah berada di tengah-tengah mereka.
"Karena pada waktu itu seolah-olah menjadi karnaval dengan Topeng Monyetnya, Ondel-ondel, Ronggeng Lenong, Tanjidor dan Keroncong," kata peneliti, Paramita Rahayu Abdurachman dalam bukunya Bunga Angin Portugis di Nusantara.
Paramita menilai, perayaan Idul Fitri merupakan salah satu perayaan terbesar yang selalu ditunggu warga Jakarta setiap tahunnya. Dia menyandingkan perayaan lebaran sama halnya dengan perayaan Cap go meh atau Natal.
Sebagai pengiring karnaval, panitia mewajibkan lagu-lagu tradisional harus lantunkan. Seperti lagu Moresko, Stambul I dan II, Kicir-kicir, dan Jali-jali. Meski pada waktu itu lagu asing yang dibawa bangsa penjajah sudah familiar di telinga pribumi, namun antusiasme dan kecintaan kepada budaya sendiri, menyingkirkan lagu-lagu asing tersebut.
"Lagu-lagu asing seperti Wiens Neerlands Bloed dan Ramona sudah beredar di masyarakat. Namun dalam telinga anak waktu itu, lagu keroncong jauh lebih romantis," kata Paramita.