Autisme dalam Lensa Waktu: Perkembangan Pemahaman dan Pandangan Masyarakat
Simak perubahan pandangan terhadap autisme sesuai perkembangan zaman dan pemahaman yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap gangguan ini
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku seseorang. Istilah ini berasal dari kata Yunani "autos," yang berarti "diri." Orang dengan autisme sering menunjukkan gejala-gejala yang membuat mereka tampak “terisolasi” atau memiliki "dunia sendiri." Pandangan masyarakat terhadap autisme telah berubah drastis sejak awal ditemukannya kondisi ini hingga sekarang. Dalam beberapa dekade terakhir, autisme telah menjadi topik penelitian yang intensif di kalangan ahli psikologi, psikiatri, dan ilmu saraf. Dari era klasik hingga masa kini, pendekatan dan pemahaman terhadap autisme terus berkembang, baik dalam ranah medis, sosial, maupun edukasi. Artikel ini akan membahas bagaimana pandangan terhadap autisme berubah seiring berjalannya waktu dan bagaimana pemahaman tentang autisme memengaruhi persepsi masyarakat terhadap gangguan ini.
Era Klasik: Autisme sebagai Bagian dari Gangguan Jiwa
Pada awal abad ke-20, autisme sering disalahpahami dan dipandang sebagai bentuk gangguan jiwa. Beberapa gejala autisme mungkin disalahartikan sebagai tanda gangguan mental lainnya, seperti skizofrenia atau retardasi mental. Pandangan ini muncul karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan minimnya pemahaman tentang autisme sebagai kondisi yang berdiri sendiri. Beberapa ilmuwan dan dokter menduga bahwa penyebab autisme adalah kelainan pada perkembangan mental akibat pola asuh yang tidak baik. Salah satu pandangan ini dikenal dengan istilah "refrigerator mother" atau "ibu kulkas," di mana ibu dianggap dingin, tidak berempati, dan gagal memberikan perhatian yang cukup pada anaknya. Pemikiran ini berkembang pesat pada tahun 1940-an hingga 1960-an, dan sayangnya membawa dampak buruk bagi para ibu yang dianggap bertanggung jawab atas kondisi anak-anak mereka.
-
Apa itu Autisme? Autisme merupakan kelompok gangguan spektrum yang mempengaruhi perkembangan sosial, komunikasi, dan perilaku individu. Autism Spectrum Disorder (ASD) mencakup berbagai tingkat keparahan, mulai dari autisme ringan hingga berat.
-
Apa yang bisa menjadi salah satu tanda autisme pada anak? Salah satu ciri khas autisme adalah variasi dalam perilaku anak-anak yang terpengaruh. Siapa sangka, tanda autisme pada anak ini ternyata bisa ditandai dengan perilaku sederhana seperti kebiasaan berjalan.
-
Bagaimana cara menangani anak yang mengalami autisme? “Biasanya pada anak autis kita enggak mencari pasti penyebabnya. Pemeriksaan darah, CT Scan, biasanya tidak kita lakukan, kita langsung masuk ke intervensi untuk penanganannya,” katanya.
-
Kapan biasanya gejala gangguan autisme mulai muncul? Umumnya, gejala dari gangguan autisme muncul sebelum usia tiga tahun.
-
Bagaimana orang dengan autisme berinteraksi dengan dunia? Autis adalah suatu kondisi terkait perkembangan otak yang berdampak pada cara seseorang mempersepsikan dan bersosialisasi dengan orang lain. Sehingga kondisi ini sering kali menimbulkan permasalahan dalam interaksi sosial dan komunikasi.
Pada 1943, Leo Kanner, seorang psikiater anak di Amerika Serikat, adalah salah satu ilmuwan pertama yang menggambarkan gejala-gejala autisme secara spesifik. Melalui penelitiannya terhadap 11 anak dengan gejala yang tidak biasa dalam hal komunikasi dan perilaku, Kanner mencetuskan istilah "autisme dini kanak-kanak" (early infantile autism). Dari hasil pengamatannya, ia menyimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang unik dan tidak disebabkan oleh faktor pola asuh, tetapi karena adanya faktor bawaan atau biologis. Pandangan ini menjadi titik awal bagi penelitian lebih lanjut tentang autisme.
Perkembangan Pemahaman Autisme: Dekade 1970-an hingga 1990-an
Memasuki tahun 1970-an, pandangan mengenai autisme mulai berubah drastis. Para ilmuwan mulai menggunakan pendekatan ilmiah untuk memahami autisme sebagai kondisi neurologis dan memahami bahwa autisme bukanlah kondisi yang disebabkan oleh pola asuh buruk atau trauma masa kecil, seperti yang sebelumnya diperkirakan. Penelitian oleh Rutter (1978) menemukan adanya korelasi antara faktor genetika dan risiko autisme, yang memperkuat hipotesis bahwa gangguan ini dipengaruhi oleh faktor internal daripada faktor eksternal. Pada akhir 1980-an, Simon Baron-Cohen dan timnya memperkenalkan konsep “teori pikiran” (theory of mind), yang mengasumsikan bahwa individu dengan autisme mengalami kesulitan dalam memahami pikiran, perasaan, dan perspektif orang lain. Teori ini membantu menjelaskan mengapa individu dengan autisme sering menghadapi tantangan dalam interaksi sosial. Baron-Cohen juga memperkenalkan konsep "empathizing-systemizing theory" yang menjelaskan bahwa individu dengan autisme cenderung memiliki pola pikir yang berfokus pada sistem atau pola logika daripada pada emosi atau interaksi sosial.
Seiring berjalannya waktu, penelitian menunjukkan bahwa autisme adalah spektrum yang mencakup berbagai tingkat keparahan dan gejala yang bervariasi. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association pada tahun 2013, autisme diklasifikasikan sebagai gangguan spektrum autisme (autism spectrum disorder). Pendekatan ini menekankan bahwa gejala autisme dari satu individu dan individu lainnya dapat sangat berbeda.
Salah satu konsep penting dalam perkembangan pandangan kontemporer tentang autisme adalah gagasan neurodiversitas. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh aktivis autisme di akhir 1990-an dan menekankan bahwa variasi neurologis adalah bagian dari keanekaragaman manusia yang alami, bukan gangguan yang harus "disembuhkan." Neurodiversitas memperkuat gagasan bahwa individu dengan autisme memiliki bakat atau kemampuan tertentu yang berbeda dari populasi pada umumnya, seperti kepekaan terhadap detail, ketelitian, atau kreativitas dalam bidang tertentu.
Masa Kini: Pandangan Modern Terhadap Autisme
Pada era modern, autisme dipahami sebagai suatu spektrum kondisi yang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku. Salah satu perubahan signifikan dalam pemahaman modern terhadap autisme adalah pengakuan terhadap konsep neurodiversitas. Neurodiversitas adalah gagasan bahwa variasi neurologis, termasuk autisme, adalah bagian alami dari keberagaman manusia, bukan semata gangguan yang memerlukan "penyembuhan" atau "normalisasi."
Konsep neurodiversitas menantang pandangan tradisional yang berfokus pada keterbatasan autisme dan mengubahnya menjadi pemahaman yang lebih inklusif. Dalam perspektif ini, individu dengan autisme dianggap memiliki pola pikir yang berbeda yang sering kali dapat menghasilkan kemampuan unik dalam analisis data, keterampilan visual-spasial, dan perhatian terhadap detail. Sebuah studi oleh Happé dan Frith (2006) menunjukkan bahwa individu dengan autisme sering kali menunjukkan keunggulan dalam bidang tertentu yang memerlukan ketelitian tinggi, seperti matematika, musik, atau seni visual. Hal ini semakin mendukung pandangan bahwa autisme adalah variasi neurologis, bukan cacat atau kelemahan semata.
Pendekatan modern terhadap terapi autisme menekankan intervensi yang bukan hanya berfokus pada koreksi atau "penyembuhan" gejala, tetapi juga pada pengembangan kekuatan dan potensi individu dengan autisme. Salah satu pendekatan yang kini populer adalah terapi berbasis kekuatan (strength-based therapy), yang dirancang untuk mendukung keterampilan sosial, komunikasi, dan perilaku adaptif individu dengan autisme sambil menghargai keunikan mereka.
Penelitian oleh Wood et al. (2015) menunjukkan bahwa pendekatan terapi berbasis kekuatan memiliki hasil yang positif dalam meningkatkan keterampilan sosial dan kemandirian individu dengan autisme. Terapi ini tidak mengubah karakteristik dasar autisme, tetapi membantu individu dengan autisme dalam beradaptasi dan berkembang di lingkungan yang mendukung. Misalnya, individu dengan kecenderungan untuk fokus pada detail dapat diarahkan untuk berkarier di bidang yang sesuai dengan kelebihan tersebut, seperti desain grafis atau analisis data.
Pendekatan berbasis kekuatan ini juga diaplikasikan dalam dunia pendidikan, di mana sekolah inklusif dan metode pembelajaran yang disesuaikan membantu meningkatkan potensi belajar anak-anak dengan autisme. Sekolah-sekolah menyediakan program khusus untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan sosial dan akademik sesuai kebutuhan masing-masing. Studi oleh Kasari et al. (2016) menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme yang menerima pendidikan inklusif memiliki peningkatan dalam keterampilan sosial dan akademik.
Dengan semakin terbukanya pandangan masyarakat, individu dengan autisme tidak lagi dianggap "abnormal," tetapi dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman manusia. Pemahaman masyarakat tentang autisme juga turut berkembang berkat kampanye kesadaran autisme, yang sering dilakukan pada bulan April sebagai bagian dari Bulan Kesadaran Autisme Internasional.
Perspektif Masyarakat terhadap Autisme
Pada awalnya, autisme seringkali dianggap sebagai gangguan yang langka dan membingungkan. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh keterbatasan pengetahuan serta stereotip yang berkembang. Di Indonesia, di mana kesadaran mengenai gangguan ini masih terbatas, banyak keluarga yang merasa malu atau bahkan menyangkal keberadaan autisme pada anak mereka. Hal ini disebabkan oleh minimnya informasi yang tersedia dan stigma sosial yang melekat pada gangguan tersebut.
Stigma sosial terhadap autisme masih menjadi salah satu hambatan utama yang dihadapi oleh individu dengan autisme dan keluarga mereka. Dalam banyak kasus, masyarakat sering memandang autisme dari sudut pandang yang negatif, menganggapnya sebagai sesuatu yang memalukan atau sebagai gangguan yang sulit disembuhkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stone dan Rosenbaum (1988), banyak keluarga yang melaporkan adanya diskriminasi sosial, baik dari masyarakat sekitar maupun dari institusi pendidikan.
Pendekatan inklusif terhadap autisme adalah langkah penting untuk memperbaiki perspektif masyarakat terhadap individu dengan autisme. Pendidikan inklusif dan dukungan di tempat kerja yang sesuai dapat membuka banyak kesempatan bagi individu dengan autisme untuk berkembang dan berprestasi. Mengakui bahwa autisme adalah bagian dari spektrum neurologis yang alami akan membantu masyarakat menerima perbedaan dan melihat potensi yang ada pada individu dengan autisme.
Penting untuk mengubah cara pandang masyarakat dari pandangan yang merendahkan menjadi lebih menerima dan mendukung. Dengan adanya perubahan ini, individu dengan autisme akan lebih mudah mengakses pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, serta berinteraksi dengan masyarakat tanpa merasa terasingkan. Peran media sosial dan kampanye online juga membawa dampak positif dalam memperkenalkan autisme kepada masyarakat luas. Melalui informasi yang dibagikan secara daring, masyarakat dapat lebih memahami gejala-gejala autisme, cara berinteraksi dengan individu autistik, dan pentingnya dukungan bagi mereka agar dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya.
Pandangan terhadap autisme telah mengalami transformasi yang signifikan dari era klasik hingga masa kini. Dimulai dengan kesalahpahaman yang menganggap autisme sebagai gangguan jiwa atau akibat dari pola asuh yang buruk, kini autisme dipandang sebagai bagian dari spektrum neurologis yang alami dan bagian dari keberagaman manusia. Peningkatan kesadaran, inklusivitas, dan penerimaan terhadap keberagaman adalah kunci untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi mereka yang hidup dengan autisme.