Schizofrenia Melalui Lensa Sejarah, Dari Penyakit yang Ditakuti ke Pemahaman yang Lebih Baik
Dianggap sebagai salah satu gangguan mental paling serius, schizofrenia memiliki sejarah yang cukup panjang. Mari jelajahi perjalanan panjangnya di artikel ini!
Schizofrenia adalah gangguan mental yang kompleks dan sering kali membingungkan, mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Dianggap sebagai salah satu gangguan mental paling serius, schizofrenia memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perubahan pandangan dan pemahaman masyarakat tentang penyakit ini dari masa ke masa. Sejak zaman kuno, upaya untuk memahami perilaku aneh dan tidak biasa yang mungkin disebabkan oleh gangguan mental telah mengantarkan kita pada berbagai pandangan yang bervariasi. Dari pemikiran awal di Yunani kuno yang mengaitkan gangguan mental dengan ketidakseimbangan cairan tubuh, hingga penilaian spiritual di abad pertengahan yang menganggap penderita sebagai orang yang terasing atau terkena kutukan, perjalanan pemahaman tentang schizofrenia mencerminkan evolusi pengetahuan manusia tentang kesehatan mental. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi perjalanan panjang pemikiran mengenai schizofrenia, dari teori-teori awal yang membingungkan hingga pemahaman modern yang melibatkan faktor genetik, neurologis, dan lingkungan. Dengan demikian, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana gangguan ini dipahami dan ditangani, serta tantangan yang masih dihadapi dalam mendukung individu yang hidup dengan schizofrenia.
Pandangan Klasik
Sejak zaman kuno, manusia telah berusaha memahami perilaku aneh dan tidak biasa yang mungkin disebabkan oleh gangguan mental. Dalam tradisi Yunani kuno, Hippocrates (460-370 SM) mencatat bahwa gangguan mental dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam cairan tubuh, yang dikenal sebagai teori humoral. Ia berpendapat bahwa gangguan mental, termasuk gejala yang mirip dengan schizofrenia, bisa disebabkan oleh kelebihan empedu hitam.
-
Apa yang dimaksud dengan sindrom skizofrenia? Sindrom skizofrenia adalah gangguan mental serius di mana penderitanya kesulitas menafsirkan realitas secara normal.
-
Apa yang dialami oleh orang dengan skizofrenia? Skizofrenia adalah gangguan mental yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Orang dengan skizofrenia sering mengalami gejala positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif mencakup halusinasi, delusi, dan pikiran atau bicara yang kacau. Gejala negatif mencakup kurangnya motivasi, emosi, atau minat. Gejala kognitif mencakup gangguan pada fungsi mental seperti memori, perhatian, atau penalaran.
-
Siapa saja yang bisa terkena sindrom skizofrenia? Gangguan skizofrenia ini dapat terjadi pada siapa saja baik anak-anak hingga orang dewasa.
-
Kapan Emil Kraepelin memberi nama "Alzheimer" pada penyakit tersebut? Namun, laporan Alzheimer hanya mendapat sedikit minat, meskipun mendapat tanggapan antusias dari Kraepelin, yang kemudian memasukkan nama “Alzheimer” dalam edisi ke-3 teksnya Psychiatrie pada 15 Juli 1910.
-
Kenapa sindrom skizofrenia perlu mendapat perhatian? Jika tidak mendapatkan perawatan yang baik, gangguan mental dapat menyebabkan berbagai masalah dalam keseharian.
-
Siapa saja yang berisiko mengalami skizofrenia? Skizofrenia memiliki komponen genetik yang kuat dan sangat dapat diturunkan. Memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia meningkatkan risiko Anda terkena penyakit tersebut.
Di abad pertengahan, pandangan tentang gangguan mental mulai dipengaruhi oleh konteks spiritual dan religius. Banyak orang yang dianggap "gila" dikaitkan dengan kerasukan setan atau hukuman dari Tuhan. Penderita schizofrenia sering kali dianggap sebagai orang yang terasing dari masyarakat dan diperlakukan dengan cara yang sangat tidak manusiawi. Penjara, rumah sakit jiwa, dan tempat perlindungan sering menjadi tempat tinggal mereka, dengan perhatian yang sedikit terhadap pemulihan atau perawatan yang tepat.
Memasuki abad ke-19, pemahaman tentang gangguan mental mulai berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Emil Kraepelin, seorang psikiater Jerman, dianggap sebagai salah satu pionir dalam memahami skizofrenia. Kraepelin pada akhir abad ke-19 menggunakan istilah dementia praecox untuk menggambarkan kondisi yang kita kenal sebagai skizofrenia sekarang. Menurut Kraepelin, penyakit ini merupakan suatu bentuk demensia yang terjadi pada usia muda dan menunjukkan gejala-gejala seperti delusi, halusinasi, dan perilaku yang tidak terorganisir. Kraepelin membedakan skizofrenia dari gangguan mood, yang kemudian dikenal sebagai bipolar disorder, dengan menekankan sifat progresif dan kronis dari dementia praecox.
Istilah "skizofrenia" diperkenalkan oleh psikiater Swiss Eugen Bleuler pada awal abad ke-20. Berbeda dengan Kraepelin, Bleuler tidak setuju bahwa skizofrenia adalah kondisi yang secara pasti mengarah ke penurunan mental. Ia melihat skizofrenia sebagai gangguan yang melibatkan disintegrasi antara pemikiran, emosi, dan perilaku. Bleuler mengidentifikasi empat gejala utama atau yang dikenal dengan istilah Four A's:
- Asosiasi yang terganggu
- Afek yang datar
- Autisme atau penarikan diri dari realitas
- Ambivalensi atau ketidakmampuan membuat keputusan
Bleuler juga menekankan adanya gejala positif seperti delusi dan halusinasi serta gejala negatif seperti kurangnya motivasi dan penarikan diri dari interaksi sosial.
Freud memandang skizofrenia sebagai gangguan yang berakar dari konflik psikis yang dalam, terutama konflik antara impuls naluriah dan mekanisme pertahanan ego. Menurut Freud, skizofrenia adalah bentuk regresi psikologis di mana pasien kembali ke tahap perkembangan psikoseksual sebelumnya, sehingga mengalami delusi atau halusinasi. Meskipun pendekatannya lebih menekankan pada terapi psikodinamik daripada pengobatan medis, Freud membuka jalan bagi pemahaman lebih lanjut tentang hubungan antara pikiran dan perilaku.
- Sejarah Perkembangan Anxiety Disorder, Dari Sindrom Orang Elit ke Gangguan Kesehatan Global
- Menelusuri Sejarah Neurosis: Dari Abad Pertengahan hingga Terapi Psikologi di Masa Kini
- Adakah Hubungan antara Tingginya Kasus Skizofrenia di Indonesia dengan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Hantu?
- Ibu Bunuh Anak di Bekasi Sering Halusinasi, Pernah ke Bandara karena Bisikan Gaib dan Jalan Kaki Pukul 3 Pagi
Pemahaman Modern tentang Schizofrenia
Saat ini, pemahaman tentang schizofrenia semakin berkembang dengan penelitian yang semakin mendalam. Para ilmuwan mulai memahami bahwa schizofrenia adalah hasil interaksi kompleks antara faktor genetik, lingkungan, dan neurobiologis.
- Genetika dan Skizofrenia
Skizofrenia memiliki komponen genetik yang kuat. Studi menunjukkan bahwa risiko seseorang mengembangkan skizofrenia meningkat jika terdapat riwayat keluarga dengan gangguan tersebut. Penelitian besar dari konsorsium internasional seperti Schizophrenia Working Group of the Psychiatric Genomics Consortium menemukan ratusan varian genetik yang terkait dengan peningkatan risiko skizofrenia. Namun, faktor genetik ini bersifat poligenik, artinya melibatkan banyak gen dengan efek kecil yang secara kolektif meningkatkan kerentanan seseorang terhadap skizofrenia (Ripke et al., 2020).
- Disfungsi dan Gangguan pada Struktur Otak
Skizofrenia juga dikaitkan dengan perubahan struktur dan disfungsi otak, seperti dopamin, serotonin, dan glutamat. Pemindaian otak pada pasien skizofrenia sering menunjukkan penyusutan volume otak, terutama pada korteks prefrontal dan hipokampus, yang memegang peranan penting dalam fungsi kognitif dan emosi (Haijma et al., 2013). Selain itu, disfungsi neurotransmitter seperti dopamin dianggap berperan penting, di mana peningkatan aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dikaitkan dengan gejala positif (halusinasi dan delusi), sementara penurunan aktivitas di jalur mesokortikal dikaitkan dengan gejala negatif (penurunan emosi dan motivasi). Namun, pemahaman terbaru menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dopamin dan neurotransmitter lainnya secara keseluruhan dapat mempengaruhi berbagai gejala skizofrenia (Abi-Dargham et al., 2022).
Penelitian oleh Andreasen pada tahun 2011, menunjukkan bahwa orang dengan skizofrenia sering memiliki perubahan struktural di otak, seperti berkurangnya volume di area-area tertentu, termasuk hippocampus, amigdala, dan korteks prefrontal. Penelitian oleh Andreasen et al. (2011) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara gangguan perkembangan di daerah ini dengan gejala skizofrenia. Gangguan pada konektivitas fungsi otak juga dapat mempengaruhi cara otak berkomunikasi satu sama lain.
- Faktor Lingkungan
Selain faktor genetika, faktor lingkungan seperti stres prenatal, infeksi selama kehamilan, trauma masa kecil, dan penyalahgunaan zat, juga dapat meningkatkan risiko skizofrenia. Anak-anak yang mengalami trauma fisik, emosional, atau seksual di masa kecil memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena skizofrenia di kemudian hari.
Menurut studi oleh Kelly et al. (2010), individu yang tinggal di perkotaan memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Beberapa faktor di lingkungan perkotaan yang dapat memengaruhi risiko ini termasuk tingkat polusi, isolasi sosial, dan tekanan hidup di kota besar.
Paparan terhadap infeksi atau virus selama kehamilan juga dapat meningkatkan risiko skizofrenia pada anak yang akan dilahirkan. Sebuah penelitian oleh Brown & Susser (2008) menunjukkan bahwa infeksi pada ibu, terutama selama trimester kedua kehamilan, dapat memengaruhi perkembangan otak janin, sehingga meningkatkan risiko skizofrenia.
- Perspektif Psikososial dan Terapi
Pendekatan modern dalam pengobatan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi obat tetapi juga mencakup pendekatan psikososial. Terapi Kognitif Perilaku (CBT) misalnya, telah digunakan untuk membantu pasien dalam mengelola gejala psikotik dan meningkatkan fungsi sosial mereka (Wykes et al., 2008). CBT membantu pasien mengenali dan mengubah pola pikir negatif atau delusional yang bisa mempengaruhi emosi dan perilaku mereka. Terapi ini melibatkan diskusi terarah antara terapis dan pasien untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak realistis serta menciptakan strategi mengatasi gejala psikosis (Wykes, T., et al. (2008).
Selain itu, pelatihan keterampilan sosial atau Social Skills Training (SST) juga dapat membantu individu dengan skizofrenia untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial. Melalui latihan praktik sosial yang diberikan dalam kelompok, pasien belajar mengekspresikan diri secara lebih efektif dan menanggapi situasi sosial dengan lebih adaptif (Kurtz, M. M., & Mueser, K. T. (2008).
Dukungan keluarga juga memainkan peranan penting dalam pemulihan pasien skizofrenia. Dalam terapi keluarga, fokus utama adalah mengedukasi dan memberikan dukungan kepada keluarga pasien untuk membantu mengurangi stres yang dapat memperburuk kondisi pasien. Terapi ini bertujuan agar anggota keluarga memahami apa itu skizofrenia dan mampu mendukung proses pemulihan (Pharoah, F., et al. (2010).
Sebagai salah satu gangguan mental yang paling kompleks dan menantang, skizofrenia telah mengalami perubahan pemahaman yang signifikan dari waktu ke waktu. Dari pandangan klasik yang sering kali keliru hingga pendekatan modern yang didukung oleh penelitian genetik, neurologis, dan lingkungan, kita kini lebih mampu memahami penyebab, gejala, dan pengelolaan gangguan ini. Meski begitu, perjalanan menuju penanganan yang efektif masih panjang, dan membutuhkan kombinasi perawatan medis, dukungan keluarga, serta pendekatan psikososial. Upaya bersama dari para ahli kesehatan mental, keluarga, dan masyarakat menjadi kunci dalam membantu pasien skizofrenia menjalani hidup dengan lebih bermakna.