Menggali Sejarah PTSD, Perjalanan Diagnosis dari Perang Dunia ke Zaman Sekarang
Dari perang dunia hingga kini, menyoroti perkembangan PTSD dan dampaknya pada korban.
Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD) telah berkembang menjadi topik utama dalam dunia kesehatan mental, dengan pemahaman yang terus berkembang sepanjang waktu. Gejala PTSD, seperti kilas balik, kecemasan ekstrem, dan gangguan tidur, sebenarnya sudah ada jauh sebelum istilah tersebut diperkenalkan. Pada awalnya, PTSD lebih dikenal dengan sebutan "shell shock" atau "battle fatigue" yang terjadi pada tentara selama Perang Dunia I dan II. Pada saat itu, kondisi ini hanya dipandang sebagai reaksi emosional terhadap trauma yang dialami di medan perang, dengan pemahaman yang terbatas mengenai dampaknya terhadap kesehatan mental jangka panjang.
Perkembangan pandangan mengenai PTSD mulai terjadi setelah Perang Dunia II, di mana ada pengakuan lebih besar terhadap dampak psikologis dari perang. Meski demikian, PTSD masih sering dianggap hanya memengaruhi kalangan militer. Namun, pada tahun 1980, PTSD secara resmi dimasukkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-III), yang mengakui bahwa gangguan ini tidak hanya dialami oleh prajurit perang, tetapi juga oleh mereka yang mengalami trauma akibat bencana alam, kecelakaan, kekerasan seksual, dan peristiwa traumatis lainnya.
-
Kenapa anak korban perang mengalami PTSD? Anak-anak yang menjadi saksi atau korban langsung dari perang dapat mengalami PTSD. Mereka mungkin mengalami kilas balik, mimpi buruk, atau gejala lain yang terkait dengan trauma, seperti ketakutan yang intens, kesulitan tidur, atau konsentrasi yang terganggu.
-
Apa saja efek psikologis anak korban perang? Anak-anak yang menjadi korban perang seringkali mengalami berbagai efek psikologis yang serius sebagai akibat dari pengalaman traumatis yang mereka alami.
-
Kapan anak korban perang mengalami perubahan perilaku? Beberapa anak dapat menunjukkan perubahan dalam perilaku mereka setelah mengalami trauma perang. Mereka mungkin menjadi agresif, sulit diatur, atau menarik diri dari interaksi sosial.
-
Siapa yang mengalami stres traumatis? Stres traumatis bisa muncul akibat peristiwa traumatis seperti bencana alam, serangan, atau kehilangan orang tercinta.
-
Bagaimana anak korban perang mengatasi rasa takutnya? Mereka mungkin merasa takut akan kehilangan orang-orang yang tersisa, takut dengan suara keras atau ledakan, atau takut akan situasi yang mirip dengan kejadian traumatis.
-
Apa itu stres kronis? Stres kronis merupakan jenis stres yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan biasanya disebabkan oleh situasi yang tampak sulit diatasi, seperti masalah keuangan atau hubungan yang bermasalah.
Saat ini, pemahaman tentang PTSD telah berkembang pesat. Gangguan ini kini dianggap sebagai masalah kesehatan mental yang dapat dialami oleh siapa saja dari berbagai latar belakang, bukan hanya tentara. Upaya untuk mengurangi stigma seputar PTSD semakin kuat, dengan fokus pada pentingnya penanganan psikologis bagi para penyintas trauma. Penelitian yang terus berkembang telah menghasilkan metode pengobatan yang lebih efektif, seperti terapi kognitif-perilaku, terapi berbasis mindfulness, dan pendekatan pengobatan terintegrasi yang bertujuan membantu para penyintas menjalani kehidupan yang lebih sehat dan stabil.
Perkembangan Diagnosis PTSD
Dilansir dari National Center for PTSD, Perkembangan diagnosis PTSD telah mengalami perubahan signifikan sejak pertama kali diperkenalkan. Pada tahun 1952, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) memasukkan "reaksi stres berat" dalam edisi pertama Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-I) untuk menggambarkan gejala yang muncul akibat peristiwa traumatis, seperti peperangan atau bencana. Namun, diagnosis ini memiliki kelemahan karena menganggap reaksi terhadap trauma akan cepat mereda, dan jika gejala berlangsung lebih dari enam bulan, maka diagnosis lain yang diberikan. Seiring waktu, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa trauma dapat memicu gangguan psikiatrik, yang akhirnya menyebabkan penghapusan diagnosis tersebut dalam DSM-II (1968), digantikan dengan istilah "reaksi penyesuaian terhadap kehidupan dewasa", meskipun tidak cukup menggambarkan kondisi yang lebih mirip dengan PTSD.
Pada tahun 1980, PTSD secara resmi dimasukkan dalam DSM-III setelah penelitian lebih lanjut yang melibatkan para veteran Perang Vietnam, penyintas Holocaust, dan korban kekerasan seksual, yang memperlihatkan hubungan antara trauma peperangan dan dampak psikologis jangka panjang dalam kehidupan sipil. Kriteria diagnosis PTSD kemudian terus diperbarui dalam edisi DSM-III-R (1987), DSM-IV (1994), DSM-IV-TR (2000), dan DSM-5 (2013) seiring dengan berkembangnya pemahaman ilmiah. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa PTSD lebih umum dari yang diperkirakan sebelumnya, dengan sekitar 4 dari setiap 100 pria dan 10 dari setiap 100 wanita di Amerika diperkirakan akan didiagnosis dengan kondisi ini sepanjang hidup mereka.
Perubahan besar dalam DSM-5 adalah pengkategorian PTSD yang tidak lagi masuk dalam Gangguan Kecemasan, melainkan sebagai bagian dari kategori baru, yaitu Gangguan Terkait Trauma dan Stres. PTSD kini diidentifikasi melalui empat gejala utama: intrusi atau kilas balik, penghindaran situasi terkait trauma, perubahan negatif dalam keyakinan dan perasaan, serta hiperarousal atau kewaspadaan berlebih. Diagnosis PTSD hanya dapat ditegakkan jika keempat gejala ini berlangsung lebih dari satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengobatan PTSD
Menurut American Psychiatric Association, tidak semua orang yang mengalami trauma akan mengembangkan PTSD, dan tidak semua penderita PTSD memerlukan pengobatan psikiatris. Beberapa orang mungkin merasa gejala-gejalanya berkurang atau hilang dengan sendirinya, terutama dengan dukungan dari keluarga, teman, atau komunitas. Namun, bagi banyak individu, pengobatan profesional diperlukan untuk mengatasi gangguan psikologis yang dapat mengganggu kualitas hidup mereka secara signifikan.
Beberapa metode pengobatan PTSD yang telah terbukti efektif antara lain terapi bicara (psikoterapi) dan penggunaan obat-obatan. Berikut ini adalah beberapa pendekatan utama dalam pengobatan PTSD:
- Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavioral Therapy, CBT): CBT merupakan pendekatan psikoterapi yang sangat efektif untuk mengatasi PTSD. Salah satu variasinya, yaitu Cognitive Processing Therapy (CPT), fokus pada mengubah emosi negatif yang menyakitkan seperti rasa malu atau bersalah yang terkait dengan trauma. Prolonged Exposure Therapy membantu individu menghadapi ketakutan mereka dengan secara berulang mengingat pengalaman traumatis dalam situasi yang aman. Program realitas virtual juga digunakan, khususnya untuk membantu veteran perang dengan menghidupkan kembali medan perang secara virtual.
- Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR): Terapi ini membantu pasien memproses memori traumatis dengan menggunakan gerakan mata, yang mirip dengan gerakan mata saat tidur REM. Tujuannya adalah untuk membantu individu mengubah cara mereka merasakan atau memikirkan pengalaman traumatis.
- Terapi Kelompok dan Keluarga: Terapi kelompok memberikan kesempatan bagi individu yang memiliki pengalaman traumatis serupa untuk saling berbagi perasaan dan pengalaman dalam lingkungan yang mendukung. Sementara itu, terapi keluarga juga penting, karena perilaku dan stres yang dialami seseorang dengan PTSD dapat memengaruhi seluruh anggota keluarga.
Selain terapi psikologis, obat-obatan juga digunakan untuk membantu mengelola gejala PTSD. Obat antidepresan, seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), sering diresepkan untuk mengatasi gejala utama PTSD, seperti kecemasan dan depresi. Obat-obatan lainnya dapat digunakan untuk meredakan kecemasan fisik atau gangguan tidur yang sering dialami oleh penderita PTSD. Dengan penelitian yang terus berkembang, diharapkan pengobatan PTSD menjadi semakin efektif dan lebih mudah diakses, memberikan harapan bagi para penyintas untuk menjalani hidup yang lebih stabil dan sejahtera.