Melihat Pusaka Kuno Meriam Beranak di Kotawaringin Barat, Dibuat dari Darah 8 Manusia
Meriam ini jadi salah satu benda peninggalan raja Paku Sukma Negara yang memerintah tahun 1857
Kepemimpinan Pangeran Paku Sukma Negara menjadi bukti kuat sejarah Kerajaan Kutaringin yang pernah berkuasa di Kabupaten Kotawaringin Barat ratusan tahun silam.
Jejaknya masih dapat ditemui hingga sekarang, salah satunya Meriam Beranak yang ada di Astana Al Nursari yang merupakan tempat tinggal kerabat kerajaan dari Kasultanan Kutaringin pada saat itu.
-
Bagaimana meriam tersebut diperkirakan berumur? Berkat sisa-sisa muatan yang terawetkan, telah dimungkinkan untuk menggunakan metode penanggalan radiokarbon untuk menentukan usia temuan ini.
-
Kapan Raja Narasinga II memerintah? Dia memerintah sejak tahun 1473.
-
Kapan Sri Sultan Hamengkubuwono II memerintah? Ia memerintah pada kurun waktu tahun 1792-1828.
-
Kapan Kerajaan Kendan berkuasa? Kerajaan Kendan berkuasa sekitar abad ke-6 sampai ke-7 masehi, dan merupakan salah satu kerajaan Sunda yang pernah berjaya.
-
Bagaimana kucing berkeringat? Kucing memiliki kelenjar keringat terletak di bagian bawah bantalan kakinya. Kelenjar ini berbeda dari manusia yang memiliki kelenjar keringat di seluruh tubuh.
-
Di mana Tari Topeng Kemindu menjadi bagian dari tata krama Kesultanan Kutai Kartanegara? Tari ini juga menjadi bagian dari tata krama protokoler penyambutan tamu kehormatan di lingkungan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Sesuai namanya, benda ini merupakan senjata kuno dari abad ke-19 yang terbuat dari bahan logam. Ada delapan meriam dan dua di antaranya merupakan induknya, sedang yang kecil merupakan anak-anaknya.
Meriam ini jadi salah satu benda peninggalan raja Paku Sukma Negara yang memerintah tahun 1857 sebagai sultan ke-12 Kerajaan Kutaringin. Menurut sejarahnya, meriam ini dibuat dari darah 8 orang suci yang mengabdi pada masa itu. Berikut informasinya.
Jadi Media Ritual Masyarakat Kaharingan
Dalam Wikipedia, disebutkan bahwa Kaharingan merupakan agama asli masyarakat Kalimantan terutama yang berasal dari suku Dayak. Agama ini berbeda dengan animisme dan dinamisme, namun jadi kepercayaan nenek moyang setempat sebelum masuknya agama-agama lain di Kalimantan.
Keturunan Sultan Kutaringin, Gusti Samudera mengatakan bahwa meriam beranak dahulu digunakan oleh masyarakat Kaharingan untuk menjalankan ritual keagamaan mereka.
“Sebelum adanya Kesultanan Kutaringin, teman-teman Kaharingan menggunakan meriam ini sebagai media untuk menjalankan ritual pengobatan, memberi makan kampung,” katanya, mengutip tvri.
- Putu Supadma Dorong IKN Tampilkan Artefak Kerajaan Masa Lalu untuk Hadirkan Kemuliaan Nusantara
- Sempat Dianggap Punah, Begini Penampakan Burung Kuau Raja Maskot Sumatera Barat
- Kisah Perselingkuhan Zaman Jawa Kuno, Nyawa Pasangan Melayang Berbuntut Penyesalan
- Kental dengan Nuansa Kerajaan Kuno, Intip Pemandian yang Dibangun oleh Sultan Pakubuwono X Suasananya Asri
Bukan untuk Berperang
Dari hasil penelitian sejarah, meriam ini merupakan peralatan suci dari kampung Kaharingan di Kotawaringin Barat.
Dahulu, meriam tidak digunakan untuk peperangan dan dibuat oleh komunitas adat mereka. Meriam dibuat dari bahan logam tembaga, sehingga bobotnya cukup berat.
“Jadi meriam ini tidak dipakai untuk berperang, dan berdasarkan penelitian ini murni dibuat oleh teman-teman Kaharingan itu sendiri. Lalu ada juga Meriam Bujang Lompong untuk pembatas perkampungan Muslim dan Kahariangan pada saat itu,” katanya.
Dibuat dari Darah 8 Orang Suci Kaharingan
Menurutnya, meriam ini dahulu dibuat dari darah manusia asli. Kisahnya bermula dari satu keluarga yang sangat taat kepada leluhur mereka, kemudian sebagai bentuk pengabdian mereka rela berkorban untuk pembuatan meriam ini.
Darah kemudian digunakan untuk bahan pembuatan meriam, dan itulah yang membuat meriam ini memiliki kekuatan khusus.
“Ini dibuat dari darah 8 orang suci di zaman dulu yang merupakan satu keluarga yang mengabdikan diri kepada leluhur, itulah mengapa di sekitar sini banyak pohon beringin dan di titik itulah kepala mereka ditanam,” katanya.
Simbol Toleransi Antara Warga Muslim dan Kaharingan
Meriam Beranak juga menjadi simbol kehidupan rukun dari warga Muslim dan penganut kepercayaan Kaharingan. Di masa silam, generasi penerus dari penjaga meriam ini kemudian memberikannya kepada kesultanan sebagai benda hibah.
Pemberian ini merupakan bentuk kepercayaan dari masyarakat Kaharingan terhadap pemerintaha Kesultanan Muslim Kutaringin.
“Meriam ini diberikan kepada sultan sebagai bentuk kepercayaan dari teman-teman Kaharingan ke teman-teman Muslim. Itulah mengapa di Kabupaten Kotawaringin Barat dihuni oleh dua komunitas masyarakat tersebut,” tambahnya.
Astana Al Nursari sebagai Tempat Bersejarah di Kabupaten Kotawaringin Barat
Merujuk dispar.kotawaringinbaratkab.go.id, lokasi tersimpannya Meriam Beranak terletak di Astana Al Nursari, di Kelurahan Kotawaringin Hilir, Kecamatan Kotawaringin Lama.
Desainnya menyerupai bangunan kuna yang dibangun tahun 1867 dan dijadikan sebagai tempat tinggal kerabat kesultanana. Bentuknya menyerupai rumah panggung, dengan sebuah balai di depannya, lalu dua bangunan utama dan ada bangunan di paling belakang dari kompleks tersebut.
Meriam Beranak bersama pusaka kerajaan lainnya tersimpan di sebuah ruangan bernama Pa’agongan yang terletak di selasar kiri dari Astana Al Nursari