Perampokan PNBP telekomunikasi melebihi korupsi Hambalang
Capaian PNBP tahun 2013 sendiri meningkat 17,3 persen dibandingkan PNBP tahun 2012.
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mensinyalir perampokan PNBP yang dilakukan oleh pemerintah kepada penyelenggara jasa internet melebihi nilai korupsi Hambalang.
“Bisa melebihi korupsi Hambalang, karena penarikannya dilakukan sejak 1996, yaitu sejak ISP pertama berdiri, sedangkan kebanyakan ISP membayar BHP Jasa Telekomunikasi lebih dari Rp 100 juta per tahun,” ujar Kepala Bidang Keamanan Internet APJII Irvan Nasrun kepada merdeka.com, Minggu (19/1).
-
Apa yang diteliti oleh APJII? Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis survei penetrasi internet Indonesia 2024. Hasil surveinya itu menunjukan jumlah pengguna internet mencapai 221 juta dari 278 juta jiwa penduduk negeri ini. Praktis, tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 79.5 persen dari total populasi.
-
Apa yang menjadi rekomendasi APJII terkait insiden PDNS 2? APJII juga memberikan beberapa rekomendasi penting terkait pemulihan Pusat Data Nasional dan langkah-langkah ke depan. Pertama, Evaluasi dan Peningkatan Sistem Keamanan Siber. “Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan siber di Pusat Data Nasional dan memastikan adanya peningkatan yang signifikan dalam protokol keamanan untuk mencegah serangan di masa depan,” ungkap dia.
-
Apa saja yang tercakup dalam kerja sama APJII dan Starlink? Konkret dari MoU ini adalah Starlink terhubung dengan Indonesia Internet Exchange (IIX). Dengan demikian, ini memberikan dorongan positif untuk meningkatkan konektivitas dan lalu lintas data di dalam negeri.
-
Kenapa APJII menjalin kerja sama dengan Starlink? Tujuannya untuk pemerataan akses internet di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan PT Starlink Services Indonesia (Starlink) resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU). Mou ini bertujuan meningkatkan akses internet di seluruh Indonesia.
-
Bagaimana APJII ingin memastikan keamanan data di masa depan? "Kami berharap bahwa pemerintah dan semua pemangku kepentingan dapat bekerja sama untuk memperkuat infrastruktur keamanan siber kita. APJII siap mendukung setiap upaya untuk meningkatkan keamanan data dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa depan,” terangnya.
-
Mengapa APJII tertarik untuk meneliti akses internet di daerah 3T? Penyebaran internet di daerah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) terus mengalami perkembangan yang signifikan.
Menurut dia, terdapat juga sejumlah ISP yang hanya membayar sekitar Rp 5 juta meski jumlahnya hanya di bawah 10 perusahaan, sedangkan yang melebihi Rp 100 juta justru banyak, karena termasuk operator besar seperti Telkom, XL, Indosat, dan Moratel.
Bila rata-rata ISP membayar Rp 100 juta saja setiap tahun, maka bila dihitung sejak 1996, ISP telah membayar total BHP Jastel minimal sebesar Rp 250 miliar meskipun bila dihitung lebih mendetail per ISP, nilainya bisa jauh melebihi angka itu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama tahun 2013 melebihi dari target yang ditetapkan. PNBP Kominfo selama 2013 sendiri mencapai Rp 13,59 triliun atau 110,94 persen dari target 2013 sebesar Rp 12,25 triliun.
Capaian PNBP tahun 2013 sendiri meningkat 17,3 persen dibandingkan PNBP tahun 2012 yang mencapai Rp 11,585 triliun. Pada tahun 2011 capaian PNBP Kominfo mencapai sekitar Rp 11,232 triliun.
Front Pembela Internet (FPI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi, yang selama ini dipungut pemerintah yang dalam ini Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai tidak sesuai konstitusi alias inkonstitusional. Dan seluruh pendapatan Kementerian Kominfo ini diatur hanya melalui PP.
Menurut Juru bicara FPI Suwandi Ahmad saat mendaftakan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, uji materi itu ditujukan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi).
"Dua UU ini inkonstitusional karena telah melanggar hak berusaha dan hak mendapatkan informasi. Industri telekomunikasi, khususnya penyedia jasa internet, merasa terlalu terbebani oleh berbagai biaya BHP," terang Suwandi.
Menurutnya, dalam industri telekomunikasi ada berbagai macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan konten.
Selain itu, menurut Suwandi, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi dinilai tidak fair, karena dihitung 1 persen dari pendapatan kotor (revenue). Sedangkan pajak pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan (pendapatan dikurangi pengeluaran). Selain itu, pendapatan-pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya dari usaha non-telekomunikasi, juga dihitung sebagai revenue yang menjadi obyek BHP.
"Parahnya lagi, besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika," ujar Suwandi. Hal ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang.
(mdk/hwa)