Polemik biaya interkoneksi, omong besar layanan telekomunikasi senja
Menteri Rudiantara menjawab pertanyaan segala penjuru dari anggota Komisi I di rapat yang membahas rencana tersebut.
Rapat dengar pendapat di gedung parlemen itu berlarut-larut hingga malam, Rabu silam (24/8). Pelakunya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara beserta jajaran dan Komisi I DPR RI di Kompleks DPR. Bak single fighter, Menteri Rudiantara menjawab pertanyaan segala penjuru dari anggota Komisi I di rapat yang membahas rencana penurunan biaya interkoneksi telepon dan SMS per 1 September 2016.
Meski menjelaskan secara kronologis ihwal perlunya biaya interkoneksi turun, Menteri Rudiantara yang biasa disapa Chief RA ini tetap saja dijejali banyak interupsi dan pertanyaan balik. Intonasi pertanyaan dan pernyataan anggota dewan kadang meninggi hingga terdengar jelas di ruang balkon Komisi I, yang disesaki pengunjung.
-
Apa yang dibagikan Telkom dalam RUPST tahun buku 2023? PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk telah menyelesaikan Rapat Umum Pemegang Saham Tahun Buku 2023 di Jakarta pada Jumat (3/5). Rapat menyetujui pembagian dividen tunai sebesar Rp17,68 triliun atau 72% dari perolehan laba bersih tahun buku 2023 (dividend payout ration).
-
Kenapa Telkom mendapatkan penghargaan? Sebagai bentuk pengakuan atas kinerjanya terkait pengelolaan komunikasi dan program keberlanjutan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk dianugerahi empat penghargaan oleh Kementerian BUMN dalam ajang BUMN Corporate Communication and Sustainability Summit (BCOMSS) 2024.
-
Apa penghargaan yang didapatkan Telkom? Sebagai bentuk pengakuan atas kinerjanya terkait pengelolaan komunikasi dan program keberlanjutan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk dianugerahi empat penghargaan oleh Kementerian BUMN dalam ajang BUMN Corporate Communication and Sustainability Summit (BCOMSS) 2024.
-
Mengapa keberadaan layanan OTT menjadi ancaman bagi penyedia layanan seluler di Indonesia? Kekhawatiran tersebut muncul karena saat ini masyarakat Indonesia, semakin ketergantungan dengan layanan OTT asing, yang teknologi dan inovasinya sangat berkembang cepat. Akan tetapi, hal ini justru bukan menguntungkan, malah menjadi ancaman bagi penyedia layanan seluler di Indonesia.
-
Apa yang ditawarkan dalam kolaborasi Vidio dan Telkomsel? Kolaborasi Vidio dan Telkomsel memberikan penawaran eksklusif menonton seluruh tayangan paket Vidio Diamond, termasuk Liga Inggris hanya dengan Rp1.000 (tidak termasuk PPN) untuk pelanggan baru IndiHomeTV, selama periode 1 hingga 31 Desember 2023.
-
Mengapa industri telekomunikasi di Indonesia terus berkembang? Pada tahun 2021, sektor informasi dan komunikasi menyumbang sekitar Rp 748,75 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Muaranya, Komisi I meminta pemerintah hati-hati dan tidak buru-buru menetapkan biaya interkoneksi baru pada 1 September, sesuai Surat No 1153/Kominfo/2016 yang ditandatangani oleh Plt Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Geryantika Kurnia, dirilis 2 Agustus lalu. Simpelnya, surat itu akan menurunkan biaya interkoneksi rata-rata 26 persen atau setara Rp 46 menjadi Rp 204 per menit untuk 18 skenario panggilan seluler dan telepon tetap. Biaya baru ini efektif 1 September hingga Desember 2018.
"Kami minta pemerintah tidak ngotot menerapkan biaya interkoneksi di 1 September, sampai Komisi I DPR menyelesaikan proses yang diperlukan," kata Meutya Hafidz, Wakil Ketua Komisi I DPR, usai memimpin rapat, Rabu malam itu, dua pekan lalu.
Biaya interkoneksi adalah biaya yang timbul akibat adanya keterhubungan jaringan telekomunikasi dari operator yang berbeda (layanan off-net). Saat ini biaya interkoneksi telepon Rp 250 per menit dan berkontribusi sekitar 15 persen terhadap tarif ritel yang dibebankan kepada pelanggan telepon seluler, yang rata-rata Rp 2.000 per menit.
Merasa belum tuntas, Komisi I pun memanggil seluruh operator telekomunikasi di Indonesia keesokan harinya. Meski berada satu meja dan ruangan rapat Komisi I DPR, pandangan seluruh pimpinan operator besar ini terbelah seperti dua kubu.
Satu kubu jelas menolak penurunan biaya interkoneksi 26 persen, yang diwakili oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Group termasuk Telkomsel. Sedangkan satu kubu mendukung penurunan, diwakili oleh PT Indosat Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Smartfren Telecom Tbk, dan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri).
Telkom Group kontra biaya interkoneksi 2016, karena operator terbesar di republik ini mempunyai biaya jaringan yang bersifat cost recovery tinggi, yakni Rp 285 per menit. Lebih mahal dari rencana biaya interkoneksi baru yang Rp 204 per menit. Biaya jaringan Telkom tinggi, lantaran membangun di seluruh Indonesia hingga ke daerah pelosok.
Dibandingkan operator lain, cost recovery Telkom Group paling mahal. Sebut saja, cost recovery Indosat hanya Rp 86 per menit, XL Rp 65, Smartfren Rp 100, dan Tri Rp 120.
Alex Sinaga, Direktur Utama Telkom, 'curhat' soal itu di Komisi I DPR RI, Kamis malam, dua pekan lalu. "Biaya interkoneksi baru itu (Rp 204), jelas merugikan Telkom, mengingat cost recovery kami, menurut perhitungan konsultan, adalah Rp 285. Sebab kami membangun jaringan sampai ke pelosok Tanah Air, sedangkan operator lain cuma membangun di kota. Kenapa diperlakukan sama? Semestinya perhitungan biaya interkoneksi itu dilakukan secara asimetris, berdasarkan biaya (cost based) yang dikeluarkan setiap operator," ujarnya.
Telkomsel resisten, dengan argumentasi ada potensi merugi, jika biaya interkoneksi Rp 204 per menit diterapkan. Dengan cost recovery Rp 285 per menit, operator ini akan merugi Rp 81 per menit setiap trafik interkoneksi. Jika dikalikan trafik miliaran menit telepon per bulan, Telkomsel bakal buntung ratusan miliar rupiah per bulan.
Potensi buntung inilah yang dikoar-koarkan sebagai kerugian negara oleh beberapa pihak. Sedangkan operator lain dinilainya justru 'untung' karena cost recovery-nya di bawah tarif interkoneksi. Misal, XL akan untung Rp 139/menit (karena cost recovery-nya Rp 65 per menit), Indosat Ooredoo Rp 117/menit, dan Tri Rp 84/menit.
Sedangkan kubu pro berargumen penurunan biaya interkoneksi diperlukan untuk memberi kesempatan kepada operator, selain Telkom Group, berkembang. Janji mereka, masyarakat dapat layanan telekomunikasi dengan tarif lebih terjangkau, mendorong industri telekomunikasi lebih efisien, serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat.
Sejak itu, pembahasan biaya interkoneksi 2016 menjadi bola panas. Hawa operator BUMN merugi pun diembuskan ke mana-mana. Jelang tenggat waktu 1 September lalu, terjadi pressure group lewat beberapa aksi demonstrasi di gedung parlemen (29/8) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (31/8). Ratusan orang dari Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis ini meminta penurunan biaya interkoneksi Rp 46 per menit dibatalkan. Memakai ikat kepala merah putih, serikat pekerja ini berorasi bahwa penurunan biaya interkoneksi bakal merugikan operator BUMN, yang banyak membangun jaringan sampai ke pelosok di Tanah Air.
Hawa operator BUMN merugi pun diembuskan ke mana-mana. Biaya interkoneksi yang mestinya ada dalam ranah operator atau bersifat business to business (B2B), dipaksa masuk ke ranah publik. Dengan embel-embel ada potensi kerugian negara dengan corong berbagai lembaga, yang tiba-tiba fasih bicara biaya interkoneksi. Padahal ada isu yang lebih relevan untuk ranah publik, yakni tarif pungut telekomunikasi telepon dan SMS.
Akhirnya, seperti diketahui, drama ini selesai sementara, dengan biaya interkoneksi 2016 batal diterapkan per 1 September. Alasannya, Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) dari operator belum lengkap terkumpul. Jadi, biaya interkoneksi yang digunakan operator sekarang adalah biaya interkoneksi versi 2014, yakni Rp 250 per menit.
Pertanyaannya, sampai kapan biaya interkoneksi lama dipakai?
Semua Dapat Duit
Persoalan siapa untung dan buntung dari biaya interkoneksi tak sesederhana itu. Di mata Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, ketika terjadi trafik interkoneksi, sejatinya kedua operator dapat duit. Hanya saja, operator originasi atau awal mendapat duit lebih besar, karena menarik tarif pungut atau ritel ke pelanggan yang melakukan panggilan ke operator lain (off-net), lantaran ada komponen ritel seperti service activity cost, margin, dan lain-lain. Sedangan operator tujuan hanya mendapat biaya interkoneksi doang.
Agar lebih mudah, contohnya, dalam satu bulan ada 1 miliar trafik dari pelanggan operator A ke operator B. Dengan tarif off-net Rp 1.000 per menit, maka terdapat pemasukan Rp 1 triliun. Dari Rp 1 triliun dan biaya interkoneksi Rp 204, maka operator awal (A) mendapat pemasukan Rp 796 miliar per bulan, sedangkan operator tujuan (B) hanya Rp 204 miliar. Begitu juga sebaliknya, bila terjadi komunikasi dari pelanggan operator B ke A.
"Operator Originator lebih besar karena ada hak retail service activity cost dan margin untuk collect money," ujar Heru Sutadi yang pernah menjadi Komisioner BRTI dua periode, kepada Merdeka.com.
Hemat Heru, biaya interkoneksi sudah turun beberapa kali sejak 2006 dan tidak ada yang membawa-bawa seolah-olah negara akan rugi. Jadi, tidak usah bawa masalah interkoneksi ke arah politis, menggoyang Kemenkominfo atau melibatkan KPK segala macam. "Kembalikan sesuai PM No 8/2006 tentang Interkoneksi saja, yang tidak mau kenakan peringatan dan sanksi."
Oya, kata Heru, jangan lupa, biaya interkoneksi telepon tetap (PSTN) dinaikkan pemerintah di rencana biaya interkoneksi 2016. Jadi biaya interkoneksi telepon lokal ke lokal PSTN naik dari Rp 73 per menit menjadi Rp 125. Sedangkan untuk SLI PSTN juga naik dari Rp 624 ke Rp 628.
"Tarif yang lebih murah memang wajar, karena layanan telepon (voice) dan SMS juga kian murah dengan kehadiran teknologi berbasis internet protocol (IP) dan layanan aplikasi seperti Whatsapp, Line, Facebook Messenger," pungkas dia.
Kinerja keuangan tiga operator besar menegaskan laju penurunan trafik interkoneksi ini. Laporan keuangan Telkom Group semester I 2016 menyebutkan, perseroan mencatat pemasukan interkoneksi Rp 1,8 triliun, turun 16 persen dari periode sama tahun lalu. Sisi pengeluaran interkoneksi bahkan turun lebih besar lagi, yakni 27,6 persen, menjadi Rp 1,4 triliun. Dengan demikian, Telkom mencatat 'untung" dari interkoneksi Rp 400 miliar.
Menurut Telkom, penurunan pemasukan dan pengeluaran interkoneksi itu disebabkan turunnya layanan telepon dan SMS, akibat tren kenaikan layanan percakapan via over the top (OTT). Di sisi anak usahanya, Telkomsel, juga  senada. Pemasukan interkoneksi operator terbesar dengan 155 juta pengguna ini hanya naik 0,2 persen menjadi Rp 2,3 triliun. Sedangkan pengeluarannya turun 5,8 persen menjadi Rp 1,5 triliun. Jadi, Telkomsel untung interkoneksi Rp 800 miliar.
XL juga mendapat untung dari interkoneksi, yakni Rp 108 miliar. Meski untung, laju trafik interkoneksinya cenderung menurun. Buktinya, pemasukannya turun 25,8 persen menjadi Rp 930 miliar, sedangkan sisi pengeluarannya juga turun 33 persen jadi Rp 822 miliar.
Hanya Indosat yang 'buntung' di interkoneksi, Rp 249 miliar. Â Lantaran pemasukan interkoneksinya hanya Rp 851 miliar (turun 13 persen), sedangkan pengeluarannya Rp 1,1 triliun (juga turun 7 persen).
Sesuai Kesepakatan
Sejatinya, biaya interkoneksi model baru di Indonesia ditetapkan sejak 2006, pasca berlakunya UU Telekomunikasi No 36/1999 untuk menggantikan UU No 3/1989. PP  No 52/2000  tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi menjadi dasar perubahan interkoneksi di Tanah Air, dari  berbasis revenue sharing ke berbasis biaya (cost based). Perubahan ini juga mengacu pada international best practices, WTO Reference Paper-1997, Guidelines Apectel (Cancun Declaration 2000). Era baru ini untuk membuat industri  telekomunikasi terbuka, transparan dan non-diskriminatif.
Sejak 2006 hingga 2014, pembahasan biaya interkoneksi berlangsung adem-ayem, tidak panas seperti sekarang. Pembahasan biaya interkoneksi di periode tersebut berjalan mulus, karena berdasarkan kesepakatan alias menggunakan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) operator yang menguasai lebih dari 25 persen pendapatan industri (operator dominan), yakni Telkom Group. Model seperti ini disebut juga model simetris. Laju biaya interkoneksi juga selalu menurun sejak pertama kali dibahas 2006.
"Pembahasan biaya interkoneksi tahun ini rame, karena operator dominan tidak mau mengakui biaya referensi pemerintah. Yang dahulu, tidak rame karena menggunakan referensi operator dominan," ujar I Ketut Prihadi Kresna Murti, Komisioner BRTI, akhir pekan lalu.
Ya, gara-gara pembahasan biaya interkoneksi 2016 di level operator stagnan, pemerintah akhirnya menetap biaya interkoneksi 2016 turun 26 persen atau Rp 46 per menit, berdasarkan formula sesuai Peraturan Menteri No 8/2006 tentang Interkoneksi. Padahal pembahasan dimulai sejak Februari 2015, ketika Dokumen Konsultasi Publik soal Penyempurnaan Regulasi Tarif dan Interkoneksi dirilis.
Bahkan periode Juli-Desember 2015, misalnya, seluruh operator seperti Telkomsel, Indosat, XL, Smartfren, dan Tri Indonesia sudah beberapa kali bertemu dan berdiskusi untuk meninjau ulang model perhitungan tarif interkoneksinya. Kementerian Komunikasi mencatat ada 17 kali  meeting antaroperator di periode ini. Kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi, validasi, dan review model perhitungan data di periode Mei 2015 - Januari 2016. Lantas, dilakukan perhitungan tarif interkoneksi pada Juni 2015 - Maret 2016, dengan penyampaian hasil hitungan pada operator dilakukan pada 19 Mei 2016.
Menteri Rudiantara mengaku perhitungan penurunan tarif interkoneksi saat ini merupakan keputusan yang terpaksa diambil pemerintah. Pasalnya, perundingan antar-operator menemui jalan buntu.
"Jika mengikuti keinginan semua operator, pecah kepala kami. Karena perhitungannya berbeda, investasi juga berbeda. Ada operator minta turun 10 persen, 40 persen, hingga 50 persen. Kalau perlu, kami buka tabelnya semua nanti," ujar Menteri Rudiantara usai mendapat cecaran pertanyaan dari Komisi I DPR, akhir bulan lalu.
Karena itu, kata dia, pemerintah tidak bisa mengikuti perhitungan salah satu operator. Pemerintah harus firm, sehingga melakukan perhitungan  biaya interkoneksi seadil-adilnya, dapatlah biaya Rp 204 per menit. "Kami tahu ini masih banyak yang ingin turun lebih besar atau naik lebih besar,â pungkasnya.
Menurut Komisioner BRTI I Ketut Prihadi Kresna Murti, biaya interkoneksi 2016 sudah ideal. "Kamis lalu, BRTI sudah menerima DPI Telkom Group. Kami punya waktu hingga 10 hari membahas DPI operator dominan ini, untuk setuju atau tidak terhadap biaya interkoneksi di DPI Telkom Group," ujarnya.
Sejatinya penurunan biaya interkoneksi 2016 merupakan 'cita-cita' Menteri Rudiaantara untuk membuat industri telekomunikasi nasional lebih efisien dan sehat. Saat didapuk menjadi menteri komunikasi dan informatika di Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi, dua tahun silam, Â Rudiantara yang berlatar profesional di industri telekomunikasi berkat karir di Telkomsel, Indosat, dan XL Â pernah melontarkan visi-misinya sebagai menteri.
Saat itu, dirinya ingin industri telekomunikasi lebih sehat dan efisien. Visi besar di industri telekomunikasi ini diwujudkan lewat misi mendorong mengurangi jumlah operator di Indonesia dengan konsolidasi. Jumlah operator di Indonesia yang mencapai tujuh dinilai terlalu banyak. Idealnya jumlahnya berkurang menjadi 3 atau 4 operator. Dengan berkonsolidasi, kinerja keuangan operator diharapkan lebih sehat alias meraih laba. Dari tujuh operator itu, hanya Telkom dan Telkomsel yang mampu profit berdasarkan kinerja keuangan 2015.
"Sekarang, ada 7 operator. Nanti tinggal tiga atau empat. Kalau terjadi konsolidasi, skala ekonomi meningkat. Akibatnya pembelian barang lebih murah. Kalau biaya operator lebih murah, diharapkan berimbas kepada pelanggan. Prinsipnya, lebih cepat, lebih besar kapasitasnya, lebih murah per unit cost-nya. Kalau masyarakat menggunakan lebih besar, mungkin yang digunakan lebih banyak, tapi per unit cost-nya lebih murah. Caranya didorong efisiensi kerja sama antaroperator, infrastruktur sharing. Tidak usah bangun, sharing saja, saling memakai," ujar menteri saat itu.
Mengapa Ada Biaya Interkoneksi
Biaya interkoneksi timbul, akibat adanya keterhubungan jaringan telekomunikasi dari operator yang berbeda. Keterhubungan ini dimungkinkan, sebab Indonesia menganut sistem multi-operator, bukan satu operator. Untuk itu, supaya pelanggan operator A bisa berkomunikasi dengan pelanggan operator B, C, atau D, diperlukan jaringan telekomunikasi yang terhubung (interkoneksi). Nah, jaringan operator A yang bisa terhubung dengan operator B, inilah yang dipungut biaya, dengan nama biaya interkoneksi.
"Tanpa interkoneksi, pelanggan hanya bisa melakukan panggilan telepon dalam jaringan satu operator (on-net), tidak mungkin lintas operator (off-net). Tanpa interkoneksi, masyarakat harus menjadi pelanggan semua operator dan memiliki SIM-card minimal sebanyak jumlah operator," ujar Nonot Harsono, mantan Komisioner BRTI periode 2009-2015.