Suku Pedalaman Ini Jadi Kecanduan Nonton Video Porno Sejak Internet Starlink Masuk
Kehadiran internet di wilayah pedalaman ini jadi pro dan kontra.
Kehadiran internet di wilayah pedalaman ini jadi pro dan kontra.
Suku Pedalaman Ini Jadi Kecanduan Nonton Video Porno Sejak Internet Starlink Masuk
Suku Marubo merupakan suku terpencil yang tinggal di wilayah pedalaman hutan hujan Amazon, yang saat ini masuk ke dalam negara Brasil. Selama berabad-abad suku ini telah menghindari cakupan modernitas dan mempertahankan cara hidup asli mereka
Mengutip Indy100, New York Post, dan The New York Times, Jumat (7/6), hal tersebut berubah di tahun lalu. Seorang pengusaha asal Amerika Serikat, Allyson Reneau, mendonasikan beberapa antena Starlink, yang menyediakan jangkauan internet satelit secara luas, sehingga masyarakat suku Marubo menjadi bisa mengakses internet.
- Duduk Perkara Viral Remaja 14 Tahun di Padang Sidempuan jadi Tersangka Usai Terima Video Porno dari Pacarnya
- Agak Lain, Sejoli Muda Pacaran Sambil Promosi Judi Online dan Buat Video Porno
- Jelang Sidang Vonis, Terdakwa Penyebaran Video Porno di Makassar Kabur
- Mirip Lagu Dari Sabang Sampai Merauke, Momen Pelantunan Lagu Kebangsaan Prancis Ini Viral
Setelah beberapa bulan mendapat akses internet, kini terdapat pandangan berbeda di antara 2.000 anggota suku Marubo mengenai keberadaan dan penggunaan internet.
“Ketika internet tiba, semua orang bahagia. Akan tetapi, sekarang, kedaan menjadi lebih buruk,” ujar Tsainama Marubo.
Tsainama menjelaskan bahwa internet telah membawa beberapa dampak positif, salah satunya adalah kemampuan untuk melakukan panggilan video dengan teman dan saudara di tempat yang jauh.
Enoque Marubo mengatakan bahwa biasanya untuk sebuah keadaan darurat, seperti seseorang digigit ular, suku Marubo bergantung pada radio amatir yang lambat untuk memberitahukan keadaan tersebut pada pihak berwenang.
Akan tetapi, sejak kedatangan internet, mereka bisa melakukan panggilan secara instan.
"Internet telah menyelamatkan banyak nyawa,” ungkap Enoque.
Dengan internet, para pemimpin suku menggunakan WhatsApp untuk berkoordinasi dengan desa lain mengenai berbagai masalah, guru-guru membagikan pelajaran dengan para siswa di berbagai daerah, dan para pemuda Marubo juga bisa melihat dunia luar yang berbeda dengan lingkungannya.
Di balik sisi positifnya, internet juga dinilai membawa dampak negatif bagi masyarakat Marubo.
“Pemuda menjadi malas karena internet. Mereka mempelajari cara hidup orang kulit putih,” keluh Tsainama.
Ia mengatakan bahwa pemuda semakin tidak tertarik dengan kegiatan tradisional, seperti membuat pewarna dan perhiasan.
Kedatangan internet juga dikatakan telah mengubah rutinitas hingga menimbulkan efek yang merugikan, seperti berubahnya waktu untuk berburu dan bercocok tanam.
Terdapat pemuda yang menghabiskan waktunya di siang hari hanya untuk bermain ponsel.
Terdapat pula banyak masalah bagi suku Marubo akibat munculnya internet, seperti media sosial yang menimbulkan candu, informasi yang keliru, penipuan, gim video yang mengandung kekerasan, hingga anak di bawah umur yang menonton konten dewasa.
Suku Marubo memiliki budaya yang tidak menyukai ciuman di depan umum.
Oleh karena itu, ketertarikan baru pada konten pronografi menjadi salah satu perhatian utama.
Alfredo Marubo, salah seorang pemimpin Marubo, khawatir bahwa para pemuda Marubo ingin mencoba melakukan adegan seksual yang diperlihatkan secara eksplisit dalam video pornografi.
Para lelaki muda Marubo diketahui pernah saling menyebar video dewasa dalam obrolan grup.
Bahkan, beberapa pemimpin telah memperhatikan perilaku seksual yang lebih agresif di antara kaum muda.
Orang tua, yang khawatir bahwa gim video yang mengandung kekerasan akan dititu oleh anak-anak, juga telah mencoba untuk menghapus gim tersebut dari perangkat. Akan tetapi, mereka juga khawatir anaknya memiliki aplikasi yang disembunyikan.
Dengan melihat semua pro dan kontra dari internet, Enoque berpendapat bahwa internet akan memberikan lebih banyak manfaat daripada kerugian, “setidaknya untuk saat ini.” Ia juga menegaskan perkataan para pemimpin bahwa “kita tidak bisa hidup tanpa internet.”