Tradisi Gulat Okol, Duel Pemuda Surabaya Bak Sumo Ala Jepang
Gulat Okol berkembang di Surabaya sebagai tradisi yang sarat akan nilai kebersamaan. Teknis bermainnya mirip dengan Sumo ala Jepang. Berduel dengan telanjang dada, saling menjatuhkan lawan. Jerami menjadi asal-usul terciptanya pertandingan unik ini.
Saling menjatuhkan, menggulingkan lawan hingga diselimuti jerami kering. Kedua pemuda ini tidak berkelahi, melainkan melaksanakan sebuah tradisi. Otot-otot mereka kerahkan sekuat tenaga untuk meraih gelar juara. Pertandingan ini bernama Gulat Okol yang digelar warga Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya. Duel dua pemuda ini layaknya permainan Sumo di Jepang.
Gulat Okol tak hanya sekedar sebagai ajang mencari keseruan semata. Namun punya beragam makna tersendiri. Meskipun terlihat brutal, namun permainan ini punya aturan yang membuat para pemainnya aman. Cara berduelnya mirip dengan Sumo, saling mendorong dengan beradu pada kekuatan tubuh. Bedanya dari Sumo, para pemain Gulat Okol cenderung berbadan ramping. Jika Sumo mendorong lawan ke luar arena, Gulat Okol harus menjatuhkan lawan.
-
Kapan tradisi Binarundak di Sulawesi Utara dilakukan? Tradisi ini dilakukan dengan memasak nasi jaha secara bersama-sama selama tiga hari berturut-turut setelah Hari Raya Idul Fitri.
-
Apa itu Tradisi Ujungan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan.
-
Dimana Tradisi Ujungan dilakukan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan.
-
Kapan Tradisi Mantu Kucing dimulai? Tradisi Mantu Kucing dilakukan oleh masyarakat di Dusun Njati, Pacitan, Jawa Timur sejak 1960-an.
-
Siapa saja yang ikut dalam Tradisi Ujungan? Tradisi ini juga hanya diikuti oleh kalangan laki-laki saja, dengan kaum perempuan yang biasanya memberi semangat dan dukungan.
-
Di mana tradisi Seblang di Banyuwangi dirayakan? Ritual adat Seblang Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, digelar selama satu pekan, sejak 15 April - 21 April.
Warga Surabaya biasa mengadakan Gulat Okol bertepatan pada acara sedekah bumi. Arena bermainnya berada di atas panggung, sehingga penonoton dapat menyaksikan dengan leluasa.
Tradisi Gulat Okol©2021 Merdeka.com/Herman Dewantoro
Tak hanya pria dewasa, remaja bahkan anak-anak diperkenankan memeriahkan Gulat Okol. Teknis bergulatnya begitu sederhana, jika ada yang ingin melawan dipersilahkan. Para tokoh desa menegaskan bahwa Gulat Okol merupakan seni pertunjukan dan bukanlah perkelahian.
Pemain harus bertelanjang dada dalam arena pertandingan. Otot-otot para pemuda terlihat mengencang, mengerahkan seluruh tenaga. Seorang wasit akan memandu jalanya pertandingan. Memastikan agar tidak terjadi kecurangan antar pemain.
Tradisi Gulat Okol©2021 Merdeka.com/Herman Dewantoro
Udeng atau ikat kepala harus dipasangkan kepada setiap pemain. Selembar kain batik cokelat ini menjadi penanda pertandingan siap dimulai. Udeng merupakan simbol orang Jawa zaman dahulu. Sedangkan selendang diibaratkan sebagai tali pengikat persaudaraan.
Pegulat diharuskan memakai selendang yang kemudian dilingkarkan pada tubuh lawan. Setiap pemain tidak diperkenankan menjatuhkan lawan dengan cara lain. Kedua tangan memegang erat kain sebagai tumpuan utama mengerahkan tenaga menjungkir balikkan lawan.
Kuda-kuda terpasang, berusaha sekuat tenaga menundukkan lawan. Pertandingan semakin sengit ketika kekuatan kedua pemain seimbang. Sorak penonton begitu nyaring terdengar. Mendukung jagoan mereka di panggung pertandingan.
Tradisi Gulat Okol©2021 Merdeka.com/Herman Dewantoro
Keselamatan menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Tidak meninggalkan asal muasal tradisinya. Panggung akan ditaburi jerami kering sisa panen para petani. Setidaknya ditumpuk hingga tebal agar permukaan panggung menjadi empuk. Tujuannya ialah agar para pemain yang terjatuh bahkan berguling tidak akan merasakan sakit.
Para pemain juga diwajibkan untuk memotong kuku jika ditemukan jari dengan kuku yang panjang. Pasalnya kuku panjang akan memungkinkan untuk melukai tubuh lawan.
Tradisi Gulat Okol©2021 Merdeka.com/Herman Dewantoro
Gulat Okol menjadi simbol bagi warga sekitar sebagai permohonan agar turun hujan. Konon permainan ini bermula ketika para petani memanfaatkan waktu luang menggembakan ternak. Sisa jerami hasil panen menjadi sarana hiburan dengan cara saling menjatuhkan. Tumpukan jerami yang begitu empuk, seolah jatuh di atas kasur. Rasa senang menyelimuti para penggembala, sekuat tenaga membanting kawan namun tiada meninggalkan dendam.
Tiap tahunnya Gulat Okol diselenggarakan dalam berbagai perayaan. Setidaknya ada 40 petarung yang memeriahkan tradisi Gulat Okol. Hingga kini, Gulat Okol tetap dilestarikan secara turun-temurun. Tidak lain ialah sebagai ajang mempererat tali silaturahmi antar warga Surabaya sisi Barat tersebut.
(mdk/Ibr)