Cara Membayar Hutang Masa lalu Menurut Islam ke Orang yang Sudah Meninggal Dunia
Penjelasan mengenai cara membayar utang ke orang yang sudah meninggal dunia.
Penjelasan mengenai cara membayar utang ke orang yang sudah meninggal dunia.
Cara Membayar Hutang Masa lalu Menurut Islam ke Orang yang Sudah Meninggal Dunia
Cara membayar hutang masa lalu menurut Islam penting diketahui oleh semua orang.
Hutang atau utang hukumnya wajib dibayar dan diselesaikan meski yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Ancaman tidak menyelesaikan utang juga sudah jelas dijelaskan dalam berbagai hadist shahih lain.
Simak ulasan selengkapnya dilansir dari NU Online dan berbagai sumber, Rabu (26/6/2024):
-
Bagaimana cara membayar fidyah? Adapun cara membayar fidyah untuk ganti puasa ramadhan dengan uang adalah sebagai berikut:
-
Bagaimana tata cara membayar utang puasa Ramadhan? Cara membayar atau mengqadha puasa Ramadan boleh dilakukan kapan saja. Namun, niat puasa membayar utang puasa Ramadhan tetap dilafalkan saat malam harinya. Perlu dijadikan catatan, makruh hukumnya jika mendahulukan puasa sunah daripada puasa qadha.
-
Bagaimana cara para pelaku pungli meminta uang? Julurkan tangan untuk kode nominal yang harus diberikan. Selain meminta uang, orang-orang yang diduga warga setempat ini juga meminta nominal khusus kepada sopir truk melalui kode jari. Untuk satu jari, sopir harus memberikan uang sebesar seribu. Lalu dua jari, sopir harus menyerahkan uang sebesar Rp2 ribu dan seterusnya.“Minta seribu tinggal bikin satu jari. Dua ribu, dua jari. Lima ribu, tinggal bikin lima jari,” katanya lagi.
-
Bagaimana cara termudah untuk menggandakan uang? Bagaimana cara termudah untuk menggandakan uang? Letakkan di depan cermin
-
Bagaimana cara membayar Lamborghini dengan sistem cicilan? Jika dicicil dengan tenor selama 4 tahun dan Down Payment (DP) sebesar 15 persen maka angsuran per bulannya sekitar Rp 350 jutaan.
Cara Membayar Hutang di Masa Lalu
Hutang merupakan perkara dunia yang harus diselesaikan meski salah satu pihak yang terlibat telah meninggal dunia.
Dalam hadist, disebutkan jika amal kebaikan seseorang akan digunakan untuk membayar hutang jika ururan tersebut tak diselesaikan hingga meninggal.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
Maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham." (HR Ibnu Majah).
Utang tergolong sebagai haqqul adami (tanggung jawab kepada sesama manusia).
Sehingga sampai kapan pun tanggungan utangnya tidak dapat gugur kecuali dengan cara membayarnya atau meminta kerelaannya.
Lalu, bagaimana cara membayar hutang jika pihak yang berhak sudah meninggal dunia?
Seperti hal-nya dengan warisan, hal tersebut juga diterapkan dalam hal piutang. Waris tidak hanya berlaku atas harta benda namun juga utang dan piutang.
Kelompok pertama yang berhak menerima warisan adalah yang berhubungan langsung dengan yang sudah meninggal.
Mereka adalah suami, istri, anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki, dan saudara perempuan.
Setelah hak tersebut selesai, maka waris diberikan pada kelompok selanjutnya. Meliputi bibi, paman, serta saudara jauh lainnya jika tidak ada keluarga dekat yang tersisa.
Mereka yang meninggal juga bisa meninggalkan wasiat untuk menunjuk pihak tertentu sebagai pewaris.
Jumlah maksimal yang dibolehkan hanya 1/3 dari total warisan kecuali atas kesepakatan semua ahli waris.
Di dalam Al-Qur'an surat An-Naml ayat 16 bisa memberi gambaran besarnya hak ahli waris.
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ ۖ وَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ ۖ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
Wa warisa sulaimānu dāwuda wa qāla yā ayyuhan-nāsu 'ullimnā mantiqat-tairi wa ụtīnā ming kulli syaī`, inna hāżā lahuwal-fadlul-mubīn
Tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata',"
Dengan semua aturan tersebut, maka sudah jelas Islam mengutamakan pembayaran hutang secepatnya.
Kewajiban tersebut akan diserahkan pada keluarga dekat jika tak juga selesai hingga wafat.
Bagaimana jika Kita Kesulitan Mencari Orang yang Memberikan Utang?
Dilansir dari laman NU Online, Al-Ghazali berpandangan bahwa wajib bagi seseorang yang berutang untuk mencari orang yang memberinya utang.
Tujuannya tentu agar bisa membayar utang yang menjadi tanggungannya.
Hal ini harus ia lakukan semampu upaya, misalnya dengan mencari nomor kontaknya atau cara lain yang dipandang bisa menemukan keberadaannya.
Namun jika ternyata tidak ditemukan, orang yang berhutang dianjurkan bersedekah sebagai ganti dari utang itu.
Dalam artian sedekah yang ia lakukan diniati sebagai ganti dari tanggungan utang miliknya dan pahala sedekah diperuntukkan kepada orang yang memberinya utang.
Jumlah uang yang disedekahkan juga harus sesuai dengan jumlah utang yang dipinjam. Kemudian diberikan kepada fakir miskin atau mereka yang kurang mampu.
Jika ia tidak punya kemampuan untuk bersedekah, maka dianjurkan baginya untuk melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya.
Namun, selama seseorang masih dapat menemukan keberadaan orang yang memberi utang, maka ia tidak dianjurkan melakukan sedekah terlebih dahulu.
Jika tidak mampu membayarnya, orang yang berhutang harus tetap menemui pihak yang memberi dan meminta kehalalan atau kerelaan atas utang yang tidak dapat dilunasinya.
Jika pihak pemberi utang sudah merelakan, maka baru lah pihak terhutang sah lepas dari tanggung jawab.