Palagan Terakhir Kakek Calon Wawali Tangsel Rahayu Saraswati di Tanah Lengkong
Kakek dari Rahayu ialah Raden Mas Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikoesoemo dan RM Soedjono Djojohadikoesoemo. Menilik kisah balik, namanya tercatat sebagai pahlawan nasional yang gugur dalam Pertempuran Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan.
Calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan nomor urut 02, Rahayu Saraswati telah mengikhlaskan kekalahan suara versi hitung cepat. Dia menitipkan pesan meminta, jalan atas nama eyangnya tetap dipertahankan.
"Kalau bisa nama jalan eyang saya yang telah ikut gugur dalam peristiwa Lengkong, dapat tetap dipertahankan. Walaupun plangnya sudah kelihatan tua dan agak sedikit tidak terawat," kata Rahayu Saraswati di posko kemenangan, Jalan Raya Buaran, Serpong, Kamis (10/12).
-
Kapan pertempuran di Tebing Tinggi terjadi? Dari situlah, pecah pertempuran berdarah dan dikenang sebagai "Peristiwa Tebing Tinggi 13 Desember 1945".
-
Di mana pertempuran di Tebing Tinggi terjadi? Pertempuran ini terjadi di beberapa wilayah seperti di Dolok Merawan dan di Paya Pinang.
-
Kenapa penonton konser di Tangerang marah dan membakar panggung? Kesal sudah membeli tiket namun tidak bisa menonton band idola, sejumlah penonton konser mengamuk. Mereka hilang kendali, menumpahkan kekesalan dengan membakar sound system dan panggung. Harga tiket yang dibanderol Rp115.000 makin menambah kekesalan mereka.
-
Di mana letak Tenggarong? Tenggarong merupakan salah satu wilayah yang menjadi ibu kota dari Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
-
Bagaimana proses pengolahan tinja menjadi pupuk di Tangerang? Untuk dijadikan pupuk, tinja yang masih bercampur dengan air dan lumpur akan ditampung untuk dikeringkan. Setelahnya air akan diolah menjadi kondisi baik dan lumpur serta tinja akan menjadi pupuk.
-
Kapan Klenteng Talang dibangun? Klenteng Talang dulunya dibangun tahun 1450 masehi.
Kakek dari Rahayu ialah Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikoesoemo. Menilik ke belakang, namanya tercatat sebagai pahlawan nasional yang gugur dalam Pertempuran Lengkong di Serpong, Tangerang Selatan.
Soebianto gugur saat melawan Belanda bersama 48 orang lain, di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Jenazah sang pahlawan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Tangerang Selatan.
Simak informasinya berikut ini.
Sosok Soebianto Djojohadikoesoemo
Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikoesoemo merupakan perwira Tentara Republik Indonesia (TRI). Pertempuran Lengkong tercatat dalam sejarah, sebagai tragedi besar melawan penjajah terhebat di tahun 1946.
Peristiwa itu dituangkan dalam buku berjudul, Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong (1995). Soebianto merupakan paman mantan Pangkostrad Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto.
Sajak Peninggalan Sang Kakek
Menariknya lagi, saat jenazah para pahlawan Pertempuran Lengkong dipindahkan ke TMP Taruna. Ditemukan sebuah sajak berbahasa Belanda, karya Henriette Roland Holst ((1869-1952). Di saku milik Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo.
Sajak yang kemudian digubah ke dalam Bahasa Indonesia, bunyinya demikian:
Kami bukan pembina candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kamilah angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru,
Di atas kuburan kami telah sempurna.
Sajak tersebut kini terukir rapi di monumen TMP Taruna. Serta tersemat kisah Pertempuran Lengkong di sana, sebagai mengenang jasa para pahlawan.
Sejarah Pergerakan Indonesia
Tragedi Lengkong menjadi salah satu bukti sejarah gerakan pasukan Indonesia, dalam merebut kemerdekaan sepenuhnya dari tangan Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak serta-merta mengakui begitu saja.
Tepat 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja selaku Kepala Staf Resimen menerima informasi jika pasukan NICA telah menduduki Parung. Mereka hendak mengambil alih markas senjata Jepang di Lengkong.
Agresi militer yang provokatif tersebut dikhwatirkan akan membahayakan kedudukan Resimen IV di Tangerang.
Berdialog dengan Pasukan Jepang
Mayor Daan Jahja tak mau senjata tentara Jepang jatuh ke tangan NICA-Belanda. Demi melakukan pengamanan, ia memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.
Setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang, Letkol Singgih keesokan harinya. Berangkatlah Mayor Daan Mogot dengan kekuatan 70 taruna dan delapan tentara Gurkha.
Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat juga beberapa perwira yakni Mayor Wibowo, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Lettu Soetopo.
"Mereka disuruh ke Lengkong untuk mengambil senjata dari tentara Jepang. Begitu yang saya dengar ceritanya," tutur Jari 52 tahun, juru makam di TMP Taruna ketika berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (4/6/2016).
Awalnya pertemuan dengan pasukan Jepang di bawah pimpinan Mayor Abe berjalan mulus. Bahkan tentara Jepang ini terkesan, dengan cara Daan Mogot bersama kawan-kawannya.
Mayor Abe ditemui oleh Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan Alex Sajoeti, seorang taruna yang fasih bahasa Jepang kala itu. Mayor Abe ternyata keberatan untuk memberikan senjata begitu saja. Karena belum mendengar perintah dari atasan untuk pelucutan senjata, Abe meminta waktu tanpa menghentikan perundingan.
Tak Menyangka Harus Melawan Pasukan Jepang
Sementara perundingan berjalan, Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo ternyata sudah mulai mendekat. Para taruna memasuki barak senjata Jepang. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui sumbernya. Letusan senjata disusul dengan rentetan senapan mesin pasukan Jepang, bagaikan hujan.
Dalam waktu singkat, perang tak seimbang harus terjadi. Sebagian tentara Jepang yang sudah menyerahkan senjatanya, kembali merebut senjata dari para taruna.
Melihat kejadian yang tak pernah terbayangkan itu, Mayor Daan Mogot keluar dari meja perundingan. Ia berusaha menghentikan pertempuran, namun gagal.
Tak lama kemudian mereka mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong. Selain itu, faktor senjata jadi salah satu kendala yang sangat berat.
Para taruna muda belum terbiasa menggunakan senapan jenis caraben Terni. Ditambah lagi, kerap kali peluru yang dimasukkan tidak sesuai dengan spesifikasi senjata. Sehingga menyebabkan macet saat dipakai.
Disandera Jepang
Sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yakni Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikusumo, dan Lettu Soetopo meninggal dalam pertempuran Lengkong. Mirisnya, para taruna yang masih hidup disandera Jepang. Mereka disuruh menggali kubur untuk teman-temannya yang meninggal.
©2016 Merdeka.com
Mendengar kabar tersebut, Pimpinan Resimen Tangerang meminta izin pada Jepang untuk mengambil jenazah para pejuang. Setelah diizinkan, seluruh jenazah dikebumikan di dekat penjara anak-anak Tangerang.
Empat hari usai Tragedi Lengkong, tepatnya pada 29 Januari 1946. Dilakukan pemakaman kembali bagi 36 jenazah yang gugur. Seorang taruna bernama Soekardi, mengalami luka berat dan menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Tangerang.
Pemakaman Ulang
©2016 Merdeka.com
Sebagai bentuk menghargai para pahlawan, serta dikenal oleh para generasi berikutnya. TMP Taruna menjadi lokasi pemakaman ulang. Melalui Keppres RI No. 28/BTK/Tahun 1966 tentang Pemberian Tanda-Tanda Kehormatan.
Tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1966, Presiden Soekarno menetapkan penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Mayor Daan Mogot dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Berkat jasa mereka terhadap negara. Khususnya Akademi Militer Tangerang.
Demi mengenang tragedi Pertempuran Lengkong, dibangun sebuah monumen yang terletak di Lengkong Wetan, Bumi Serpong Damai (BSD). Nampak bangunan rumah tua bercat hijau.
Sementara itu di TMP Taruna, dibangun pula sebuah monumen senada. Tertulis peristiwa Lengkong disertai dengan nama ke-48 pahlawan. Sedihnya, dari ke-48 nama, tiga pahlawan di antaranya tidak diketahui identitasnya. Tertulis di atas batu nisannya, 'tak dikenal'.