Ungkit Kasus KM 50 & Tragedi Kanjuruhan, Anies Menerobos ke Area Paling Rawan
Anies Rasyid Baswedan mengungkit sejumlah kasus kekerasan hingga hilangnya nyawa yang belum terselesaikan atau belum memenuhi rasa keadilan.
Anies Rasyid Baswedan mengungkit sejumlah kasus kekerasan hingga hilangnya nyawa yang belum terselesaikan atau belum memenuhi rasa keadilan.
Ungkit Kasus KM 50 & Tragedi Kanjuruhan, Anies Menerobos ke Area Paling Rawan
Calon presiden nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan mengungkit sejumlah kasus kekerasan hingga hilangnya nyawa yang belum terselesaikan atau belum memenuhi rasa keadilan.
Hal itu disampaikan Anies dalam Debat Capres di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023) tadi malam.
- PDIP Ajak AMIN Cegah Kecurangan Pemilu 2024, Anies: Kok Tumben Ya Baru Tahun Ini Ngomong Gitu
- Tragis! Ibu Muda di Bekasi Tewas Digorok Suami, Saat Kejadian Ada 2 Balitanya
- Sekjen PDIP Nilai Tragedi Kudatuli Harusnya Pelanggaran HAM Berat
- Dua TNI Diduga Ikut Aniaya Terduga Pencuri Besi hingga Tewas, Makam Korban Dibongkar untuk Autopsi
Anies menyoroti kasus tewasnya Harun Al Rasyid bocah 15 tahun pada aksi 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, pembantaian 6 anggota FPI di Km 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek, 7 Desember 2020 lalu dan tewasnya 135 penonton di Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu.
Ahli Psikilogi Forensik Reza Indragiri Amriel pun angkat bicara.
Menurutnya, ketika capres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo merasa "ngilu" menyentuh isu tersebut, Anies justru eksplisit menyebut tiga kasus hukum tersebut.
"Pertama, penembakan terhadap anak-anak di tengah aksi demonstrasi pendukung Prabowo. Orangtua korban bahkan duduk di belakang Anies," katanya dalam pesan elektronik yang diterima merdeka.com, Rabu (13/12/2023).
Ahli Psikilogi Forensik Reza Indragiri Amriel
"Kedua, penembakan terhadap anggota laskar FPI, atau dikenal luas sebagai kasus km 50. Ketiga, tragedi sepakbola Kanjuruhan," lanjurnya.
Dia mengatakan, ketiga kejadian memilukan tersebut sudah dianggap final dalam arti terlupakan maupun sudah inkracht putusannya. Namun, Anies justru mendesak negara mengusut tuntas atau melakukan investigasi ulang.
"Dengan pesan sedemikian rupa, Anies menerobos ke area paling rawan dalam dunia penegakan hukum: penghormatan HAM dan ketuntasan pengungkapan kasus," tegasnya.
Dia menilai, pada peristiwa penembakan Harun Al Rasyid, kasus ini melayang-layang sebagai extrajudicial killing atau unlawful killing. Semakin serius karena yang menjadi korban adalah anak-anak.
Menurutnya, anak-anak adalah kelompok usia yang PBB pun sampai mengeluarkan konvensi khusus untuk melindunginya.
"Namun boleh jadi juga karena mereka masih anak-anak, maka upaya pengungkapan kasusnya tidak terlihat seolah mereka adalah warga kelas dua," katanya.
Sementara, untuk kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan sudah selesai. Namun, menurutnya, sebatas selesai dari sisi kepastian hukum.
Menurutnya, Anies, sebagaimana pandangan banyak kalangan, menilai kemanfaatan hukum apalagi keadilan hukum masih jauh dari kenyataan.
"Dan ketika Anies juga mengangkat narasi tentang Indonesia sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum, maka "selesai"-nya kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan dapat ditafsirkan sebagai penyelesaian kasus hukum yang lebih dikendalikan oleh kekuasaan. Bukan oleh hasrat luhur untuk mencapai keadilan,"
kata Indra Giri Amriel.
Dia melanjutkan, yang menjadi pertanyaan adalah, jika Anies terpilih menjadi presiden dan ingin menginvestigasi ulang ketiga kasus tersebut, adakah pejabat di Polri yang sanggup melakukannya.
"Bayangkan Presiden Anies berkata ke Kapolri, 'Saya berikan anda waktu seratus hari. Lewat dari itu, anda saya copot."
ujar Indra Giri Amriel.
Dia pun memaparkan sejumlah hal yakni adanya potensi polisi menutupi kesalahan sesama kolega dan kabar adanya faksi-faksi di Polri yang bisa menjadi batu sandungan Kapolri yang dipilih Anies buat menuntaskan tiga kasus tersebut.
"Ketiga, dalam praktik di sekian banyak negara maju, ketika terjadi misconduct, lembaga kepolisian dihukum dengan keharusan membayar police misconduct compensation," ujarnya.
Alhasil, jika Anies terpilih menjadi presiden dan hasil dari investigasi ulang atas kasus-kasus tersebut menyimpulkan telah terjadi police misconduct, maka ganti rugi yang harus dibayar oleh Polri begitu besar.
"Berangkat dari tiga situasi tersebut, tampaknya 'mencari Kapolri' akan menjadi agenda yang lebih berat bagi Presiden Anies ketimbang 'memberikan tugas kepada Kapolri'," ujarnya.
Meski begitu, dia mengatakan berat bukan berarti mustahil. Menurutnya, keyakinan bahwa jumlah polisi yang baik lebih banyak daripada polisi yang tidak harus tetap ada.
"Jadi, asumsikan nantinya pasti ada jenderal yang cakap dan bernyali kuat untuk melaksanakan perintah presiden terkait tiga kasus tadi," katanya.