Alami Kerugian, Pengusaha Hotel dan Restoran Minta Stimulus ke Pemerintah
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Deddy Pranowo Eryono menyebut, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, membuat hotel dan restoran di daerahnya semakin terpuruk. Hal ini membuat sebagian besar dari mereka alami kerugian.
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Deddy Pranowo Eryono menyebut, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, membuat hotel dan restoran di daerahnya semakin terpuruk. Hal ini membuat sebagian besar dari mereka alami kerugian.
"Di Januari awal ini dengan adanya pembatasan ini semakin tergerus. Kita supplier saja belum terbayar," kata dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (5/2).
-
Kapan Hotel Du Pavillon diresmikan? Peresmian hotel baru Du Pavillon itu diwarnai dengan pertunjukkan sebuah grup opera dari Italia dan dihadiri para pejabat tinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
-
Kapan Hotel Cheribon didirikan? Tidak banyak sumber yang menjelaskan tentang hotel ini. Namun dari sejumlah catatan sejarah, bangunan ini didirikan pada awal 1900-an, di mana tata kota di sana sudah beranjak modern dari yang sebelumnya hanya memiliki arsitektur bergaya keraton.
-
Kapan Siantar Hotel diresmikan? Mengutip dari beberapa sumber, Siantar Hotel dulunya diresmikan pada 1 Februari 1915.
-
Di mana Hotel Cheribon berada? Kini bekas bangunan bak itu diduga sudah menjadi bangunan Bank CCB yang berada di Jalan Yos Sudarso, Cangkol, Cirebon, nomor 14. Bangunan hotel diduga berada di samping bank tersebut, dengan kondisi yang tidak terpelihara.
-
Apa ciri khas dari 'Downtown Hotel'? Berbeda dengan residential hotel yang jauh dari keramaian, downtown hotel justru berada di pusat keramaian. Biasanya, jenis hotel ini berada di kawasan perdagangan dan perbelanjaan.
-
Bagaimana Hotel Du Pavillon menjadi tempat singgah para tamu penting? Pada awal berdirinya, hotel itu menjadi tempat singgah para tamu negara dan para pelancong Eropa yang singgah di Kota Semarang.
Dia mengatakan, seluruh bahan baku yang sudah dipesan oleh hotel dan resto tidak bisa dikembalikan ke supplier. Sehingga mau tidak mau, harus disimpan di gudang atau lemari pendingin mereka. "Ini kan tambah kerugian mereka, lalu di jual lagi dilempar dengan harga yang murah asal tidak busuk. Ini kan menjadikan beban juga," jelas dia.
Dengan adanya pembatasan ini, sebagian pengusaha memilih untuk menutup rapat-rapat atau tidak beroprasi. Sementara di satu sisi argo perusahaan terus berjalan. Mulai dari tagihan listrik, tagihan bunga bank, dan BPJS yang harus dibayarkan. Sementara income perusahaan sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
"Dan menutup atau mengcover itu semua. Dana dari siapa kita?," keluhnya.
Sebab itu, PHRI meminta solusi dari pemerintah. Setidaknya bisa melanjutkan kembali stimulus terutama untuk diskon listrik dari PLN. Sebab beban listrik itu, diakuinya sangat luar biasa. "Dulu pernah, pandemi pertama. Inginnya ada lagi, kita tidak munafik bahwa dulu kita sudah menerima, iya memang pernah terima," katanya.
Dia menyadari memang kondisi itulah yang jadi kendala PHRI DIY selama ini, dan mungkin dirasakan di sleuruh Indonesia, khususnya Jawa-Bali yang ada pembatasan PPKM ini. "Jadi kami memang sangat butuhkan solusi dari pemerintah, terserah apapun solusinya, yang betul-betul bisa kami bertahan. Karena sekarang ini bertambah lagi orang yang dirumahkan, di PHK, bahkan dirumahkan tanpa gaji pun ada," jelas dia.
Di sisi lain, dia melanjutkan, kebijakan yang memberatkan pengusaha yakni adanya kewajiban rapid tes antigen. Seluruh masyarakat yang ingin melakukan bepergian diwajibkan untuk melakukan tes tersebut.
"Ini jadi bikin wisatawan bingung, kan orang berwisata sudah tentukan bujet, planingnya itu sudah lama. Lalu besok rapid sekian, tiba-tiba ganti antigen seorang 250 kali berapa orang, jadi mereka cancel, ini yang masalah tahun baru," kata dia.
Padahal PHRI sendiri sudah mengatur strategi untuk wisatawan yang masuk, sebelum Desember 2020. Namun tiba-tiba ada kebijakan yang mendadak. "Ini kita menyayangkan kebijakan pemerintah yang mendadak dan tidak berkoordinasi dengan pelaku usaha, asosiasi," jelas dia.
Tolak Perpanjangan PPKM
Deddy menjelaskan, pihaknya juga menolak adanya perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali. Sebab, kebijakan itu dinilai akan semakin merugikan pelaku usaha hotel dan restoran.
PHRI sebetulnya tidak mempersoalkan jika kebijakan PPKM harus kembali diperpanjang. Hanya saja, dia meminta bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas semua beban kerugian yang dialami seluruh sektor hotel dan restoran.
"Kita tidak apa-apa diperpanjang mau berapa bulan, di lockdown sekalian, tapi tolong kita juga diperhatikan, ada kompensasi. Ada sentuhan gitu lah, jangan cuek. Kalau ini harus di lockdown kasih kompensasi perhatian, karyawan kita banyak. Apakah mampu pemerintah? kalau mampu ayo," tegasnya.
Dia pun sangat senang, jika memang pemerintah ingin membantu memikirkan nasib karyawan dan membiayai beban listrik hotel dan restoran yang dimiliki PHRI. "Tagihan kita kasih pemerintah, kita juga tidak mau ambil untung yang penting kita bisa bertahan," jelas dia.
Deddy memahami kondisi keuangan anggota PHRI dalam kondisi memprihatinkan. Bahkan sebagian hanya bisa bertahan sampai tiga bulan ke depan saja. Jika, pemerintah kembali melakukan perpanjangan, maka tidak menutup kemungkinan lebih banyak yang akan gulung tikar.
"Kalau diperpanjang ini akan semakin menambah jumlah yang mati yang 50, kemarin ada PPKM pertama udah 30. Per hari ini sudah 50. Ini dilematis. 50 itu banyak hotel non bintang, dan resto kecil, ada memang beberapa hotel bintang, tapi tidak beberapa. dominan hotel non bintang," bebernya.
(mdk/azz)