Bebas Visa Bukan Solusi Tingkatkan Kunjungan Turis Asing ke Indonesia, Ini Alasannya
Sudah seharusnya Indonesia adaptif dalam melihat pergeseran perilaku wisatawan global.
Sudah seharusnya Indonesia adaptif dalam melihat pergeseran perilaku wisatawan global.
- Ada Indikasi Jual Beli Visa, Timwas Pelaksana Haji Sepakat Bentuk Pansus Angket
- Imigrasi Ancam Deportasi 103 WNA di Bali Terlibat Penipuan Online, Ini Asal Negaranya
- 34 WNI Berhaji Tanpa Visa Resmi, Sudah Bebas dan Dipulangkan ke Indonesia
- Akhirnya Terungkap, Ini Alasan Korsel Belum Terapkan Bebas Visa untuk Wisatawan Indonesia
Bebas Visa Bukan Solusi Tingkatkan Kunjungan Turis Asing ke Indonesia, Ini Alasannya
Bebas Visa Bukan Solusi Tingkatkan Kunjungan Turis Asing ke Indonesia
Rencana Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno memberikan bebas visa bagi 20 negara dinilai tidak tepat.
Jika berlandaskan untuk mendongkrak ekonomi, hal yang perlu diperhatikan justru seberapa lama dan seberapa banyak uang yang dihabiskan wisatawan mancanegara ketika berlibur di Indonesia.
"Bebas visa 20 negara itu kesalahan fatal kalau menurut saya,"
ujar Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari, kepada merdeka.com, Rabu (27/12).
Azhar mengatakan, jika pemberian bebas visa karena kontribusi negara tersebut terhadap pertumbuhan pariwisata nasional, hal itu tidak sepatutnya menjadi bahan pertimbangan.
Beberapa negara yang diusulkan bebas visa ke Indonesia antara lain Australia, China, India, Korea Selatan, Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Jepang, Rusia, Taiwan, Selandia Baru, Italia, Spanyol, UEA, Arab Saudi, Qatar, Dan beberapa negara Timur Tengah lainnya.
Dia juga mengkritik keras pejabat pelaksana di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dinilai memberikan angka palsu terhadap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno.
"Berapa banyak kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB. Pak Menteri bilang bahwa kita (Kemenparekraf) katanya sektor yang tertinggi (kontribusi terhadap PDB) 15-20 persen, itu enggak sampai. Hitungan saya bahkan cuma 5 persen, anak buahnya yang salah itu,"
beber Azril.
merdeka.com
Dia menuturkan, sudah seharusnya Indonesia adaptif dalam melihat pergeseran perilaku wisatawan global.
Azril menekankan agar sektor pariwisata tidak lagi dilihat sebagai ilmu humaniora, melainkan ilmu eksak.
Artinya dalam mengambil atau merancang kebijakan berdasarkan perhitungan terukur.
Satu hal lagi yang sebaiknya ditekankan oleh pemerintah untuk menjadikan pariwisata Indonesia semakin berkualitas adalah jumlah uang yang dimiliki calon wisatawan.
Ilustrasinya, jika dalam sehari wisatawan mancanegara menghabiskan USD1.000 atau sekitar Rp15 juta, maka uang yang dimiliki harus sesuai dengan durasi wisatawan mancanegara tersebut berlibur di Indonesia.
Rencana Gubernur Bali, Wayan Koster yang akan mewajibkan wisatawan mancanegara membayar Rp150.000 pun dinilai bukan menjawab tantangan wisata Bali yang mulai menurun.
"Rp150.000 bagi turis mancanegara itu kecil sekali. Akhirnya apa, mereka ke sini banyak yang backpacker," ucap Azril.
Sebagai informasi tambahan, Wayan Koster berencana akan membebani wisatawan mancanegara biaya Rp150.000 atau sekitar USD10, yang hendak masuk ke Bali.
"Target kita itu sekarang adalah bukan lagi pada jumlah wisatawannya tapi lebih kepada length of time. Jadi lebih lama dia di Indonesianya dan spending money-nya jumlah uang yang dibelanjakan. Jadi biar dia sedikit tapi lebih lama,"
kata Azril.
Strategi length of time, menurut Azril, bahkan menjadi tujuan Thailand dalam sektor pariwisata mereka.
Selain itu juga, Azril mengakui pengemasan pariwisata Thailand sangat menarik. Wajar saja, ucapnya, jika pariwisata Thailand mampu mengalahkan pariwisata Indonesia.
"Thailand itu memang bagus sekali pengemasannya, Indonesia juga punya potensi yang sama," pungkasnya.