Danareksa: Ekonomi RI bisa tumbuh 5,20 persen di 2019 didorong ekspor & investasi
Head of Economic Research Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution mengatakan, angka pertumbuhan tersebut masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 di level 5,07 persen. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada semester I/2018 sebesar 5,17 persen.
PT Danareksa (Persero) memprediksi ekonomi Indonesia pada akhir tahun ini akan tumbuh antara 5,20-5,30 persen, tahun 2019 sebesar 5,10-5,20 persen, dan tahun 2020 antara 5,30-5,40 persen. Salah satu motor pertumbuhan ekonomi akan didorong konsumsi rumah tangga, peningkatan investasi, dan ekspor.
Head of Economic Research Danareksa Research Institute, Damhuri Nasution mengatakan, angka pertumbuhan tersebut masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 di level 5,07 persen. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi pada semester I/2018 sebesar 5,17 persen ditopang peningkatan investasi dan ekspor.
-
Apa yang menjadi catatan BPS tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya? Jika dibandingkan dengan kuartal II-2022, ekonomi RI mengalami perlambatan. Sebab tahun lalu di periode yang sama, ekonomi mampu tumbuh 5,46 persen (yoy).
-
Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2023? “Pertumbuhan ekonomi kita secara kuartal (q-to-q) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan triwulan II selalu lebih tinggi dibandingkan di triwulan I,” terang Edy.
-
Apa yang dilakukan Kemenkumham untuk meningkatkan perekonomian Indonesia? Menurut Yasonna, dengan diselenggarakannya Temu Bisnis Tahap VI, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian Indonesia.
-
Bagaimana strategi pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi? Oleh karena itu, pendekatan pembangunan perlu diubah dari reformatif menjadi transformatif yang setidaknya mencakup pembangunan infrastruktur baik soft maupun hard, sumber daya manusia, riset, inovasi, reformasi regulasi, tata kelola data dan pengamanannya serta peningkatan investasi dan sumber pembiayaan.
-
Kapan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17 persen secara tahunan? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
"Beberapa pertimbangan pertumbuhan ekonomi tahun ini dan 2019 di antaranya ekspor dan investasi yang diproyeksi masih tumbuh bagus, sejalan dengan ekspansi ekonomi dunia. Konsumsi rumah tangga pun diproyeksi tumbuh relatif stabil atau sedikit membaik," katanya pada acara Economic & Market Outlook, dengan tema Perkembangan dan Prospek Makro Ekonomi serta Pasar Modal 2018 – 2019 di Gedung Danareksa.
Damhuri mengatakan, investasi diperkirakan tumbuh baik sejalan dengan pembangunan infrastruktur, peningkatan rating, dan perbaikan iklim investasi. Adapun konsumsi pemerintah juga diproyeksikan relatif stabil seiring dengan upaya menyehatkan APBN.
Terkait dengan Rupiah, Damhuri menegaskan bahwa nilai tukar Rupiah saat ini masih mungkin bergejolak akibat normalisasi kebijakan moneter dan ekspansi fiskal Amerika Serikat (AS), kekhawatiran atas perang dagang AS-China, dan kenaikan harga minyak dunia karena geopolitik, yang dapat memperlebar Current Account Deficit (CAD).
Suku bunga acuan Bank Indonesia, BI-7-Day Repo Rate, pun dinilai berpotensi kembali dinaikkan menjadi 5,75 - 6 persen pada tahun ini dan 5,5 – 6 persen pada tahun depan. "Nilai tukar Rupiah masih mengalami tekanan di bawah nilai fundamentalnya karena faktor eksternal, tapi tekanan tersebut akan mulai mereda pada tahun 2019 dan 2020," tegas Damhuri.
Menurut dia, kebijakan moneter global masih cenderung ketat pada tahun depan dan mulai longgar pada tahun 2020, karena diperkirakan tekanan inflasi mereda dan pertumbuhan ekonomi mengalami moderasi. Dengan kenaikan suku bunga acuan AS, Fed Funds Rate (FFR) dua kali tahun 2019 yang berarti tidak seagresif tahun 2018, maka volatilitas pasar keuangan akan sedikit mereda.
Damhuri juga menilai upaya yang sudah dilakukan BI tepat dalam meredam depresiasi Rupiah, di antaranya menaikkan BI 7-Day (sudah 125 basis poin) yang diikuti kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN), sehingga investasi di SUN mulai menarik kembali. Selain itu, BI juga melakukan dual intervention demi menjaga volatilitas rupiah dan likuiditas dan sekaligus stabilisasi pasar SUN. Sehingga Danareksa perkirakan tekanan terhadap Rupiah dapat mereda, untuk akhir tahun 2018.
"Rupiah per USD di kisaran Rp 14.400 dan di tahun 2019 sekitar Rp. 14.300 per USD," katanya.
Hanya saja, katanya, tekanan yang perlu diantisipasi ialah risiko eksternal perang dagang AS-China, perang mata uang, geopolitik yang kian memanas, ekspansi fiskal AS yang pro-siklikal, serta normalisasi kebijakan moneter bank sentral global.
"Untuk domestik, kepemilikan asing yang masih tinggi pada obligasi pemerintah tetap menjadi risiko. Kemarau panjang juga berpotensi menyebabkan kenaikan tekanan inflasi pangan. Terakhir Pilpres dan Pileg yang sejuk dan damai tentu menjadi harapan pelaku pasar, baik domestik maupun asing."
Sementara itu, Danareksa Sekuritas juga memprediksi beberapa sektor potensial yang bisa menjadi pilihan investor. Head of Research and Strategy PT Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto mengatakan, pada tahun politik 2019 dengan dua agenda yakni Pilpres dan Pileg, pola kampanye saat ini tidak polarisasi sebagaimana pemilihan Gubernur Jakarta.
Menurut dia, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga selalu punya arah pergerakan di setiap pesta demokrasi. Hal itu mengingat pemilu yang lancar dan damai sangat penting dalam membangun kepercayaan investor. "Pemerintah juga akan memprioritaskan kebijakan populis, terutama meningkatkan konsumsi, termasuk belanja sosial dan subsidi."
Helmy mengungkapkan beberapa sektor yang menjadi perhatian Danareksa pada semester 2/2018 dan tahun 2019 di antaranya otomotif, perbankan, tambang batu bara, konsumer, perkebunan, ritel, konstruksi dan telekomunikasi.
Pertumbuhan sektor-sektor tersebut juga akan dipengaruhi sentimen ekonomi global dan dalam negeri. Khusus global, misalnya, sektor tambang batu bara akan mendapat sentimen positif seiring dengan naiknya permintaan komoditas ini dari China dan Korea Selatan, dan harga batu bara pun diprediksi USD 88 per ton pada tahun ini.
Adapun perbankan, Danareksa Sekuritas memprediksi penyaluran kredit pada tahun 2019 bisa tumbuh 12,8 persen dengan katalis positif subsidi suku bunga tahun 2019 yang dianggarkan sebesar Rp16,6 triliun. Pada sektor konsumer, Pilpres dan Pileg 2019 akan mendorong belanja masyarakat. "Kami memprediksi pada tahun depan, pendapatan sektor ini (konsumer) tumbuh 7,6 persen year on year (yoy), dengan kenaikan pertumbuhan laba 8,7 persen (yoy).
Di sisi lain, sektor konstruksi akan mendapat sentimen positif. Dalam APBN, pemerintah mengalokasikan bujet infrastruktur mencapai Rp 420,5 triliun, lebih tinggi dari alokasi 2018 sebesar Rp 410,7 triliun. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melanjutkan proyek infrastruktur, kendati fokus nanti pada human capital.
"Selain itu, khusus sektor otomotif, kami netral. Kompetisi yang semakin ketat, banyaknya model mobil baru yang dirilis, membaiknya harga komoditas dan pengembangan infrastruktur akan mendorong pemulihan penjualan mobil komersial."
IHSG pada tahun ini akan berada di kisaran 6,275 – 6,553, sedangkan indeks bisa mencapai level 7,000 pada akhir tahun 2019, jika kestabilan pertumbuhan ekonomi dan Rupiah bisa terus terjaga.
Baca juga:
Pertumbuhan ekonomi Bali ditargetkan tembus 6,54 persen
Menteri Sri Mulyani beberkan indikator suatu negara alami krisis ekonomi
Sri Mulyani dinilai realistis soal pertumbuhan ekonomi 2018 tak capai target
Sri Mulyani prediksi ekonomi 2018 hanya tumbuh 5,21 persen
Komisi XI setujui asumsi makro APBN 2019, salah satunya nilai tukar Rp 14.400 per USD
Menteri Sri Mulyani sebut pertumbuhan 2019 berpeluang hanya 5,15 persen