Ekonomi Thailand di Ambang Krisis, Ekspor Anjlok dan Manufaktur Tak Kompetitif
Negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara ini tumbuh 2,3 persen pada periode April-Juni atau kuartal kedua 2024.
Negara Thailand dikabarkan tengah berada di ambang krisis. Ini terjadi karena adanya penurunan ekspor serta manufaktur yang tidak kompetitif. Kabar mengenai penurunan ekonomi itu diungkapkan oleh menteri keuangan sementara Thailand, Pichai Chunhavajira.
Mengutip Channel News Asia,) Pichai Chunhavajira mengungkapkan ekspor menyumbang 70 persen perekonomian Thailand tetapi sektor manufaktur tidak dapat memenuhi permintaan pasar.
"Kita tidak bisa bersaing. Kita tidak bisa beradaptasi pada waktunya," ungkap dia dalam sebuah seminar bisnis pada Rabu (21/8).
Negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara ini tumbuh 2,3 persen pada periode April-Juni atau kuartal kedua 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut juga menandai peningkatan dari pertumbuhan ekonomi 1,6 persen pada kuartal sebelumnya.
Namun pertumbuhan ekonomi kuartal-ke-kuartal Thailand melambat menjadi 0,8 persen pada kuartal kedua dari ekspansi 1,2 persen pada tiga bulan sebelumnya.
Kementerian Keuangan negara itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Thailand akan mencapai sekitar 2,7 persen di sisa tahun 2024, setelah pertumbuhan tahun lalu sebesar 1,9 persen, tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Adapun bank sentral Thailand diperkirakan akan mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah pada level tertinggi dalam lebih dari satu dekade sebesar 2,50 persen untuk pertemuan kelima berturut-turut pada hari Rabu (21/8).
Sementara itu, perekonomian negara tetangga Indonesia lainnya di Asia Tenggara (ASEAN), yakni Singapura tumbuh sebesar 2,9% pada periode April-Juni atau kuartal kedua 2024.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Sinyal pelemahan daya beli masyarakat semakin menguat. Pelemahan daya beli ini paling terasa di segmen ekonomi kelas menengah. Tren pelemahan daya beli masyarakat tercatat dalam laporan inflasi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatatkan deflasi pada Juni 2024 lalu.
Data BPS mencatat, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,08 persen secara bulanan atau Month To Month (mtm) atau dapat dikatakan menurun ke angka 2,51 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan Mei sebesar 2,84 persen (yoy).
Deflasi merupakan kondisi harga barang atau jasa mengalami penurunan dalam periode tertentu. Di sisi lain, murahnya harga barang atau jasa ini menjadi pertanda bahwa kondisi ekonomi suatu negara sedang tidak stabil.
Lantas apa penyebab tren penurunan daya beli kelas menengah di Indonesia?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengutarakan bahwa pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah karena kebijakan struktural pemerintah.
Pertama, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen membuat kelas menengah harus membayar barang lebih mahal.
"Apalagi tarif PPN jadi 12 persen tahun depan, dikhawatirkan banyak yang terpukul termasuk pelaku ritel," ujar Bhima saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Kamis (15/8).
Kedua, pelemahan daya beli masyarakat menengah juga dipicu oleh terus menurunnya kinerja industri manufaktur. Pelemahan ini tercermin dari indeks PMI Manufaktur pun turun ke level 49,3 atau berada di zona kontraksi untuk periode Juli 2024.
Dia menyebut, pelemahan kinerja industri manufaktur ini akibat kegagalan pemerintah dalam membendung serbuan barang impor ilegal yang dijual lebih murah. Akibatnya, industri manufaktur domestik menjadi kalah bersaing di pasaran.
"Akibatnya serapan tenaga kerja sektor formal tertekan, PHK massal berlanjut," keras dia.