Enam Alasan Buruh Tolak Bayar Iuran Tapera, Salah Satunya Tak Ada Kepastian Beli Rumah
Kedua, KSPI menilai pemerintah lepas tanggung jawab untuk mengatasi persoalan perumahan.
Pertama peserta Tapera memilki ketidakpastian memiliki rumah meski gaji telah dipotong sebesar 2,5 persen.
Enam Alasan Buruh Tolak Bayar Iuran Tapera, Salah Satunya Tak Ada Kepastian Beli Rumah
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kebijakan pemotongan gaji pekerja swasta hingga aparatur sipil negara (ASN/PNS) untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Pemotongan gaji diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merevisi PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
- Aturan Baru Sedang Disiapkan: Beli Rumah Rp2 Miliar Bebas Pajak Mulai Bulan Depan
- Hitung-hitungan BP Tapera: Bantu Masyarakat Bawah Beli Rumah Dibutuhkan 150 Penabung Mulia
- Kementerian PUPR: Tapera untuk Bantu MBR dan Warga Kurang Mampu Miliki Rumah
- Ternyata, Ini Alasan Kenapa Pekerja yang Punya Rumah Tetap Harus Bayar Iuran Tapera
"KSPI mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera)," kata Presiden KSPI Said Iqbal," kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (1/6).
Dia menyebut, setidaknya ada 6 alasan mengapa Tapera harus dicabut. Pertama peserta Tapera memilki ketidakpastian memiliki rumah meski gaji telah dipotong sebesar 2,5 persen dan perusahaan membayar iuran 0,5 persen per bulan.
"Dengan potongan iuran sebesar 3 persen , dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," ujarnya.
Kedua, KSPI menilai pemerintah lepas tanggung jawab untuk mengatasi persoalan
backlog perumahan. Dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
Program Tapera memfokuskan iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera.
"Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan," ucapnya.
Ketiga, membebani biaya hidup buruh di tengah tren penurunan daya beli pekerja akibat upah minimum yang sangat rendah imbas penerapan Undang-Undang Cipta Kerja. KSPI menilai potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
KSPI mencatat, saat ini potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12 persen dari upah yang diterima. Antara lain potongan Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen.
"Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," tegas Said Iqbal.
Keempat, KSPI menilai program Tapera rawan untuk dikorupsi. Said menyebut, dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan.
Hal ini karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance).
Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah.
Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Sementara model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.
Kelima, program Tapera dinilai memaksakan pekerja dengan minimum gaji sebesar upah minimum. Padahal, pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.
"Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan. Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial," ujarnya.
Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera bagi karyawan swasta. Misalnya, untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) sangat tinggi
"Kalau untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK," urainya
Atas dasar enam alasan tersebut, KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera.
Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM).
"Selain aksi pada hari Kamis, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung," ujar Said Iqbal.