Hilirisasi Masih Banyak Kekurangan, Menteri Bahlil: Kayak Bayi Baru 5 Tahun, Jatuh Bangun Biasa
Program hilirisasi baru berkalan 5 tahun terakhir.
Program hilirisasi baru berkalan 5 tahun terakhir.
Hilirisasi Masih Banyak Kekurangan, Menteri Bahlil: Kayak Bayi Baru 5 Tahun, Jatuh Bangun Biasa
Hilirisasi Kayak Bayi Baru 5 Tahun, Jatuh Bangun Biasa
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyadari masih ada beberapa hal yang perlu dibenahi dari peraturan hilirisasi.
Namun, dia menegaskan hilirisasi tidak boleh dihentikan. Mengingat program hilirisasi baru berkalan 5 tahun terakhir.
- Menteri Bahlil: Kalau Ada yang Bilang Hilirisasi Keliru, Itu Otaknya yang Keliru
- Anies Baswedan Bicara Soal Program Kartu Prakerja, Bakal Dilanjutkan?
- Ngantor di Desa Lereng Gunung Ijen, Bupati Ipuk Gelontorkan Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat
- Ini Sederet Program Unggulan Wali Kota Bontang Basri Rase
"Masih ada kekurangan dalam hilirisasi, setuju. Ini baru berapa tahun kok kita bangun, baru 4-5 tahun dalam rangka mewujudkan undang-undang. Yang namanya kita kayak bayi baru 5 tahun, jatuh bangun itu biasalah," kata Bahlil di Jakarta, Selasa (12/12).
Istilah ini disebut oleh pemerintah sebagai cara paling ampuh mewujudkan Indonesia maju.
Alasannya, menghindari kegiatan ekspor barang mentah (raw material) yang dinilai kurang memberikan keuntungan.
Sementara itu, CEO Bisa Ekspor Julio mengatakan generasi muda tidak sepatutnya alergi dengan istilah hilirisasi.
Bahkan, dia menyebut Generasi Z dan milenial bisa mengantongi minimal Rp200 juta per bulan jika benar-benar serius menggeluti hilirisasi.
"Sayangnya banyak anak muda yang berpikir hilirisasi itu proyek besar pemerintah, atau hanya bisa dilakukan oleh elite, nilainya juga harus triliunan. Padahal, hilirisasi konsepnya sangat sederhana dan bagian dari keseharian yang kita hadapi,"
kata Julio.
Pemuda 28 tahun itu kemudian bercerita tentang prosesnya melakukan hilirisasi dari serabut dan batok kelapa yang tidak banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.Julio memulai aktivitas bisnisnya dari menawarkan arang yang dibuat sendiri dari batok kelapa kepada tukang sate.
Lambat laun, dia menyadari menjual arang ternyata tidak memberikan keuntungan besar.
Setelah berselancar di internet untuk mencari nilai tambah dari batok kelapa, Julio memberanikan diri untuk membuat briket.
Dia pun memanfaatkan platform media sosial, seperti Facebook hingga LinkedIn, untuk memasarkan produk buatannya kepada perusahaan asing.
"Dari sana aku berkembang sampai punya pabrik. Lalu aku punya pemikiran kalau ini (hilirisasi) gak boleh diadopsi aku sendiri. Akhirnya aku melakukan edukasi di masyarakat, terus mendirikan komunitas Bisa Ekspor," ujar Julio.
Kini, Bisa Ekspor setiap bulannya mampu mengekspor 2.000 kontainer dengan nilai mencapai Rp400 miliar per bulan.
"Sudah ada 4.000 orang yang melakukan ekspor dari keseluruhan anggota. Success rate-nya 0,3 persen memang masih kecil, karena masih ada 99,7 persen anggota yang belum ekspor. Tapi, dari 1 orang yang melakukan ekspor, minimal dia bisa dapat Rp200 juta per bulan," beber Julio.
Selain memberikan nilai tambah secara ekonomis, hilirisasi juga bisa memperkuat daya tahan sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, Julio mendorong pemerintah untuk meramu kebijakan hilirasasi yang ramah bagi masyarakat, khususnya pelaku UMKM.
"Paradigma terjajah itu masih melekat di daerah dan anak muda, sehingga mereka hanya kepikiran untuk tanam dan jual, karena memang menjual barang mentah lebih mudah daripada barang jadi. Dengan hilirisasi, misal ada orang asing masuk, mereka bisa menolak (ekspor barang mentah), mereka bisa lebih resisten," tutur Julio.