Industri Air Minum Kemasan Berpotensi Rugi Rp36 T Bila Label BPA Free Berlaku
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berencana melakukan perubahan kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Aturan tersebut salah satunya akan mewajibkan galon guna ulang mencantumkan labelisasi bebas Bisfenol-A (BPA free). BPA ini dinilai berbahaya bagi kesehatan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berencana melakukan perubahan kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Aturan tersebut salah satunya akan mewajibkan galon guna ulang mencantumkan labelisasi bebas Bisfenol-A (BPA free). BPA ini dinilai berbahaya bagi kesehatan.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), Rachmat Hidayat mengatakan, revisi aturan itu akan membuat industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terutama galon guna ulang merugi sebesar Rp36 triliun per tahun.
-
Dimana BPOM mendorong industri obat dan makanan untuk memproduksi produk ramah lingkungan? Selain menyelenggarakan forum dialog, dalam rangkaian kegiatan puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini, BPOM memberikan apresiasi kepada industri obat dan makanan yang proaktif menerapkan produksi berkelanjutan berwawasan lingkungan.
-
Apa yang ditemukan oleh BPOM Semarang di makanan takjil? Balai Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Semarang menemukan sejumlah makanan takjil berupa mie basah, bakso, dua kue moho, dan satu krupuk mengandung formalin dan rhodamin B atau pewarna tekstil yang berbahaya bagi tubuh.
-
Kapan BPOM Semarang melakukan intensifikasi makanan takjil? Sekadar untuk diketahui, intensifikasi makanan takjil oleh BPOM di Semarang ini sudah masif dilakukan di sejumpah kabupaten/kota sejak 4 Maret 2024 lalu.
-
Apa saja zat pewarna makanan yang sudah dilarang oleh Badan POM? Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Indonesia telah melarang sejumlah zat berbahaya dalam makanan, seperti rhodamin B dan metanil kuning.
-
Siapa saja yang berperan dalam pemborosan makanan di Indonesia? Setiap tahun, sepertiga dari produksi pangan dunia harus terbuang, dan rumah tangga menjadi penyumbang terbesar dari pemborosan tersebut.
-
Kapan penerapan cukai minuman berpemanis di Indonesia direncanakan? Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah memastikan akan segera mengesahkan peraturan terkait cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada 2024 ini.
"Mungkin industri ini sebagian besar akan tutup. Tidak itu saja, jika semua produsen mengubah produknya menjadi galon sekali pakai, ini akan menimbulkan masalah lingkungan hidup," ujarnya, Jakarta, Jumat (3/12).
Rachmat mengatakan, industri AMDK keberatan terhadap rencana perubahan peraturan BPOM terkait label pangan olahan ini. Menurutnya, jika mau melakukan pelabelan, BPOM harus melakukannya untuk semua produk pangan.
"Jadi, BPOM harus membuat kebijakan atas dasar keadilan dan kesetaraan, harus mengatur semua pangan olahan dan tidak hanya AMDK," jelasnya.
Pakar Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, perubahan peraturan kebijakan label pangan olahan yang dilakukan BPOM harus ada setelah ada peraturan perundang-undangannya. Jadi, menurutnya, kebijakan BPOM ini nantinya tidak bisa dijalankan tanpa peraturan perundang-undangannya.
"Peraturan Perundangan itu harus mengikuti apa yang disampaikan di UU No. 12 tahun 2011 yang diperbaharui di UU No. 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan. Nah, di situlah kebijakan baru bisa dilaksanakan," jelasnya.
Menurut Pambagio, kebijakan BPOM itu tidak boleh diskriminatif. Artinya, tidak bisa kebijakan itu digunakan hanya untuk satu sisi. Dalam hal ini, Pambagio menegaskan BPOM tidak boleh membuat kebijakan yang dikhususkan untuk produk tertentu saja, yang dalam hal ini galon guna ulang.
"BPOM harus mengatur semua kemasan pangan mulai kaleng, kartin, galon, botol, itu semua diatur. Tidak boleh sebelah-sebelah, karena itu menjadi diskriminatif," paparnya.
Kontribusi Pangan dan Minuman Besar Terhadap Ekonomi Nasional
Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo mengatakan, selain aspek kesehatan, perubahan peraturan BPOM soal label pangan olahan harus juga mempertimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan.
"Tentunya dalam hal ini kita perlu menjaga daya saing melalui menjaga iklim usaha yang kondusif bagi industri," ujarnya.
Dia menuturkan, kontribusi industri pangan dan minuman sangat besar terhadap perekonomian nasional. Pada triwulan III 2021 misalnya, kontribusinya terhadap PDB sebesar 3,49 persen yoy, dan kontribusi terhadap PDB industri non migas mencapai 38,91 persen (yoy).
Sementara, ekspor makanan minuman sampai dengan September 2021 mencapai USD32,51 miliar dan impornya USD10,13 miliar. "Saya kira investasi yang ada ini perlu dijaga bisa tumbuh dan berkembang untuk tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang kita harapkan," paparnya.
Deputi Pangan Kementerian Bidang Perekonomian, Muhammad Saifulloh mengatakan, perubahan peraturan BPOM soal label pangan olahan ini harus memperhatikan misi Presiden Jokowi terkait struktur ekonomi yang produktif dan mandiri, serta berdaya saing serta pembangunan yang merata dan berkeadilan.
Selain itu juga dua dari tujuh agenda pembangunan, yaitu memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, serta mengambangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan.
Oleh karenanya, menurut Saifulloh, sebelum mengeksekusi perubahan peraturan terkait pelabelan pangan olahan itu, BPOM harus menyampaikan terlebih dulu presentasinya kepada publik semua pro kontranya. "Saya pikir tidak bisa serta merta Badan POM secara sendiri mengeksekusi regulasi itu," katanya.
(mdk/bim)