Jalan Panjang Larangan Ekspor Benih Lobster, dari Polemik Hingga Kasus Korupsi
Pemerintah resmi melarang ekspor benih bening lobster (BBL). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Pemerintah resmi melarang ekspor benih bening lobster (BBL). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Permen ini merupakan salah satu wujud dari janji Sakti Wahyu Trenggono usai dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Desember 2020 lalu. Menurutnya, BBL sebagai salah satu kekayaan laut Indonesia harus untuk pembudidayaan di wilayah NKRI.
-
Lobster Biru apa yang ditemukan oleh nelayan ini? Dalam pengakuannya, Haass memperkirakan bahwa lobster tersebut berusia sekitar 10 tahun. Ia juga mengatakan, "Ini penemuan yang langka. Saya pasti ingin melepaskannya kembali ke laut, dan Anda dapat melihat di salah satu video yang ditangkap oleh nelayan lain sebelumnya dan mencetak ekornya dua kali, jadi dia tidak bisa disimpan.”
-
Bagaimana nelayan ini menunjukkan kepedulian terhadap lobster biru yang langka? Dalam pengakuannya, Haass memperkirakan bahwa lobster tersebut berusia sekitar 10 tahun. Ia juga mengatakan, "Ini penemuan yang langka. Saya pasti ingin melepaskannya kembali ke laut, dan Anda dapat melihat di salah satu video yang ditangkap oleh nelayan lain sebelumnya dan mencetak ekornya dua kali, jadi dia tidak bisa disimpan.”
-
Bagaimana cara membuat lobster pedas gurih? Cuci lobster sampai bersih, belah bagian ekor ke arah punggung. Setelah itu tumis bumbu halus sampai harum. Tuangkan santan encer, aduk sampai merata. Masukkan daun salam, lengkuas, serta lobster, tunggu sampai bumbu meresap. Angkat lobsternya saja dan biarkan sisa bumbu di wajan. Kemudian bakar lobster di atas bara sambil terus diolesi bumbu yang tersisa tadi sampai kering. Angkat dan sajikan.
-
Dimana habitat lobster biru yang ditemukan oleh nelayan ini? Lobster hidup di mana? Habitat udang karang (lobster) pada umumnya adalah di perairan pantai yang banyak terdapat bebatuan /terumbu karang. Terumbu karang ini di samping sebagai barrier (pelindung) dari ombak, juga sebagai tempat bersembunyi dari predator, serta sebagai daerah pencari makan (Verianta, 2016).
-
Kapan Sentra Kuliner Ikan Kabupaten Garut diresmikan? Dikutip dari ANTARA, Rabu (28/6) sentra ikan tersebut diketahui baru diresmikan pada Selasa 26 Juni 2023 lalu.
-
Mengapa lobster biru yang ditemukan ini dianggap langka? Menurut FTC, lobster biru terjadi hanya satu dari setiap 2 juta lobster. Mereka menekankan bahwa kemungkinan lobster biru ditangkap, dikirim, diselamatkan, dan tidak dinikmati sangat sulit, hampir tidak mungkin.
Untuk pembudidayaan wajib dilakukan di wilayah provinsi yang sama dengan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster. Sementara untuk memudahkan dalam implementasi aturan baru ini, KKP sedang menyusun petunjuk2 teknis yg saat ini dalam proses finalisasi.
Selanjutnya akan dilakukan sosialisasi, pembinaan, dan supervisi secara berkala kepada pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, Kota dan ke nelayan, untuk menyampaikan kejelasan regulasi/standar dalam pengelolaan benih lobster.
"Terakhir, saya mengharapkan melalui aturan baru ini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengembangan BBL bisa menjadi sejahtera dalam mengelola kekayaan laut berbasis ekonomi biru. Mari bersama kita kawal implementasi dari aturan ini di lapangan nantinya," tutup dia.
Keputusan pelarangan ini sempat menjadi polemik hingga muncul kasus suap yang menjerat Edhy Prabowo yang pernah menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo pada Rabu, (25/11/2020) dini hari. Dia ditangkap KPK di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sepulangnya dari kunjungan ke Amerika Serikat.
Penangkapan Edhy sendiri, diduga berkaitan dengan korupsi ekspor benih lobster atau benur. Pada bulan Juli lalu, kebijakan Edhy Prabowo untuk melegalkan ekspor benih lobster memang sempat menuai beragam pro dan kontra di kalangan elite.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti juga sempat memberikan kritik tegasnya atas kebijakan Edhy. Seperti yang diketahui, sejak Susi menjabat sebagai Menteri KKP, dia memang menutup rapat keran ekspor benih lobster. Sebab, dia menganggap hal tersebut justru bisa merugikan negara, masyarakat, dan juga nelayan.
Ditentang Susi Pudjiastuti
Dalam video yang diposting pada 10 Desember 2019 kemarin, Susi bercerita tentang lobster saat tengah menyantap hidangan laut itu di kampung halamannya, Pangandaran. Dia menyebut, jika lobster yang merupakan sumber daya dengan nilai ekonomi tinggi tidak boleh punah hanya karena ketamakan untuk menjual bibitnya.
"Lobster yang bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita menjual bibitnya. Dengan harga seperseratusnya pun tidak," tulis Susi.
Menurutnya, lobster yang dibudidayakan sendiri saat dijual akan lebih mahal. Lobster berukuran 400 gram hingga 500 gram bisa dihargai sebesar Rp600 ribu hingga Rp800 ribu. Namun, jika dijual bibitnya biasanya hanya dihargai Rp30 ribu. Hal tersebut menurutnya tentu saja memberikan kerugian pada nelayan.
Oleh karenanya, Susi mengingatkan kepada para nelayan untuk tetap mempertahankan bibit lobster tersebut tumbuh secara alami di lautan. Menurutnya, akan banyak kerugian yang di dapat dari banyak pihak jika tetap melegalkan ekspor benih lobster.
"Jadi bukan pemerintah saja yang rugi, tapi masyarakat juga rugi, nelayan jangan bodoh dan kita akan rugi kalau itu (ekspor benih lobster) dibiarkan," tuturnya.
Meskipun tidak secara terang-terangan, namun pernyataan Susi sudah menegaskan bahwa pembukaan ekspor benih lobster berpotensi mematikan industri hasil tangkapan laut Indonesia yang keuntungannya bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
Selain itu, pembesaran lobster di laut sebagai habitat aslinya lebih baik. Sebab ada kesempatan bagi lobster untuk beranak pinak. Susi mengaku, saat ini nelayan sudah bisa membesarkan lobster dengan melakukan pemijahan setelah lobster bertelur juga sudah. Hanya saja, tingkat keberhasilannya masih rendah. Namun perkawinan sampai bertelur belum bisa dilakukan di luar habitat lobster.
"Nelayan mulai tangkap banyak dg size min 200 grm. Bila akan diadjust saat musim panen jd 150grm. Krn itu Bibit Lobster adlh Plasma Nutfah yg HARUS Negara &kita jaga sbg WARISAN untk anak cucu kita," tulis Susi di akun twitter @susipudjiastuti, Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Alasan Edhy Prabowo Legalkan Ekspor Benih Lobster
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, jika pihaknya telah melakukan kajian mendalam tentang masalah ekspor benih lobster. Alasan KKP mengizinkan ekspor benih lobster untuk membantu belasan ribu nelayan kecil yang kehilangan mata pencarian akibat terbitnya Permen KP 56/2016. Permen tersebut melarang pengambilan benih lobster baik untuk dijual maupun dibudidaya.
Edhy juga membantah anggapan Permen KP No.12 tahun 2020 yang mengatur soal ekspor benih lobster condong ke kepentingan korporasi. "Ekspor ini tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan karena penangkap benihnya kan nelayan," kata Edhy di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/6/2020).
Edhy menjelaskan, ada 13 ribu nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster. Diakuinya hal ini memang menjadi perdebatan karena akibat ekspor dilarang nelayan tidak bisa makan.
Sayangnya jalan panjang rantai distribusi udang laut ini panjang membuat nelayan masih jauh dari predikat sejahtera. "Sebetulnya mereka (nelayan penangkap lobster) belum sejahtera benar," kata kata Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Rianta Pratiwi, dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11/2020).
Ada banyak rantai yang perlu ditempuh lobster untuk bisa dijual keluar negeri. Nelayan menjual ke pengepul kecil dengan harga yang murah. Dari pengepul dijual lagi ke pengepul yang lebih besar. Lalu pengepul pusat baru dijual lagi ke eksportir dengan harga yang lebih mahal.
"Nelayan itu dapat Rp 5.000 per ekor, pengepul bisa Rp 50 ribu per ekor. Kalau eksportir bisa jual sampai ratusan ribu per ekornya dan untungnya bisa sampai miliaran," tutur dia.
Belum lagi lobster tidak bisa ditangkap sepanjang tahun. Hanya pada waktu tertentu saja nelayan menangkap lobster di laut. Maka untuk memenuhi kebutuhannya, nelayan penangkap lobster juga melakukan pekerjaan lain. Semisal bertani, berkebun atau bahkan menangkap ikan jenis lain.
"Jadi memang lobster ini belum bisa untuk kesejahteraan nelayan," kata dia.
Sarat akan Potensi Relasi Kuasa Politik
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anta Maulana Nasution menilai kebijakan mengizinkan ekspor benur atau benih lobster tidak bisa dilihat hanya sebagai upaya pemerintah meningkatkan perekonomian nelayan. Melainkan sebagai upaya para aktor lain selain nelayan yang memiliki kepentingan ekonomi maupun politik.
"Juga harus dilihat sebagai upaya dari aktor-aktor selain nelayan yang memiliki kepentingan secara ekonomi maupun politik," kata Anta dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11/2020).
Tujuannya untuk menguasai atau memonopoli bisnis ekspor benur dengan mengandalkan relasi kuasa politik. Fenomena kebijakan ekspor benih lobster juga menunjukkan adanya indikasi oligarki yang kemungkinan selama masa pemerintahan sebelumnya.
Oligarki sebelumnya berusaha untuk ditenggelamkan melalui pelarangan ekspor benur. Namun kini mereka mencoba bangkit kembali pada saat ini dengan pemerintahan yang baru. Dia mengingatkan, aktor-aktor yang dimaksud antara lain pemerintah, swasta dan nelayan atau para pembudidaya.
Potensi relasi kuasa ini terlihat dari pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Dalam pasal tersebut perusahaan yang ingin melakukan ekspor harus terdaftar di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP.
Menurut Anta, alur kebijakan ini sebenarnya sudah baik. Hanya saja pihak yang menentukan perusahaan yang diizinkan melakukan ekspor benur ditentukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tanpa melibatkan pihak eksternal.
"KKP ini punya kekuasaan yang besar buat menentukan perusahaan yang mana yang boleh ekspor," kata Anta.
Memang ada tim khusus yang melakukan penilaian tersebut. Hanya saja ini diisi oleh internal KKP tanpa ada perwakilan akademisi atau praktisi di dalam ti uji tuntas tersebut. Padahal kehadiran pihak eksternal bisa mencegah adanya potensi relasi kuasa untuk melihat siapa yang memang bisa melakukan ekspor benur.
"Tim ini harusnya dari akademisi dan praktisi untuk mencegah potensi relasi kuasa dalam melihat siapa yang bisa melakukan ekspor benur," kata dia.
(mdk/azz)