Kisah Bank Harapan Sentosa rampok uang rakyat
Hasil audit BPK menemukan fakta aliran dana BLBI ke BHS sebesar Rp 3,87 triliun.
Tertangkapnya Sherny Kojongian, salah satu buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) membuka kembali ingatan publik akan kasus perampokan besar-besaran uang Bank Indonesia ketika krisis menghampiri sektor keuangan nasional akhir dekade tahun 1990-an.
Hari ini, Rabu (13/6), Sherny yang sudah buron sejak tahun 2002, kembali menginjakkan kaki di Tanah Air. Dia ditangkap oleh interpol di San Fransisco, Amerika Serikat, lima hari lalu. Sherny buron selama lebih kurang 10 tahun setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 18 Maret 2002, menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada mantan komisaris Bank BHS yang juga pernah menjabat sebagai direktur kredit Bank Harapan Sentosa (BHS).
-
Bagaimana caranya aset BLBI dimanfaatkan? Aset-aset sitaan itu diberikan kepada Mahkamah Agung, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Intelijen Negara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Ombudsman RI.
-
Siapa yang menerima hibah aset eks BLBI? Aset-aset sitaan itu diberikan kepada Mahkamah Agung, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Intelijen Negara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Ombudsman RI.
-
Kapan BBNKB dikenakan? BBNKB berlaku bila seseorang melakukan transaksi jual beli mobil bekas dan akan dikenakan biaya balik nama sehingga kendaraan tersebut memiliki nama sesuai dengan pemilik atau pembelinya.
-
Apa itu teks argumentasi menurut KBBI? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teks argumentasi adalah alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan.
-
Apa itu Balimau Kasai? Balimau Kasai adalah mandi dengan menggunakan air yang dicampur dengan limau atau jeruk.
-
Kenapa aset BLBI diberikan ke kementerian/lembaga? Aset ini harus segera digunakan oleh kementerian/lembaga, agar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tidak lagi menduduki aset tersebut
Untuk mengingatkan pembaca, tim merdeka.com mencoba menelusuri kembali kisah tersebut dengan mengolah data dari berbagai sumber. Menjelang akhir tahun 1990-an, merupakan masa paling pahit dalam sejarah perbankan nasional. Kejadian yang menghebohkan di mana tindak kejahatan pemembobol uang rakyat bekerja-sama dengan para pembuat kebijakan moneter melalui sistem dan jaringan perbankan nasional.
Kisah perampokan tersebut bermula saat krisis moneter tahun 1997, di saat pemerintah tidak mampu menanggani krisis ekonomi yang melanda perekonomian nasional. Sektor perbankan adalah salah satu sektor yang tidak berdaya menghadapi krisis keuangan. Perbankan bangkrut lantaran terjadinya rush atau pengambilan dana simpanan besar-besaran oleh para nasabahnya. Sebab, pemilik bank memanfaatkan dana yang dihimpun dari masyarakat untuk disalurkan kepada grup sendiri. Ternyata, terjadi kredit macet.
Saat itu pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dinilai sangat melindungi dan menguntungkan para bankir. Lahirlah Keppres No 24 dan No 26 tahun 1998 tentang jaminan pemerintah atas uang masyarakat yang disimpan di bank-bank pemerintah maupun swasta serta pemberian jaminan atas kewajiban bank di dalam negeri kepada nasabah maupun kepada kreditor di luar negeri berdasarkan Frankfurt Agreement.
Dari kondisi tersebut, lahirlah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas sebagai bentuk kewajiban pemerintah memberi dana talangan kepada BI. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF yang kala itu diminta menjadi 'dokter' untuk menyembuhkan krisis keuangan Indonesia.
BLBI dikucurkan kepada bank-bank nasional dengan syarat yang sangat ringan dan prosedur yang mudah. Peluang ini dimanfaatkan oleh bangkir yang turut terlibat melahirkan kebijakan tersebut. Salah satu Bank yang menerima bantuan tersebut adalah Bank Harapan Sentosa (BHS).
Dalam waktu yang relatif singkat terkucurkan dana BLBI sebesar Rp 164,54 triliun hanya untuk 54 bank nasional pada posisi 29 Januari 1999. Utang pokok BLBI itu antara lain diterima pemilik BHS Hendra Rahardja sebesar Rp 3,866 triliun.
BHS berdiri pada tahun 1969 dengan nama PT Bank Dagang Surabaya. Kemudian tahun 1981 berubah nama menjadi BHS. Setahun kemudian BHS bergabung dengan PT Bank Perdagangan Nasional Medan. Setelah itu, BHS merger kembali dengan PT Bank Tonsea yang berdiri tahun 1914, sebuah bank swasta tertua di Indonesia.
Sejak merger dengan Bank Tonsea, BHS mengalami pertumbuhan pesat. Jaringan cabang BHS terus melebar, hingga akhir tahun 1996 bank ini mempunyai kantor cabang/cabang pembantu sebanyak 200 kantor yang tersebar di seluruh pelosok.
Pemilik bank berambisi mengefektifkan mobilisasi dana masyarakat, sehingga terus melakukan ekspansi ke berbagai daerah. Namun justru berdampak pada macetnya kredit di kelompok sendiri. Akhirnya dana nasabah tenggelam di 198 cabang dan 200 cabang pembantu yang dibangunnya.
Ambisi yang besar untuk memobilisasi dana nasabah tidak dilakukan secara baik. Karena hanya dimanfaatkan untuk kelompk sendiri, jatuhlah BHS ke dalam kubangan kredit bermasalah. Akhirnya bank tersbeut menghentikan kegiatan usahanya pada 1 November 1997 silam.
Hasil audit BPK No. 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 per tanggal 31 Juli 2000, nilai aset BHS hanya sebesar Rp 573,42 miliar. Hasil audit juga menemukan fakta aliran dana BLBI sebesar Rp 3,87 triliun. Dari jumlah tersebut yang sempat ditarik oleh negara hanya Rp 180 miliar, sehingga kewajiban BLBI yang tersisa mencapai Rp 3,69 triliun. Total aset yang dimiliki tidak mampu menutupi kewajiban BLBI.
Untuk keseluruhan dana BLBI sendiri, hasil audit investigasi BPK menunjukkan bahwa potensi kerugian negara mencapai Rp 138,4 triliun atau 95,8 persen dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan per 29 Januari 1999. Sekitar Rp 138 triliun adalah dana BLBI yang disalurkan menyimpang, lalai, dan sistemnya lemah. Total BLBI yang diselewengkan bankir tak bertanggungjawab mencapai Rp 84,5 triliun atau 58,7 persen dari Rp 144,5 triliun BLBI.
Jenis penyimpangannya meliputi penggunaan BLBI untuk kepentingan grup sendiri, melunasi pinjaman, membiayai kontrak derivatif baru, ekspansi kredit, dan investasi seperti membuka cabang baru.
Oleh pengadilan, pemilik dan petinggi BHS, Hendra bersama Sherny dan Eko Edi Putranto dinyatakan terbukti dan sah merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,95 triliun. Ketiganya dijatuhi vonis 20 tahun penjara namun hukuman tersebut tidak dapat dijalankan lantaran ketiganya melarikan diri ke luar negeri.
Dengan alibi sakit stroke, Hendra melarikan diri ke Hongkong hingga akhirnya diketahui menetap di Australia dan meminta perlindungan dengan membawa kabur dana BLBI. Pemerintah Indonesia telah berupaya memulangkan Hendra ke Tanah Air, namun tidak berhasil hingga akhirnya Hendra meninggal tahun 2002.
Berbeda dengan Hendra, Sherny justru berhasil dipaksa pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya merampok uang rakyat.
*diolah dari berbagai sumber (mdk/oer)