Menko Luhut Sebut Ivermectin Digunakan untuk Pasien Covid-19 Gejala Ringan
Mantan Menko Polhukam itu bahkan menyuruh Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengerjakan atau produksi obat tersebut. Menurutnya, tidak ada yang salah mencoba penggunaan invermectin selama itu memang terbukti bisa meringankan penyakit Covid-19.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan menyebut bahwa obat ivermectin untuk pengobatan Covid-19 sebetulnya sudah heboh sejak delapan bulan lalu. Ketika itu, pemerintah sudah berkoordinasi dan melakukan uji coba obat tersebut untuk pasien-pasien dengan kategori atau gejala ringan.
"Obat sudah heboh dari 8 bulan lalu. Pertama itu saya bicara ke Dokter Fatimah kepala rumah sakit BUMN. Waktu gelombang pertama kemarin. Kita pakai itu obat waktu Presiden Trump umumkan. Cobain saja deh untuk yang ringan-ringan," kata dia seperti dikutip dari akun youtube Deddy Corbuzier, Selasa (6/7).
-
Apa yang menjadi sorotan utama Presiden Jokowi tentang pangan di Indonesia? Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah menyoroti permasalahan pangan di Indonesia, bahwa permintaan selalu meningkat karena populasi yang terus bertambah.
-
Kapan Purnawarman meninggal? Purnawarman meninggal tahun 434 M.
-
Apa yang menjadi ancaman kesehatan yang serius bagi Indonesia dan dunia terkait kusta? Penyakit kusta, meskipun termasuk penyakit tropis yang terabaikan, masih menjadi ancaman kesehatan yang signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Kapan IPM Kaltim meningkat tajam? IPM Kalimantan Timur (Kaltim) tahun 2023 mencapai 78,20, meningkat 0,84 poin (1,09 persen) dibandingkan tahun sebelumnya (77,36).
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
Mantan Menko Polhukam itu bahkan menyuruh Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengerjakan atau produksi obat tersebut. Menurutnya, tidak ada yang salah mencoba penggunaan invermectin selama itu memang terbukti bisa meringankan penyakit Covid-19.
"Salahnya apa? Untuk orang yang ringan dikasih itu. Artinya saturasi oksigen masih 95 mungkin kurang sedikit dan paru-paru (tidak parah). Inikan darurat selama itu kepentingan rakyat kita lakukan saja. Dari pada sekarang orang mati gara-gara Covid-19," jelas dia.
Meski demikian, Menko Luhut juga meminta kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk mengatur harga eceran tertingi. Penetapan harga eceran juga harus mempertimbangkan jangan sampai produsen tidak mendapat untung.
Karena dalam pelaksanaan di lapangan Kementerian Kesehatan sendiri masih menemukan banyak industri-industri yang terlalu banyak mengambil untung dari obat tersebut. Sehingga butuh adanya harga eceren tertinggi.
"Saya bilang ke Menteri Budi bikin harga eceren tertinggi benar dan mereka sudah untung. Jangan juga produsen itu tidak untung," jelas dia.
Bisa Pengobatan Covid-19
Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof Zubairi Djoerban mengatakan, Ivermectin belum bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19. Sebab, sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan kemanjuran Ivermectin untuk Covid-19.
"Tentang Ivermectin. Berhentilah percaya pada “hal-hal ajaib” yang menjejali kita dengan instan. Sabar dulu. Masih belum ada bukti ilmiah tentang kemanjuran Ivermectin untuk Covid-19," katanya melalui akun Twitter @ProfesorZubairi, Selasa (6/7).
Dokter spesialis penyakit dalam subspesialis hematologi-onkologi ini menyebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Eropa juga melarang penggunaan Ivermectin untuk Covid-19. Penggunaan Ivermectin hanya diperbolehkan untuk kepentingan pelaksanaan uji klinik.
Indonesia sendiri tengah melakukan uji klinik Ivermectin untuk Covid-19 di sejumlah rumah sakit. Uji klinik ini dilakukan di bawah koordinasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
"Sebagai dokter, saya tidak akan menyarankan sesuatu yang dasar ilmiahnya belum diakui," ujarnya.
(mdk/idr)