Napas Industri Kecil Menengah Megap-Megap, Butuh Kebijakan Ini dari Pemerintah
Pelaku IKM tekstil sudah kehabisan napas terhadap maraknya impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri pasar Tanah Air.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita menilai, sektor industri kecil dan menengah atau IKM tekstil saat ini lebih butuh kepastian penerapan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk kain impor ketimbang janji pemberian insentif fiskal untuk sektor industri terkait.
Pasalnya, Reni menyebut para pelaku IKM tekstil sudah kehabisan napas terhadap maraknya impor pakaian bekas (thrifting) yang membanjiri pasar Tanah Air.
- P2P Syariah Ini Siapkan Modal Rp50 Miliar untuk Perkuat Ekosistem Industri Fesyen Tanah Air
- Kadin Tak Ingin Industri Tekstil Makin Lemah Akibat Ulah Oknum Asal Impor
- Pemerintah Minta Thrifting Kembali Diawasi, Khawatir Kondisi Ini Terulang
- Industri Tekstil Dalam Negeri Bisa Bernapas Lega karena Aturan Ini
"Kalau kita sih sebenarnya untuk perlindungan aja. Kalau memang di dalam negeri ada, pemerintah seharusnya tidak buka keran impor yang banyak," ujar Reni saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Selasa (20/8).
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mulai menetapkan pungutan BMTP untuk kain impor. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Kain. PMK ini mulai efektif berlaku 3 hari kerja setelah diundangkan pada 6 Agustus 2024, yakni per 9 Agustus 2024.
Selain itu, Sri Mulyani sempat mengungkap potensi pemberian insentif fiskal untuk mendorong industrialisasi di sektor yang mengalami ketertinggalan, seperti tekstil, alas kaki, dan karet.
Insentif fiskal tak beri kepastian bisnis
Menurut Reni, pemberian insentif fiskal seakan tidak memberi kepastian bisnis bagi para pelaku usaha terkait. Ia mengambil contoh keringanan berupa potongan pajak penghasilan atau PPh badan, yang baru bisa dibayarkan jika pelaku usaha mengantongi keuntungan.
"Itu dibayar ketika dia untung. Ketika dia rugi, mau ada insentif apa juga dia enggak ngaruh untuk dia kan. Untuk menjadi untung dia kan harus menjual dengan kapasitas atau utilisasi yang seharusnya dia miliki, supaya dia bisa berjualan dan punya daya saing," ungkapnya.
"Kalau Anda punya kapasitas mesin 100 tapi jualannya cuman 50, ongkos produksinya untuk 100, jualan 50 kan pasti dua kali lipat harga kita," tutur Reni.
Di sisi lain, ia juga mendorong agar para pelaku usaha IKM tekstil terus berinovasi agar produk buatannya bisa diterima pasar. Sehingga perlahan konsumen bisa beralih ke produk pakaian made in Indonesia ketimbang membeli barang bekas dari China, misalnya.
"Satu-satunya jalan menurut saya ya memang kita lawan itu semua dengan menampilkan bahwa produk yang dihasilkan IKM bagus loh," tegas Reni.
"Dengan adanya tampil seperti itu, konsumen mulai lihat-lihat, saya lebih baik beli baru daripada beli thrifting. Lebih baik saya beli dari toko yang benar daripada di marketplace," pungkas dia.