Nelangsa Pekerja di Jepang, Makan Nasi Telur Pagi-Malam dan Nyalakan AC Cuma 30 Menit untuk Berhemat
Jumlah pekerja di Jepang telah mencapai titik jenuh di sekitar 68 juta.
Niat hati ingin stabil finansial, para pekerja imigran di Jepang malah harus ikat pinggang. Ini disebabkan pelemahan mata uang Jepang, yen.
Dilansir dari The Mainichi, seorang pekerja asal Filipina, rela sarapan dan makan malam hanya nasi dan orak arik telur demi bisa berhemat selama tinggal di Jepang. Pria yang bekerja sebagai perawat lansia ini tidak memiliki pilihan selain berhemat demi bisa mengirim uang ke keluarganya, tanpa harus mengurangi nilai uang yang dikirim.
- Demi Pertahankan Karyawan Berbakat, Perusahaan Jepang Hilangkan Batas Usia hingga Naikkan Gaji
- Pekerja Keluhkan UMP 2025 Hanya Naik 6,5 Persen, Masih Kurang untuk Hidup Layak
- Pekerja Indonesia Dapat Nasihat dari Bosnya di Jepang: Uang itu Segalanya tapi Jangan Dituhankan
- Jangan Kaget Makan di Warteg Porsi Nasi Jadi Sedikit dan Tak Lagi Pulen, Pedagang: Porsi Dikurangi Daripada Naikkan Harga
Pekerjaan pria tersebut adalah mengurus para penghuni panti jompo dengan menyediakan makanan dan menyiapkan air mandi, di antara tugas-tugas perawatan pribadi lainnya.
Gaji bersihnya per bulan sekitar 120.000 yen atau sekitar Rp12,6 juta. Dari jumlah tersebut, ia mengalokasikan gaji untuk keluarga di kampung halaman sekitar Rp8,4 juta. Ia kembali ke apartemennya di gedung bertingkat rendah, tiga menit dari tempat kerjanya, untuk makan siang. Ia tidak sarapan.
Terkait dengan kehidupan sehari-hari, pria asal Filipina selatan yang datang ke Jepang pada bulan April ini melakukan apa yang bisa dilakukannya. Ia mengatakan bahwa musim panas pertamanya di Jepang terasa sangat panas dan lembap, tetapi ia telah membatasi penggunaan AC hingga sekitar 30 menit sebelum tidur. Ketika sudah terasa cukup nyaman untuk tertidur, ia mematikannya.
Mimpi pria itu adalah menjadi astronot dan pergi ke bulan. Agar itu terjadi, katanya, ia ingin menabung. Namun, yen saat ini melemah tidak hanya dibandingkan dengan dolar Amerika dan mata uang utama lainnya, tetapi juga terhadap peso Filipina.
Tiga tahun lalu, 80.000 yen setara dengan hampir dua kali lipat gaji bulanan rata-rata di Filipina, yang sekitar 36.500 peso atau sekitar Rp10 juta. Sejak saat itu, nilai yen telah turun sekitar 15 persen.
"Jepang berbeda dari gambaran yang saya miliki. Seharusnya tidak seperti ini," keluh pria itu.
Jepang makin kurang menarik bagi pekerja asing meski kekurangan tenaga kerja
Dengan angka kelahiran yang rendah dan populasi yang menua, jumlah pekerja di Jepang telah mencapai titik jenuh di sekitar 68 juta. Di tengah kekurangan tenaga kerja yang serius, jumlah pekerja asing meningkat.
Menurut survei Kementerian Tenaga Kerja, jumlah pekerja asing di Jepang hingga akhir Oktober 2023 mencapai 2.048.675, melampaui angka 2 juta untuk pertama kalinya, yang berarti 3 persen dari mereka yang bekerja di Jepang sekarang adalah orang asing.
Jumlah perusahaan yang mempekerjakan orang asing juga meningkat menjadi 318.775, sekitar 6 persen dari total dan mencapai rekor tertinggi baru. Berdasarkan industri, 550.000 orang asing di Jepang bekerja di bidang manufaktur, 260.000 di bidang grosir dan eceran, dan 230.000 di sektor akomodasi dan jasa makanan, yang mendukung perekonomian Jepang.
Akan tetapi, deflasi terus berlanjut dalam perekonomian Jepang dengan gaji dan harga tetap rendah, upah di Asia Tenggara telah meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Japan Center for Economic Research berasumsi bahwa motivasi untuk bermigrasi hilang ketika gaji orang Jepang turun di bawah dua kali lipat gaji di negara asal orang tersebut.
Sebuah laporan yang dirilis oleh pusat tersebut pada bulan November 2022 memperkirakan bahwa migrasi pekerja Indonesia ke Jepang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Bagi mereka yang berasal dari Thailand, hal ini akan terjadi pada tahun 2031 dan bagi pekerja dari Vietnam, hal ini diperkirakan akan terjadi pada tahun 2032, menjadi puncak terakhir sebelum jumlah pekerja menurun.
Dengan depresiasi yen baru-baru ini, keuntungan datang ke Jepang untuk bekerja telah berkurang drastis. Waktu hingga titik balik itu mungkin akan lebih singkat lagi.