Nelangsa Pengungsi Kamp Gaza, Tak Mampu Beli Makan dan Mandi Hanya Dua Kali Sebulan
Ketiadaan bahan makanan, hingga sumber air membuat para pengungsi merasakan derita tak tertahankan.
Ketiadaan bahan makanan, hingga sumber air membuat para pengungsi merasakan derita tak tertahankan.
Nelangsa Pengungsi Kamp Gaza, Tak Mampu Beli Makan dan Mandi Hanya Dua Kali Sebulan
Tak Mampu Beli Makan dan Mandi Hanya Dua Kali Sebulan
Ribuan warga Gaza Utara yang dipaksa mengungsi ke Gaza Selatan oleh militer Israel, terus dirundung nestapa. Ketiadaan bahan makanan, hingga sumber air membuat para pengungsi merasakan derita tak tertahankan.
Mengutip Middle East Eye, seorang warga Gaza bernama Abu Ghaben bercerita perjuangannya bersama keluarga menuju Gaza Selatan sangat sulit. Ghaben dan keluarga harus berjalan kaki sejauh 10 kilo meter (km) lebih.
- Usai Buka Warung, Moro Kogoya Panglima Perang Suku Dani Diajak Makan Nasi Padang Menunya Bikin Salfok
- Awas! 10 Makanan Ini Ternyata Bikin Kentut Jadi Bau Busuk
- Beraksi Bak Petugas Damkar, Potret Gagah Jenderal Dudung Berjibaku Padamkan Kebakaran Hutan di Jambi
- Sisi Lain Gunung Sampah Bantar Gebang, Ternyata di Atasnya Ada Warung Makanan Laris Manis Walau Dipenuhi Lalat
Ghaben dan keluarga hanya membawa selimut, dan beberapa potong pakaian. Mereka tidak sempat mengemas banyak barang.
"Ketika kami sampai di checkpoint militer Israel, kami berjalan sambil mengangkat identitas kami. Itu (pengalaman) sangat mengerikan, sebagaimana mereka diketahui menangkap, menahan, dan membunuh banyak orang," kata Ghaben, dikutip Senin (27/11).
Tidak ada kendaraan apapun kecuali kereta yang menggunakan tenaga keledai.
Pemilik kereta hanya menyanggupi untuk membawa Ghaben dan keluarganya sejauh 2 km.
Selebihnya, Ghaben harus kembali berjalan kaki sejauh 7 km untuk sampai di kamp pengungsian Al-Nuseirat.
Tiba di pengungsian, Ghaben bertemu teman sekolah bersama keluarganya. Ghaben dan temannya saling berbagai matras.
Ghaben mengaku sudah sebulan tinggal di kamp pengungsian.
Selimut yang dibawa dari Gaza Utara, dijadikannya tenda untuk melindungi anak-anaknya dari hujan.
merdeka.com
"Saya membuat tenda dari selimut untuk melindungi anak-anak saya dari hujan. Saya sudah berada di kamp ini selama satu bulan. Rasanya sangat sulit dan tidak tertahankan,"
keluhan Ghaben.
Kondisi kamp nan padat pengungsi membuat sanitasi menjadi hal yang sulit dirasakan. Mereka memilih membelanjakan sisa uang yang dipunya untuk makan agar tidak mati kelaparan.
“Orang-orang bahkan tidak bisa membeli produk kebersihan, demi menghemat uang agar bisa membeli makanan dan tidak kelaparan,” kata Abu Ghaben.
Bahkan selama satu bulan di kamp pengungsian, dia hanya bisa mandi dua kali. Itupun, menggunakan air keruh dari toilet.
Kelangkaan bantuan pangan dan keuangan, makin memperburuk kondisi kehidupan warga Gaza.
Mengingat tingkat kemiskinan yang sudah ada sebelumnya sebesar 53 persen sebelum terjadi pembantaian Israel.
Ghaben mengaku sudah tidak punya uang lagi untuk membeli makanan. Upaya meminjam uang pun sudah tidak bisa dilakukan karena mereka menghadapi situasi yang sama.
“Saya tidak bisa membeli makanan untuk anak-anak saya. Saya sudah kehabisan uang, dan orang-orang tidak bisa lagi meminjamkan uang kepada saya,” ungkapnya.
Sekalipun tepung disediakan oleh UNRWA, pemanfaatannya untuk membuat kue tetap tidak terjangkau.
Ghaben mengatakan, satu tabung gas sekarang berharga USD106 (sekitar Rp1,64 juta). Padahal sebelum perang harganya USD18 (Rp278.000).
Untuk membeli kayu bakar pun, Ghaben merasa tak mampu karena harga yang terlalu mahal. Sehingga ia harus keluar setiap pagi saat subuh, mencari kayu yang tersedia di jalanan.
Di tengah pemboman, dia malah pergi ke rumah-rumah yang telah dibom. Berharap menemukan kayu yang bisa digunakan dari pepohonan di sana.
“Ini adalah tugas yang berbahaya, dan saya sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan agar situasi ini segera berakhir, saya rindu untuk kembali ke rumah saya, tidak yakin akan statusnya, apakah sudah dibom atau belum,"
pungkasnya.