Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Ditutup Melemah Rp14.323 per USD
Direktur PT TRFX, Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, pasar terus memantau perkembangan Program Pengungkapan sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II yang sedang berlangsung mulai 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022 mendatang.
Nilai tukar Rupiah ditutup melemah di level Rp14.323 dari penutupan sebelumnya di level Rp14.296 per USD. Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp14.300 hingga Rp14.370 per USD.
Direktur PT TRFX, Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, pasar terus memantau perkembangan Program Pengungkapan sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II yang sedang berlangsung mulai 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022 mendatang.
-
Apa yang dimaksud dengan nilai tukar Dolar Singapura dan Rupiah? Nilai tukar antara Dolar Singapura dan Rupiah mencerminkan perbandingan nilai antara mata uang Singapura (SGD) dan mata uang Indonesia (IDR).
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana redenominasi rupiah dilakukan di Indonesia? Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp 1.000 menjadi Rp 1.
-
Kapan Indonesia mendevaluasi nilai tukar rupiah untuk pertama kalinya? Pada 7 Maret 1946, pemerintah mendevaluasi nilai tukar rupiah sebesar 29,12 persen, dari Rp1,88 per USD1 menjadi Rp2,65 per USD1.
-
Apa yang dijelaskan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengenai redenominasi rupiah? Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan, implementasi redenominasi rupiah ini masih menunggu persetujuan dan pertimbangan berbagai hal.
-
Bagaimana nilai IDR ditentukan? Perubahan nilai IDR dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan politik, seperti inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan faktor-faktor global seperti kondisi pasar internasional.
"Harta bersih yang dilaporkan dalam PPS mencapai Rp2,33 triliun sampai 13 Januari 2022 atau hampir 2 minggu sejak program ini dijalankan," kata Ibrahim, Jakarta, Senin (17/1).
Nilai tersebut terdiri dari laporan harta bersih dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp1,76 triliun, harta yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara sebesar Rp141 miliar, dan harta di luar negeri sebesar Rp431,82 miliar.
Pelapor tercatat telah mencapai 3.747 Wajib Pajak dengan nilai Pajak Penghasilan (PPh Final) yang terkumpul sebesar Rp272,14 miliar. Harta yang dilaporkan sukarela naik Rp350 miliar sehari.
Secara bersamaan, Pemerintah memperkirakan perekonomian bisa tumbuh 5,2 sampai 5,8 persen pada tahun 2022, apabila pandemi Covid-19 dapat dikendalikan sehingga aktivitas produksi mulai normal, konsumsi masyarakat pulih dan mencapai kisaran 5 persen.
"Target herd immunity dapat tercapai. Walaupun International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun 2022 hanya tumbuh 5,2 persen," jelas Ibrahim.
Selain itu, Pemerintah juga perlu mengimplementasikan reformasi struktural guna mendorong arus investasi masuk yang diarahkan pada sektor-sektor bernilai tambah tinggi serta berorientasi ekspor. Investasi ini juga perlu diprioritaskan untuk sektor-sektor yang menciptakan banyak lapangan kerja berkualitas.
Tantangan 2022
Ada tiga tantangan yang dihadapi semua negara pada 2022 yang akan mengganjal pertumbuhan ekonomi, antara lain fenomena inflasi dunia yang mengalami kenaikan karena pasokan dan permintaan yang terdisrupsi serta krisis energi.
"Di samping itu ketidakpastian pasar dalam menyikapi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed) dan perubahan kebijakan The Fed," jelas Ibrahim.
Guna untuk menghadapi situasi ketidakpastian ekonomi global, ketahanan ekonomi sebuah negara benar-benar diuji. Dapat bertahan jika ekonomi global terguncang, tentu akan terlihat, dan Indonesia adalah negara dengan fundamental ekonomi yang baik, meski harus diakui negara kita bukan berbasis manufaktur tapi komoditas namun diuntungkan oleh permintaan komoditas yang tinggi.
"Hal tersebut bisa terlihat dari kinerja neraca perdagangan yang surplus berikut juga Current Account Deficit (CAD) tidak terjadi, tapi justru surplus," tandas Ibrahim.
(mdk/idr)