Pecah Rekor, Harga TBS Kelapa Sawit di Riau Tembus Rp3.930 per Kilogram
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan, ini merupakan harga tertinggi di Indonesia.
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit Riau kembali pecah rekor. Untuk periode 2-8 Maret 2022, harga pembelian TBS sawit Riau tembus di angka Rp3.930,94 per kilogram. Harga ini tertinggi sepanjang sejarah dunia persawitan.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan, ini merupakan harga tertinggi di Indonesia.
-
Kenapa KEK Singhasari penting? KEK Singhasari berkonsentrasi pada platform ekonomi digital untuk bersinergi dengan perkembangan antara bisnis pariwisata dan ekonomi digital.
-
Kenapa Pemilu penting? Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
-
Apa yang menjadi pusat kekuasaan Siak sebelum dipindahkan ke Pekanbaru? Sultan Alamuddin Syah selaku Sultan Siak ke-4 memindahkan pusat kekuasan Siak dari Mempura ke Senapelan pada 1762.
-
Apa yang dikawal ketat oleh Polresta Pekanbaru? Personel Polresta Pekanbaru mengawal ketat pendistribusian logistik berupa surat suara Pemilu 2024.
-
Kenapa Kulat Pelawan mahal? Jika dijual, Kulat Pelawan amat mahal, harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Proses pertumbuhan jamur ini konon terbilang sulit, karena harus menunggu sambaran petir. Semakin jarang ditemukan, makin tinggi juga harganya di pasaran.
"Untuk kelompok umur 10 sampai 20 tahun naik sebesar Rp250,78 atau mencapai 6,81 persen dari harga minggu lalu menjadi Rp3.930,94 per kilogram. Pecah rekor harga tertinggi se Indonesia," kata Defris Rabu (2/3).
Selain buah sawit, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga tercatat mengalami kenaikan dibandingkan penetapan pekan lalu. Harga CPO Riau untuk sepekan ke depan ditetapkan sebesar Rp16.195,05 atau naik sebesar Rp1.075,11 dari harga pekan lalu yakni Rp15.119,94
"Harga kernel juga tercatat mengalami kenaikan. Di mana pekan ini harga kernel ditetapkan sebesar Rp13.210,00 atau naik Rp376,36 dari harga pekan lalu yakni Rp12.833,64," ujarnya.
Ini memang menjadi kabar gembira dan sangat disyukuri para petani sawit. Namun, organisasi kelapa sawit justru menyebutkan ada plus minus dari naiknya harga sawit ini.
Pihak Tertekan
Wakil Ketua Umum Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz mengatakan ada sejumlah pihak yang justru tertekan dengan kondisi ini. Apalagi, dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini.
Di mana dalam kebijakan DMO dan DPO itu mengharuskan korporasi memasok 20 persen CPO ke dalam negeri dengan harga Rp9.300/kg. Selian itu, dalam kebijakan tersebut juga diatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter.
Dengan kondisi harga CPO yang tinggi saat ini, tentu mau tidak mau korporasi harus memutar otak untuk bisa tetap untung.
"Semakin baik harga CPO otomatis semakin menjadi bumerang bagi perusahaan-perusahaan yang arus memenuhi DMO dan DPO itu. Sebab rentang harga jual CPO dan subsidi yang musti dilakukan perusahaan akan makin lebar. Kenyataan-kenyataan seperti ini harus dipikirkan," kata Aziz kepada merdeka.com, Rabu (2/3).
"Logikanya, apakah pebisnis mau rugi? Gak mungkin. DMO dan DPO itu dimulai saat harga CPO masih di angka Rp15.000, dan kemarin per 1 Maret harga CPO sudah Rp18.250 per kilogram. Nah kalau dikaitkan dengan pembuatan minyak goreng, berarti modal membuat minyak goreng itu bisa-bisa sudah Rp21.000. Namun harus dijual senilai Rp14.000 perkilogram, berarti kan korporasi sudah tekor Rp7.000. Itupun jika hasil pengolahan sekilogram CPO bisa menjadi sekilogram minyak goreng. Kalau hanya menjadi 0,7 kilogram migor gimana? Berarti kerugian perusahaan akan semakin besar, apakah korporasi mau? Itu yang menjadi pertanyaan," ungkap Aziz.
Aziz mengatakan, kebijakan DMO dan DPO yang ada saat ini bukan merupakan solusi tepat untuk mengatasi tingginya harga minyak goreng. Karena bagaimanapun, jika harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng tinggi, tentu harga minyak goreng juga akan ikut melonjak.
"Kalau menurut saya, menaiknya harga CPO itu sudah menjadi risiko bagi kita untuk realistis menaikkan harga minyak goreng. Membiarkan harga minyak goreng naik sesuai harga real bahan bakunya," ujarnya.
Kalau pemerintah kemudian menginginkan harga minyak goreng tetap murah di tengah masyarakat, silahkan membuat kebijakan, misalnya mensubsidi lewat anggaran yang dianggarkan dari duit negara.
"Subsidi itu bisa melalui pasar murah, atau distribusi migor langsung kepada mereka yang berhak menerima. Data calon penerimanya bisa saja dari data Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah ada. Bukan menebar migor itu ke ritel. Sebab yang belanja ke ritel itu belum tentu orang tak mampu secara ekonomi. Kalau diharapkan perusahaan yang melakukan itu, yang ada kucing-kucinganlah," ujarnya.
"Yang terjadi ya seperti sekarang ini, sebentar nampak (minyak goreng itu), sebentar tidak," imbuhnya.
Sumber Uang Subsidi
Lebih jauh Aziz mengatakan, sumber duit mensubsidi minyak goreng menjadi murah itu bisa diambil pemerintah dari duit Bea Keluar (BK) yang selama ini dipungut pemerintah dari ekspor CPO.
"Selama ini duit BK itu kan tidak pernah diotak-atik pemerintah untuk subsidi, malah yang mau diambil itu dari Pungutan Ekspor (PE) yang dikelola oleh BPDPKS. Sementara dana PE itu sudah banyak tersedot untuk subsidi biosolar yang juga menjadi kepentingan publik," katanya.
"Tahun lalu saja subsidi biosolar itu mencapai Rp51,86 triliun. Semuanya untuk kepentingannya publik. Kenapa untuk subsidi minyak goreng yang nilainya hanya sekitar Rp15 triliun setahun tidak diambil dari BK itu," kata lelaki 47 tahun ini.
Dengan demikian, kata dia, bukan korporasi yang dibebankan atas kewajiban yang harusnya dilakukan pemerintah itu. "Jadi biarkanlah harga minyak goreng itu mengikuti harga CPO, sementara pemerintah membuat kebijakan untuk menolong masyarakat kurang mampu, dengan data yang sesungguhnya sudah ada. Dengan demikian, mudah-mudahan minyak goreng tidak akan langka," sebutnya.
Selain itu, sambungnya, pendistribusian minyak goreng yang saat ini lebih dominan dilakukan di ritel modern, juga kurang tepat. "Pemerintah dalam melakukan penetrasi pasar itu jangan di gerai supermarket, tapi harus di pasar-pasar basah. Dan kemendag pasti sudah punya data lah berapa kebutuhan minyak goreng sesungguhnya," ujarnya.
Dia mengatakan, seharusnya pemerintah juga bisa memanfaatkan keberadaan Bulog yang selama ini menjadi media penyalur berbagai subsidi kebutuhan masyarakat.
"Kita sepakat lah, bahwa Bulog itu bagus saat dikasih tugas untuk pendistribusian. Karena Bulog sampai ke kabupaten kan sudah ada. Nah, biarkan Bulog yang mendistribusikan minyak goreng, jadi jangan tugas pemerintah dibebankan kepada korporasi," jelasnya.
(mdk/idr)