Penjelasan Lengkap Pemerintah soal UU HPP Lindungi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Menurutnya, kehadiran UU HPP ini melengkapi keberpihakan pemerintah secara keseluruhan terhadap UMKM yang tercermin baik dari desain Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pandemi Covid-19, maupun dari desain APBN sejak prapandemi.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebut salah satu ruh dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021 lalu adalah konsistensi keberpihakan pemerintah dalam melindungi masyarakat berpenghasilan rendah, serta menguatkan sektor UMKM berikut pelaku UMKM.
"Dukungan Pemerintah terhadap UMKM sangat jelas terlihat bahkan semakin kuat dengan UU HPP," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam pernyataannya, Minggu (17/10).
-
Di mana kemacetan parah di Jakarta sering terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
-
Pajak apa yang diterapkan di Jakarta pada masa pasca kemerdekaan? Di dekade 1950-an misalnya. Setiap warga di Jakarta akan dibebankan penarikan biaya rutin bagi pemilik sepeda sampai hewan peliharaan.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
-
Dimana saja lokasi kemacetan yang paling parah di Jakarta? Kondisi kemacetan lalu lintas kendaraan pada jam pulang kerja di Jalan Gatot Subroto, Jakarta
Menurutnya, kehadiran UU HPP ini melengkapi keberpihakan pemerintah secara keseluruhan terhadap UMKM yang tercermin baik dari desain Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pandemi Covid-19, maupun dari desain APBN sejak prapandemi.
'UMKM adalah bagian sangat penting bagi perekonomian kita dengan sumbangan sektor sekitar 60 persen PDB dan 97 persen tenaga kerja”, ujarnya.
Pada saat pandemi, APBN telah memberikan dukungan kepada UMKM dan masyarakat miskin melalui Program PEN dalam klaster Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) dan Program Dukungan UMKM dan Korporasi yang mencapai Rp117,3 triliun pada tahun 2021, baik melalui Belanja K/L, Subsidi, TKDD, maupun Pembiayaan.
Sedangkan dukungan APBN 2021 secara keseluruhan untuk UMKM (termasuk di dalamnya anggaran PEN) diwujudkan dalam bentuk Program Bantuan Produktif Rp15,4 triliun, alokasi dukungan UKM Rp4,1 triliun, dan bantuan PKL dan Warung Rp1,2 triliun.
Sementara itu, bantuan subsidi diberikan dalam bentuk subsidi Bunga KUR Rp14,8 triliun, subsidi Imbal Jasa Penjaminan (IJP) KUR sekitar Rp0,2 triliun, IJP UMKM Rp3,8 triliun, dan berbagai bentuk subsidi lainnya termasuk subsidi diskon listrik, BBM, LPG, dan subsidi pajak yang mencapai sekitar Rp14,0 triliun.
Selanjunya dukungan anggaran melalui DAK Fisik Bidang Sentra Industri Kecil dan Menengah serta DAK Non-Fisik untuk Peningkatan Kapasitas Koperasi dan UKM (PK2UKM) sekitar Rp0,9 triliun. Sementara itu di sisi Pembiayaan dialokasikan Rp35,8 triliun, terutama melalui penempatan dana, penjaminan loss limit UMKM, dan pembiayaan Ultra Mikro.
Selain itu, dukungan Pemerintah untuk masyarakat kecil dan UMKM juga diberikan dalam bentuk belanja perpajakan. Estimasi besaran belanja perpajakan tahun 2020 untuk mengembangkan UMKM mencapai sekitar Rp59,9 triliun atau 25,5 persen dari total belanja perpajakan. Jumlah ini sebagian besar berasal dari fasilitas PPN tidak terutang untuk pengusaha kecil dan PPh Final untuk UMKM.
"Dukungan Pemerintah kepada UMKM dan masyarakat kecil menjadi semakin kuat melalui UU HPP," jelas dia.
Dia mengatakan, perubahan peraturan atas UU Pajak Penghasilan (PPh) antara lain berupaya untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan. Pemerintah menyepakati usulan fraksi DPR untuk melebarkan lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif PPh terendah 5 persen dari penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta menjadi Rp60 juta.
Sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap diberikan. Besaran PTKP tidak berubah yaitu sebesar Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun untuk orang pribadi lajang, tambahan sebesar Rp4,5 juta diberikan untuk WP yang kawin dan masih ditambah Rp4,5 juta untuk setiap tanggungan, maksimal 3 orang.
Ini artinya masyarakat dengan penghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar Pajak Penghasilan (PPh) sama sekali. Dengan perubahan batas lapisan (layer) tarif terendah ini, justru masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah mendapatkan manfaat untuk membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya.
Penjelasan
Sebagai ilustrasi WP orang pribadi lajang dengan penghasilan Rp9 juta per bulan yang sebelumnya harus membayar sebesar Rp3,4 juta setahun, kini cukup hanya membayar PPh sebesar Rp2,7 juta setahun.
UU HPP juga menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha UMKM baik orang pribadi maupun badan. Bagi WP Orang Pribadi UMKM yang selama ini membayar PPh dengan tarif final 0,5 persen sesuai PP 23 Tahun 2018, diberikan insentif berupa batasan penghasilan tidak kena pajak atas peredaran bruto hingga Rp500 juta setahun.
Misalnya, pengusaha dengan peredaran bruto sebesar Rp2,5 miliar setahun hanya membayar PPh atas peredaran bruto Rp2 miliar karena sampai dengan peredaran bruto Rp500 juta dibebaskan dari PPh.
Untuk pengusaha yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp500 miliar maka tidak perlu membayar PPh sama sekali. Sedangkan bagi WP Badan UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebesar 50 persen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh.
Selanjutnya, mempertimbangkan aspirasi masyarakat, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya, diberikan fasilitas pembebasan PPN. Dengan demikian, meskipun merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan kecil dan menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial seperti halnya yang sudah dinikmati selama ini.
Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga tetap diberikan. Kemudahan tersebut adalah penerapan tarif PPN ‘final’ misalnya 1 persen, 2 persen atau 3 persen dari peredaran usaha untuk jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan PMK.
Pengusaha kecil dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar setahun tetap seperti saat ini, dimana pengusaha kecil dapat memilih untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) ataupun tidak. Kemudian, pengusaha kecil atau UMKM yang sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak perlu melakukan mekanisme Pajak Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM), tetapi cukup menerapkan tarif final dalam pemungutan PPN yang tentu tarifnya lebih rendah dibandingkan tarif dalam pedoman pengkreditan pajak masukan berdasarkan PMK 74/PMK.03/2010.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam langkah reformasi perpajakan, aspek kemudahan administrasi bagi wajib pajak tetap menjadi perhatian besar pemerintah.
"Dengan memperhatikan dukungan APBN dan muatan pengaturan dalam UU HPP untuk UMKM, sangat jelas bahwa Pemerintah hadir untuk rakyatnya, khususnya yang berada dalam lapisan paling membutuhkan," tutup Febrio.
(mdk/idr)