Sebut Bakal Ada PHK, Pengusaha Minta Dilibatkan dalam Pembahasan Cukai Minuman Berpemanis
Pengusaha memang menaruh perhatian lebih terhadap pungutan cukai untuk minuman berpemanis.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani meminta agar pemerintah bisa lebih melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunan aturan lanjutan soal cukai minuman berpemanis.
Shinta mengatakan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebetulnya sudah melakukan audiensi dengan pihak pengusaha terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang juga menaungi soal aturan cukai minuman berpemanis.
- Industri Makanan dan Minuman Dihantui PHK Massal, Ini Penyebabnya
- Pegawai Kena PHK, Menteri Ida Ingatkan Perusahaan untuk Penuhi Hak-Hak Karyawan Ini
- Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan Dianggap Mampu Lindungi Pola Konsumsi Masyarakat
- Pengusaha Soal Penundaan Pajak Hiburan: Hanya Sementara, Bukan Solusi
"Saat ini kami harapkan untuk aturan turunannya itu kami lebih dilibatkan. Jadi konsultasi ini bisa berjalan, dan kami juga sudah melibatkan semua asosiasi," pinta Shinta dalam sesi temu media di Kantor Apindo, Jakarta, Jumat (23/8).
Menurut dia, pengusaha memang menaruh perhatian lebih terhadap pungutan cukai untuk minuman berpemanis. Sebab, itu akan memunculkan efek pengganda alias multiplier effect pada ruang gerak pelaku usaha makanan dan minuman. Khususnya dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produknya.
Selain itu, kebijakan tersebut pun bakal menimbulkan efek domino terhadap kegiatan ekonomi. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) masa.
"Kalau cukai naik, harganya juga akan naik, daya beli masyarakat bisa turun. Dan ketika permintaan turun bisa berdampak kepada produksi. Jika berkepanjangan akan berdampak pula kepada permintaan produksi dan pengurangan tenaga kerja," paparnya.
Sektor Makanan dan Minuman Sumbang PDB Besar
Sebab, dia menyebut bahwa sektor makanan dan minuman memberikan kontribusi terhadap PDB industri non migas sebesar 39 persen, dan menyumbang 6,55 persen terhadap PDB nasional.
Tak hanya faktor ekonomi, Shinta pun merasa tak yakin batas maksimal kandungan gula, garam dan lemak (GGL) dalam produk pangan olahan seperti tercantum dalam PP 28/2024 bisa langsung menurunkan angka penyakit.
"Jadi menentukan batas maksimal GGL di produksi pangan olahan saja tidak serta merta menurunkan angka penyakit yang disebabkan gula yang tinggi," tegas Shinta.