Ternyata, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Tertinggi di Asia Tenggara
Kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri.
Malaysia yang menggunakan sistem pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) sebesar 6 persen.
Ternyata, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Tertinggi di Asia Tenggara
Ternyata, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Tertinggi di Asia Tenggara
- Hitung-Hitungan PPN 12 Persen, Ternyata Kenaikan Dirasakan Masyarakat Capai 20 Persen dalam 4 Tahun
- Siap-Siap, Tahun 2025 PPN Naik Jadi 12 Persen!
- Tarif PPN Bakal Naik 12 Persen di 2025, Sandiaga Uno: Tak Berdampak ke Sektor Pariwisata
- Penjelasan Lengkap soal Tarif PPN Naik 12 Persen Berlaku Tahun 2025
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus menyebut, jika pajak pertambahan nilai (PPN) resmi naik menjadi 12 persen, maka Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Artinya kalau (PPN) kita jadi di 12 persen, akan jadi yang tertinggi. Apalagi kalau menggunakan skema single tarif ya, ini yang tentu akan memberatkan konsumen yang 95 persen pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok," kata Ahmad dikutip dari Antara, Rabu (20/3).
Saat ini, negara Asia Tenggara yang mempunyai PPN tertinggi yakni Filipina sebesar 12 persen. Sedangkan negara lainnya seperti Kamboja sebesar 10 persen, Laos 10 persen, Vietnam dengan skema two tier system sebesar 10 persen dan 5 persen.
Kemudian Malaysia yang menggunakan sistem pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) sebesar 6 persen.
Ahmad menjelaskan, kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi yang meningkat. Oleh karena itu, dia menilai perlu adanya pertimbangan untuk menggunakan skema multi tarif.
Selain itu, secara makro, kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat, maka akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Selanjutnya dampak lain yang ditimbulkan dari adanya kenaikan PPN, yakni penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang terancam menurun.
Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.
Tujuan dari naiknya PPN 12 persen sendiri sebenarnya agar semakin mengoptimalkan pendapatan negara, namun menurut dia, pemerintah perlu melakukan kalkulasi dengan matang. Efek jangka panjang dan pendeknya juga perlu dipertimbangkan.
"Saya sepakat bagaimana pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara, tapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan dan juga bagaimana memerhatikan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah," ujarnya pula.
Lebih lanjut, Ahmad menilai pemerintah juga perlu mengoptimalkan ekstensifikasi penerimaan perpajakan termasuk ekstensifikasi cukai, serta optimalisasi penerimaan negara bukan pajak.
Sebagai informasi, kenaikan PPN 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen.